DINDING PUISI 226

DINDING PUISI 226

Merinding, meremang airmata, atau terbangkitkan daya hidup di depan pembacaan puisi tidak selalu karena kata, "ayolah!" atau, "marilah!" Meskipun pada momen tertentu kata-kata semisal itu memang ditunggu. Mengapa? Sebab puisi, misalnya pada nyawa airmata, ia mesti merasuk dengan sendirinya, dengan sangat normal, logis, menyentuh sisi paling asasi pada sir kemanusiaan. Pada sirullah menurut makrifatullah. 

Memang tidak keliru adanya manajemen airmata. Yang alamiah, bagaimana kita survife mengatasi airmata yang bisa tiba-tiba hadir dalam hidup kita. Kedua, airmata yang direkayasa untuk pencerahan hidup. Semisal pemain teater yang menafsir pesan naskah, untuk mempekerjakan suasana berairmata demi tercapainya maksud-maksud, tidak sekadar membangun puncak-puncak. Sekali lagi mempekerjakan airmata untuk maksud baik. 

Pada penyair dan puisi hal itupun nyata-nyata sangat kuat. Ada pengalaman airmata yang menginspirasi untuk ditulis sehingga tulisannya itu berhuruf-huruf butiran airmata. Ada juga torehan kata yang dibuat untuk menyentuh ruang tangis para manusia. Meskipun demikian, penyair dan puisi harus terbebas dari pragmatisme mendulang airmata, yang cuma permainan, akal-akalan, hasil tawar-menawar dengan potensi penerimaan. Ini bisa menjadi serupa pelatihan yang sukses, menjadi pengalaman, bagaimana menciptakan dan  memanfaatkan airmata untuk tujuan apa saja. 

Kalau seorang anak mesti punya adap berterimakasih dan menangisi jasa ibunya, harus karena dia menemui rahasia kemanusiaan sejati, bukan karena perintah sedih. Sebab perintah sedih bisa mengakibatkan sebagian anak-anak masih bisa menunduk dan senyum gak ngerti, meskipun yang lain menangis terisak-isak. Dan lebih melukai lagi kalau yang ketahuan senyum di tengah semua tangisan dituding tukang bercanda. Sebab apa? Terlepas dari kemungkinan ada beberapa yang memang bercanda, tidak fokus, logikanya ada juga yang memang tidak tersentuh sisi asasinya. Seperti merasa berhadapan dengan intruksi-intruksi formal yang ia kenal. Selayaknya penulisan dan pembacaan puisi tidak bisa memaksa pembaca atau penonton terenyuh, kecuali dengan senyata-nyatanya terenyuh. Panitia penyelenggara acara pun cuma bisa mengoptimalkan ketenangan penonton untuk melancarkan kelangsungan baca puisi itu. 

Untungnya kita punya tradisi upacara bendera yang disertai momen mengheningkan cipta, yang sangat edukatif dan indah, yang memerdekakan daya renung masing-masing pribadi peserta upacara. Sehingga tinggal mengunci kemungkinan ada Si Nakal yang bercanda. Sehingga penempaan pemahaman atas maksud mengheningkan cipta itu harus berhasil dilaksanakan, sekaligus melatih kedisiplinan. Lagi-lagi untuk menyentuh sisi paling asasi dari manusia. 

Juga ada acara doa penutup acara atau penutup kegiatan, yang seringkali sesuai pembawaan pendoa yang tenang dan penuh perasaan, tidak sekadar baca teks doa, yang mampu melahirlan keinsyafan yang tenang, cerah yang kusyu, juga kesedihan yang perlu. 

Pengalaman saya bertahun-tahun membawakan acara Nasyid di #radio, kekuatan terbesarnya ketika terhindar dari proses mencipta, "yuk kita peduli dan sedih", tetapi saat kita masuk dalam suasana yang seperti ditemui kalimat langit yang bersahaja, yang tak terucapkan, "kok kita jadi gak kuasa menahan sedih ya?" Artinya, rasa sedih itu hadir sebagai pengalaman nyata yang penuh hikmah. Sebab senyatanya, hidup ini cuma berkubang airmata. Airmata syukur, airmata sukacita, airmata dukacita, dan airmata pertobatan. Itu pula yang membuat saya pernah menulis puisi tarian ini:

TARIAN BURUNG SORE 

lihatlah yang setia mengepakkan sayap
sesekali seperti meluncur saja
dan kita tiba-tiba
menjadi barisan tegap burung-burung itu
di senja sebelum pulang
di keteduhan dan kemesraan
bergerombol wajah-wajah jingga sempurna
rambut dan kerudung yang mengembang
melukis potret diri untuk digalerikan di langit
memenuhi janji para malaikat
yang segera akan mengunjunginya

sambil sesekali menukik 
membaca kemungkinan santapan pulang
kita pastikan di setiap ketinggian terbang
tak ada formasi dan kecepatan yang menyesatkan
meskipun tak ada terbang yang damai
kecuali diikuti sajak-sajak air mata
air mata pertobatan
air mata kesedihan 
air mata ketakutan
air mata kesukacitaan

fiuuuhhh fiiuuuhhh
kita meluncur, meluncur
kita mengepak, mengepak
gerombolan jingga menikmati mesra
mandi matahari, mandi cahaya
dipanas-lembutkan cakarnya
agar nantinya 
burung malam mencengkram dahan
sempurna

Kemayoran, Sabtu, 22 12 2018
Dari buku antologi puisi TAGAR (Tarian Gapura), penerbit J-Maestro 

Selain puisi, pesan hikmah semacam KULIMA (dakwah atau kuliah lima menit) yang diselingi baca ayat suci yang kusyu dan senandung yang menyayat juga bisa mempekerjakan airmata untuk keutamaan karena ia menyentuh sisi paling asasi pada manusia. 

Kemayoran, 30 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG