DINDING PUISI 218

Saya tahu. Saya tahu, ada yang keberatan kalau istilah kurator dipakai di dunia sastra, sebab di sastra biasa menggunakan istilah kritikus sastra. Sementara tidak sedikit orang menyebut istilah kurasi dan kurator sudah biasa dipakai di dunia senirupa.

Tapi gini. Ada yang tidak keberatan juga ketika istilah kurasi dan kurator dipakai di dunia industri. Di situ ada identifikasi produk, asal produk, standar produk, legalitas produk, hak paten atas suatu produk, pasar lokal dan pasar internasional, dst. 

Tanpa mengecilkan pihak yang lebih menyukai istilah kritikus di dunia sastra, saya termasuk yang tidak terlalu keberatan kalau istilah kurasi atau kurator dipakai juga. Meskipun beberapa saat lalu ketika saya baca tulisan status FB dari seorang perupa, "saat ini dibutuhkan kurator senirupa yang handal", fikiran saya langsung menukik ke arah senirupa. Baik proses kreatif, proses produksi, upaya meningkatkan apresiasi masyarakat, promosi, dan upaya melestarikan dan membangun pasar baru. 

Kurasi tidak melulu melihat unsur intrinsik dan ekstrinsik suatu karya yang bersifat spesifik. Dalam sastra misalnya, harus melihat aspek humanisme-universal, religiusitas, kearifan dan kecerdasan lokal, daya komunikasi masyarakat setempat, budaya lokal yang tengah berkembang, pendidikan dan peta sosial-ekonomi masyarakat, kesesuaiannya dengan undang-undang, bahkan sampai ke politik kebudayaan Pancasila kalau di Indonesia. Sebab seorang kurator adalah pawang di dalam politik kebudayaan, meskipun bisa juga dipilah-pilah, pawang yang ini lebih fokus pada hal tertentu sementara pawang yang lain cenderung lebih fokus pada hal lain lagi. 

Seorang kurator sastra di Indonesia harus menyelamatkan bangsa Indonesia dan membangun peradaban dunia lewat sastra Indonesia. Selain bicara buku sastra yang komersil dan tidak komersil, ber-ISBN dan tidak ber-ISBN, serta bagaimana menggairahkan minat baca dan pasar buku sastra demi sukses literasi?

Seorang kurator harus punya argumentasi yang mendasar dan kuat mengapa suatu karya sastra sangat utama posisinya bagi pembangunan karakter suatu bangsa? Bagi sukses pembangunan di segala bidang? Bisa menghubungkannya dengan simpul-simpul sosial dan simpul-simpul formal yang dibangun. Sekaligus mengkritisi realitas simpul-simpul itu jika bermasalah. Sebab kita paham, kadangkala proses kreatif bersastra terhambat aturan atau undang-undang, tetapi pada kala lain kita melihat tidak ada regulasi yang mengikat sehingga tidak cuma terjadi masalah 'bar-bar', tetapi masyarakat tidak memiliki pintu untuk memahaminya secara elementer melalui aturan-aturan atau kebijakan pemerintah yang berpihak. 

Sebut saja satu hal, kebijakan pemerintah harus sampai pada kesimpulan hasil penelitian, kebutuhan sastra seperti apa yang paling mendesak bagi masyarakat hari ini untuk berbagai keutamaan? Setidaknya tanpa bermaksud membatasi proses kreatif yang merdeka, hal itu bisa menjadi daya tekan yang serius dan masif.  Dan seorang kurator harus tahu ini. Sehingga hafal pula posisi satu puisi yang telah tercipta di tengah ruang besar kerakyatan ini. 

Wajar juga kalau ada aktivis seni yang berpendapat kurasi adalah mengakurkan karya budaya manusia dengan berbagai simpul, termasuk dengan undang-undangnya. Kalau bicara produk siaran radio, misalnya, tentu akan dihubungkan dengan undang-undang siaran. Selain menimbang seluas-luasnya kebutuhan informasi, edukasi dan rekreasi melalui siaran itu, yang tidak mustahil terkebiri oleh suatu pasal atau ayat tertentu.

Kurator tari tentu akan bicara juga soal eksotisitas dan erotisitas secara mendasar dan terbuka sehingga mencerahkan. Tidak mencelakai. Selain tentang ruang publik umum dan ruang-ruang tertentu. 

Kemayoran, 23 08 2020 
Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG