DINDING PUISI 224

Sebagai manusia teater, saya sering bilang bahwa baca puisi di panggung adalah bagian dari pertunjukan teater. Meskipun kita sayangkan, tidak sedikit pembaca puisi yang awam teater sehingga gaya baca dan gregetnya kurang optimal. 

Hal kecil yang paling mencolok, pada manusia teater ketika kepleset baca teks puisi, pasti akan dikondisikan selayaknya kewajaran, bahkan secara reflek tidak cuma diusahakan biar gak salah fatal, kalau perlu malah mencuri tambahan keuggulan. Selayaknya orang berbicara, kadang tersekat atau tergagap. Tapi pada mereka yang awam teater, kepleset baca sungguhlah menyiksa, bahkan sering jatuh PD-nya sampai ke kolong panggung. Bagi para juri yang sudah berpengalaman pasti sering menemukan kasus begini di arena lomba.

Apakah ini artinya setiap pembaca puisi mesti berteater? Gini. Lebih tepat disebut, ini kebutuhan dunia pendidikan. Bahwa pengenalan teater mesti sejak dini. Selayaknya kita diperkenalkan pada menggambar dan mewarnai. Dan untungnya kesadaran ini sudah kita saksikan di kurikulum kita. Persoalannya, apakah pengenalan teater itu sudah cukup untuk mendukung seluruh aktivitasnya, termasuk keinginannya sukses baca puisi? 

Selain itu, seringnya para pemula atau masyarakat awam nonton pertunjukan teater dan panggung baca puisi yang menghadirkan manusia teater, secara tidak langsung ia bisa memindahkan energi gaya baca yang dilihatnya. Meskipun penonton yang kelak bakal jadi penyair dan pembaca puisi handal tidak mungkin mengamalkan copy-paste gaya. Seiring perjalanan waktu dia mesti mengeksplorasi potensi bacanya, sampai menemukan titik khasnya. Kecuali kalau cuma bercita-cita sebatas sukses jadi pengisi acara di multi-even sastra, mau wajahnya dioperasi plastik sama persis dengan Rendra juga tidak masalah. Haha. Seperti di dunia penyanyi, klo gak minat jadi penyanyi yang khas, sengaja tampil mirip Didi Kempot di setiap panggung hajatanpun gak masalah. Sampai orang terkaget-kaget, "Wuih, tak kiro Didi Kempot, jebul kowe Le". 

Saya sendiri suka gaya baca Rendra, Taufik, Sutarji, Hamid Jabar, bahkan Emha. Berbeda-beda. Seru! Saya sendiri selain merasa sebagai manusia teater panggung, sudah lama terjun sebagai aktor dan sutradara iklan dan drama radio, sehingga sudah biasa dengan teriakan ruang. Berteriak tinggi depan mikrofon, di dalam ruangan tertutup, tidak perlu memekakkan telinga tetapi terdengar tinggi dan keras pada sound system. Sama dengan dubber film. Biasanya sambil memperhatikan level vokal pada mixer atau layar monitor biar tidak jebol.

Saking pentingnya teater saya bikin arus bolak-balik. Anggota komunitas teater wajib bisa baca puisi yang ekspresif, begitupun yang anggota komunitas sastra wajib latihan dasar-dasar teater, agar energi teaternya mempengaruhi gaya baca puisinya. 

Di catatan ini saya perlu menegaskan lagi, apa bedanya deklamasi dan baca puisi. Tentu rujukannya tafsir yang berkembang di masyarakat. Deklamasi adalah baca puisi dengan gerak besar, semisal merentang dan mengangkat tangan tinggi-tinggi, bahkan menggerakkan seluruh badan selayaknya berakting, bahkan bisa disertai pindah-pindah tempat (bloking). Sedangkan baca puisi adalah membaca puisi secara tepat sehingga tersampaikan pesan puisinya. Pembaca bebas melakukan gerak apa saja, atau cukup berdiam di tempat, duduk atau berdiri, sambil melakukan gerak kecil semisal mimik muka dan gerak tangan. Ini pula yang dilakukan oleh para siswa, cukup baca puisi secara benar di kursi masing-masing. 

Tetapi setahu saya, definisi ini sudah tidak terlalu diperdulikan oleh masyarakat sastra. Cukup menggunakan satu istilah, baca puisi. Begitu pun kenyataan di panggung-psnggung lomba baca puisi. Tidak selalu yang menggunakan gerak besar, gerak teaterikal yang sangat ekspresif, keluar sebagai juara, dan tidak berlaku juga ketetapan hukum, membaca puisi dengan gerak kecil adalah cara membaca yang tepat. Ini penting karena perdebatan mengenai hal ini masih ada. 

Kemayoran, 28 Agustus 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG