DINDING PUISI 200

Catatan ini saya buat di hari yang disebut-sebut Hari Puisi Indonesia, 26 Juli. Dan saya tidak sedang siaran Apresiasi Sastra di #radio. 

Kalau saya sedang siaran di radio, backsound saya angkat lalu pelan-pelan saya tarik turun. Begitulah self operating. Lalu saya bilang, "Pendengar,  kalau anda sedang bersama saya di sini, coba lihat. Dia naik panggung. Melakukan kebiasaan yang gak penting, mengetuk-ngetuk mikrofon. Mengucap salam. Sedikit membuang waktu dengan pelan melipat ujung kemejanya. Senyum alakadarnya kepada angin malam yang dingin di bawah lampu panggung. Lalu mengangkat sebuah buku. Dia bilang, "Teman-teman, sebuah puisi akan saya bacakan. Dari sebuah antologi Komunitas Laut yang saya dapat dari seorang kenalan. Dia dapat dari anggota komunitas itu yang masih hidup. Puisi ini ditulis oleh seorang penggiat sastranya yang sudah meninggal dalam suatu tragedi bencana alam. Puisi yang menggetarkan. Dan maafkan saya karena tiba-tiba sedikit bergetar dan merasa seperti kurang percayadiri membacakannya"".

Demikianlah. Saya memang biasa neko-neko di radio. Lebih dari 20 tahun membawakan acara Apresiasi Sastra ala saya. Bagi yang membaca tulisan ini dan kebetulan juga pernah atau sering mendengar siaran saya, mungkin langsung rindu ketemu di udara. Dan saya tetap akan keukeuh pada kelemahan saya, yaitu terlalu percayadiri kalau membacakan puisi di radio. Suatu kelemahan yang sudah saya bagi-bagikan karena beberapa penyair dan aktivis komunitas seni sudah saya panggil baca puisi di radio. 

Kembali kepada kisah imajinasi yang saya ilustrasikan di awal. Adalah peristiwa permata ketika kita bisa menemukan jejak sastra dari suatu kampung, termasuk dari buku-buku komunitasnya yang pernah ada. Bahkan ketika sanggar dan kampungnya pernah dilanda sunami atau gempa yang dasyat hingga luluh lantak. Meminta korban nyawa yang tidak sedikit. 

Tentu banyak pertanyaan yang perlu mendapat jawaban dari peristiwa serupa itu. Salahsatu yang sangat pentimg, seberapa maju kesusastraan tumbuh dan berpengaruh di situ? Yang terbayang tidak sekadar ketika komunitas itu mengadakan kegiatan mingguan atau bikin panggung khusus pada waktu tertentu, tetapi juga mengapa para orangtua dan guru-gurunya bersukacita anak-anaknya aktif di sanggar sastra? 

Kalau disebut-sebut, bersastra itu sangat berguna, apa saja gunanya? Apakah jika salahsatu anggotanya kelak menjadi pegawai kecamatan atau menjadi mandor perkebunan pengalaman sastranya bermanfaat?

Jawaban anda akan menyudahi catatan ini. Sementara ketika saya harus melanjutkan acara itu di radio, mungkin di menit ke 45 saya akan cerita juga dengan sebuah permisalan lain. Misalnya ada pendengar yang suka sastra melakukan Wisata Sastra ke perpustakaan daerah. Lalu di sana menemukan sebuah buku antologj puisi bersama yang diterbitkan oleh suatu penerbit tertentu yang kebetulan tidak terlalu populer karena bukan penerbit besar. Berisi puisi-puisi karya para remaja di kotanya bertema Anti Narkoba, Anti Korupsi, atau Cinta Sungai. Mengapa tiba-tiba dia tergerak hati untuk membacanya dengan seksama, seakan-akan ingin tahu suasana sastra 20 tahun lalu saat buku itu diterbitkan?

Sssttt. Tapi tenang. Hari ini saya sudah menelpon penyiar radio untuk membaca puisi di acaranya. Selamat bersukacita. 

Kemayoran, 26 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG