DINDING PUISI 211

Artis setengah? Haha! Ini istilah yang sudah tua bangka tapi masih dipertahankan juga. Maksudnya, penyair ---setidaknya pada tidak sedikit penyair, biasa dilabeli "artis setengah" di bahu bahkan di ubun-ubunnya. Mengapa? Saya tertarik bicara ini sebab di jaman edan bahkan maksud "artis setengah" itu direduksi, dijagal, menjadi sebuah proses ketidakbenaran yang coba dihalalkan oleh sementara atau banyak pihak. 

Bagaimana mungkin label "artis setengah" untuk menunjuk kepada penyair yang boleh melakukan tindak jahat, merusak dan memalukan? Termasuk pada penyair yang sikut-sikutannya tidak manusiawi? Misalnya ketika telah terbentuk satu komunitas sastra, lalu merasa paling berhak ketika muncul komunitas-komunitas baru. Bahkan sampai saling benci ketika ada anggotanya menyebrang komunitas. Padahal seperti saya bilang, satu kabupaten memiliki 100 penyair populer, itu masih terlalu dikit. Lalu apa yang saya simulasikan di MAN? Di satu sekolah itu kita bisa bikin 1000 komunitas, ada yang beda-beda ada yang sejenis atau nyaris sejenis. Yang saya sebut nyaris sejenis misalnya, Komuniras Sastra Indonesia dan Komunitas Sastra Inggris. Sedangkan yang sejenis semisal, Komunitas Sastra Mawar dan Komunitas Sastra Anggrek Bulan. Yang beda tentu saja semisal Komunitas Teater dan Komunitas Pencinta Tanaman Hias. 

Bahkan sangat kacau menuding "kegilaan penyair" itu adalah tipikal generasi pemalas, pengangguran, atau menudingnya eksistensialis yang mengganggu. 

Padahal dalam sejarahnya sangat sederhana. Disebut "artis setengah" karena kadang berani beda dari kebiasaan umum. Misalnya, berani tiba-tiba bersajak di tengah umum atau di suatu acara, laki-laki berambut gondrong, celananya jeans belel dan robek, artis tapi kok gak glamor, berjilbab tapi doyan teriak dan salto, cuma tamatan SMP tapi tiap ada acara sastra biasa duduk berdampingan dengan Bupati bahkan Mentri bahkan Presiden, kalau baca puisi sering telanjang dada, suka bikin acara yang aneh-aneh, nerbitin buku neko-neko, bikin panggung atau arena seni segala bentuk, suka baca puisi di atas gundukan sampah di pembuangan akhir, bersinggungan dengan politik tapi gak ada urusan dengan pencalegan, orangnya masih miskin tapi percaya dirinya penuh, ada yang kaya raya tapi fokus berpuisi, tiap minggu naik panggung puisi tapi honor/gajinya dari hasil kerja wartawan koran, kerjaanya pedagang kakilima pinggir jalan tapi sudah beberapa buku diterbitkan dan suka diundang jadi juri di sekolah-sekolah, seumur hidup aktif di sanggar/komunitas meskipun sanggar itu gak ngasih duit,  profesinya guru tapi di atas panggung sedikit urakan, dosen tapi gak seperti dosen karena 'gila', dokter bedah tapi membedah puisi, di rumahnya ada yang mengoleksi banyak buku ada yang cuma punya satu Kitab Al-Qur'an doang, dan masih banyak lagi yang lain. Yang intinya, kalau difikir-fikir, masih 100% normal bin waras. Sah! Tidak sakit jiwa. 

Selain itu, kegilaan yang paling mencolok adalah pola fikir, gaya bicara, dan cara berargumennya yang sering dibilang liar dan nyeleneh. Atau muatan dan gaya bahasa pada karya-karyanya. Di dalam Islam, 'kenyelenehan' ini dipatoki oleh ketentuan tidak boleh ingkar sunah. Tidak boleh mengingkari kalimat Allah yang lurus. 

Kalaupun pada catatan Dinding Puisi sebelumnya sempat saya sebut, secara makrifatullah, penyair-penyair yang sampai itu akan sampai di titik terkabul segala doa, maksudnya, dia sudah sadar dan berkesaksian bahwa tugasnya semacam lampu pencerah di tempat dan ukuran yang telah ditetapkan sesuai doanya, "Ya Allah jadikan aku kuasamu, tempatkan aku di tempat Engkau siapkan untuk amanah kepada segenap generasi dan anak cucuku, di tempat pohon, air dan matahari menyambutku, selamat dunia dan akhirat, sejahtera lahir batin". 

Kemayoran, 13 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG