DINDING PUISI 199

Minggu ini Nana Sastrawan yang membagikan tulisannya di grup FB, Hari Puisi Indonesia, yang menyebut berinvestasi, untuk sebuah proses kreatif berkarya sastra. Dan saya langsung mengamininya. Sebab itu benar. 

Setidaknya dua hal bisa kita iya-kan. Pertama, seperti yang sering saya sebut, yang juga disosialisasikan oleh penggiat sastra dan sesepuh Lumbung Puisi, RgBagus Warsono, membuat karya sastra itu minimalnya yang tinggi adalah pengarsipan karya intelektual berupa buku sastra, atau buku senibudaya. Sehingga bukan masalah seberapa banyak dicetak atau diedarkan, itu soal berikutnya, yang terpenting pada tahap pertama dan utama adalah karya itu terarsipkan dengan baik. Jika diterbitkan oleh komunitas, terarsipkan di sekretariat komunitas itu, atau di seluruh aktivisnya. Kalau melalui lembaga penerbitan, minimal terarsipkan di perpustakaan nasional, di penerbit, dan di komunitas penulisnya. Selebihnya di sebanyak-banyaknya warga masyarakat, komunitas sastra atau komunitas seni, perpustakaan-perpustakaan, dan sanggar baca atau kelompok penggiat literasi yang membeli atau mengoleksinya. Saya sebut membeli dan mengoleksi karena pihak penerbit atau penulis ada yang menjual buku-bukunya, ada juga yang membagikan atau menyumbangkannya ke kalangan tertentu. Ini tentu lebih menyebar dengan baik daripada produk skripsi mahasiswa. 

Kedua. Kita setuju pernyataan Nana Sastrawan. Menulis karya sastra atau menerbitkan buku sastra adalah kecerdasan dan ketepatan berinvestasi. Kita melihat adanya investasi karya sastra dan pemikiran. Karya sebagai aset hidup sekaligus aset kebangsaan karena menggunakan bahasa Indonesia, misalnya, yang bisa diketahui, dicari, ditemui, dimiliki dan dibaca, serta produk pemikiran yang memiliki multi potensi. Terutama potensi kesadaran, kesaksian dan pencerahan. Termasuk potensi ekonomi di belakang karya sastra atau proses kreatif bersastra. Salahsatunya yang ditangkap oleh para penerbit. 

Selintas perlu saya ulang juga catatan di Dinding Puisi sebelumnya, satu poin saja yang berkaitan dengan potensi ekonomi atau potensi uang. Saya pernah katakan, selain adanya anggaran untuk lomba baca puisi, sangat tepat kalau selalu ada anggaran untuk Panggung Baca Puisi. Ini tentu akan melibatkan banyak penyair selain aktivis sastra sebagai panitianya. Dan di catatan kali ini saya gak perlu ngejelasin detil apa guna panggung baca puisi kan? 

Kalau seorang Bupati atau Walikota tidak bisa menghidupkan Panggung Lomba Puisi dan Panggung Baca Puisi, saya sebut gak melek sastra. Gak melek literasi. 

Ya. Tentu. Yang kita maksud dengan buku sastra adalah buku yang berisi karya sastra dan berisi tulisan tentang sastra. 

Kemayoran, 25 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG