DINDING PUISI 222

Saya selalu vokal kalau ada program-program yang di belakangnya ada pemerintahnya. Maklum, itu sensitif. Bukan komunitas atau kelompok tertentu. Seperti waktu saya mempersoalkan Konggres Kesenian Bandung beberapa tahun lalu. Saya ngomel lama, menceracau gak habis-habis, mungkin diam-diam sampai kementrian pendidikan pun benci saya. Sebab saya bilang, kacau, untuk kegiatan nasional kesenian seperti itu dapat informasi aja susah. Bikin sewot aja. Jangankan untuk jadi undangan utama atau penggembira yang diundang, untuk jadi penggembira yang tahu ada hajat nasional di Bandung pun saya baru tahu infonya dari Facebook sehari sebelum acara dimulai. Gila kan? Padahal 20 tahun lebih saya ini narasumber apresiasi senibudaya di radio Sukabumi, Bandung dan Purwakarta, selain aktif dalam berbagai kegiatan kesenian. Bahkan hingga hari ini pun kalau saya mau memanfaatkan radio untuk siaran senibudaya, saya tinggal ngetuk pintu radio manapun kapan saja. Itu dunia saya. 

Mestinya untuk kegiatan seniman tingkat nasional yang dibekingi pemerintah, semua seniman bisa tahu jauh-jauh waktu, diajak tahu seluk-beluknya, sehingga merasa memiliki dan merasa dihargai. Syukur-syukur minimal ada undangan untuk jadi penggembira, meskipun saat Konggres Kesenian itu belum tentu saya bisa datang. Tapi ini soal sistem dan logika. Saya tetap harus vokal. 

Tapi kalau ada ngumpul-ngumpul seniman tingkat nasional yang diselenggarakan oleh suatu komunitas atau kelompok tertentu, saya gak bisa ribut. Kecuali kalau ada kaitannya dengan hajat hidup seluruh manusia, khususnya seniman. 

Termasuk kalau ada ngumpul-ngumpul nasional untuk melahirkan antologi 100 penyair Indonesia, masabodo amat. Atau ngumpulnya virtual jarak jauh, atau melaui grup medsos, lalu bikin buku 100 penyair populer versi kelompok itu. Masabodoh juga. Toh 100 nama itu tidak otomatis membunuh nama-nama lain yang terus eksis dan berkibar. Yang pada saatnya bisa muncul pada buku sejenis bikinan komunitas atau kelompok lain. 

Kalaupun saya pernah heboh dengan menjadi Jalak Teriak dalam program antologi Pesisiran DNP, itu karena adanya keresahan, ketidakjelasan penjaringan karya berdasarkan kesesuaian tema dan kritetia penyair dan non-penyair. Apalagi itu buķan lomba dan menjaring karya dan nama dalam jumlah yang sangat banyak. Apakah karya penyair yang nyata-nyata sesuai tema harus tersingkir oleh pihak yang disebut-sebut non-penyair? Ditambah lagi saat saya protes, malah 'dipukuli' dengan kata-kata keras oleh pihak yang lolos dan yang pernah lolos di antologi DNP sebelumnya. Sampai akhirnya saya dikeluarkan dari grup. Mengerikan tentu saja. 

Persoalannya, gimana kalau yang 100 itu jumawa, merasa paling besar, dan merendahkan yang lain? Ah, jiwa besar gak perlu suuzon. Kalimat ini sekaligus sudah menghukum. Haha. 

Itu untuk buku yang tensinya lebih serius. Sedangkan untuk yang nyantai, siapapun bisa sesukanya bikin buku semisal, 100 penyair Indonesia dan puisinya. Dilengkapi bionarasi lengkap. Beres. Cukup diatasi dengan kelakar, emang mereka ini penyair Suriname? 

Bahkan kalau ada yang nawarin gabung nulis bareng di buku yang mayoritas penulis remaja, dengan tema remaja pula, tidak mustahil saya ikut dengan suka hati. Sebab apa? Silaturahmi sastra. Forum. Temu sastra di buku. Kan gak perlu merasa rendah dan gak perlu merendahkan buku-buku seperti itu. Pakai akal lurus sajalah. 

Pertanyaannya, apakah pihak swasta penyelenggara kegiatan ngumpul-ngumpul seniman tingkat nasional, atau yang bikin buku antologi atau buku tokoh-tokoh penyair nasional itu mau disebut cuma bikin kegiatan versi mereka? Yang sifatnya tidak menyalahkan atau mematikan pihak lain untuk bikin hal serupa? Juga tidak kebakaran jenggot ketika diberondong pertanyaan, "Kenapa Si Fulan tidak masuk?" Itu pertanyaan biasa. Dan jawabannya harus tepat dan jujur. 

Pertanyaan lain, apakah mereka, siapapun, terbuka atas segala kritik dan saran jika terjadi kekeliruan di dalam kegiatannya yang disadari bisa mengganggu pembangunan sastra Indonesia?

Tak bosan saya bilang, kedewasaan itu selalu bersifat mendesak. 

Kemayoran, 26 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG