DINDING PUISI 217

Melihat berita TV, pesawat terbang Gatot Kaca dimusiumkan, hati saya terenyuh juga. Melintasi titik temu puisi, radio dan wayang. 

N-250 adalah pesawat terbang bikinan anak bangsa yang pernah digaung-gaungkan namanya, terutama di tahun 90-an, bahkan sempat dipopulerkan atau dipromosikan ke seluruh penjuru dunia sebagai bentuk sukses kedirgantaraan Nusantara. 

Sebagai Orang #Radio Indonesia, saya sering mengibaratkan penyiar radio itu adalah tokoh pewayangan, Gatot Kaca. Otot kawat balung wesi-nya adalah perangkat siar dan tower pemancar yang tinggi megah di luar sana. Termasuk kendaraan OB-vannya. Sementara kemampuan terbangnya adalah kata-kata yang menembus ruang dan waktu. Karena itu populer istilah 'sedang mengudara' atau 'on air'. 

Sampai-sampai saya selalu takjub kalau ada pemberian cinderamata wayang, khususnya Gatot Kaca, kepada para tamu luar negri. Sebab itu artinya, isyarat terbangunnya komunikasi yang efektif lintas jarak. 

Meskipun diketahui Gatotkaca anak Buta atau Raksasa yang dinikahi Werkudara, tetapi dalam kisah itu Bima telah membawa keluarga Buta itu ke dalam kehidupan yang lurus. Tidak lagi jadi pemangsa manusia yang bar-bar. Malah menjadi rahmat bagi manusia, termasuk memenangkan Pandawa. Selain itu, menurut wayang wali yang bersyiar Islam, Bima adalah sosok tangguh, tinggi besar dan berkuku Pancanaka, tetapi seorang Kyai yang sangat dalam ngajinya. 

Apa hubungan filosofi terbang itu bagi penyiar radio dan puisi? Tentu saja karena radio adalah corong tempat mengapresiasi dan mengumandangkan Proklamasi, puisi kemerdekaan yang ditulis seluruh rakyat melalui tangan Soekarno-Hatta itu, dan puisi-puisi karya para penyair dan fans radio. Sejak jauh sebelum ada TV dan media internet. 

Radio adalah juga panggung puisi tanah air dalam bentuk lain. Membaca dan melombakan baca puisi bisa dilakukan secara on air selayaknya memutar lagu dan mengadakan lomba karaoke. Selain itu saya juga sering memadukan sisi off air dan on air. Tidak cuma berbentuk siaran langsung yang eklusif, tetapi juga menjadikan radio sebagai tempat untuk mengumumkan hasil-hasil lomba baca-tulis puisi dari berbagai tempat, lintas kepanitiaan, agar lebih populer. 

Sementara kalau kita mengingat dunia pewayangan, selintas pasti seperti N-250 itu. Wayang memang aset nasional, warisan budaya dunia yang layak dimusiumkan untuk menginspirasi kemenangan putra bangsa masa depan. Tetapi kita perlu memekik, "Musiumkan ke dalam semangat juang yang membara, jangan di musiumkan ke dalam ruang ramai sekadar tontonan, apalagi ke ruang sepi!" Sebab ke situ puisinya akan membawa kesaksian. 

Kemayoran, 23 08 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG