DINDING PUISI 227

DINDING PUISI 227 

Logika aja, Bung. Siapa yang pernah nulis sesuatu di media sosial, lalu setelah beberapa saat diubah hurufnya yang salah ketik atau diganti kata-katanya yang dirasa kurang pas? Wajar kan? Ada juga yang pernah menulis opini sedikit panjang, tetapi setelah dirasa-rasa bakal kontroversial, maka dilakukan perubahan. Wajar kan? Bahkan ada juga yang mengubah tulisannya setelah mendapat protes sana-sisi seraya minta maaf. Masih bagus bukan?  

Yang paling tidak fair itu kalau ada seseorang yang tulisannya diprotes karena meresahkan, kemudian ia berkelit, "Saya tidak pernah menulis begitu. Itu bohong". Padahal itu setelah ia meralatnya. Meskipun jejak digital bisa mengejarnya. 

Akhirnya saya merasa punya semacam kata pengantar singkat untuk menjawab pertanyaan saya di medsos FB awal September kemarin: 

"EDISI PUISI REVISI 

Boleh gak puisi yang sudah terbit, yang sudah disosialisasikan, diubah tipografi atau beberapa katanya pada suatu terbitan baru? Monggo konco-konco, gan, luuuur, dst, makan siangnya pakai jawaban dari pertanyaan ini. Semoga lahap dan kenyang. Haha. Subhanallah". 

Rata-rata puisi yang sudah lolos di koran, majalah, bahkan di penerbitan buku, lalu beredar luas di masyarakst, sudah tidak ada masalah lagi dengan bentuk dan isinya. Kalaupun ada tulisan atau buku kontroversial, biasanya sudah dipersoalkan sejak awal beredar di tengah masyarakat. Bahkan ada yang sampai kemudian ditarik dari peredaran, alias batal terbit. Di dunia rekaman lagu pun demikian. Ada kaset yang dirarik dari peredaran karena liriknya dianggap bermasalah, mumpung belum diproduksi banyak, lalu diganti, diedarkan versi revisinya. 

Sebagian buku-buku ada yang sejak awal terbit, baik buku sastra atau bukan, sudah menyertakan kalimat pada pengantarnya, "mohon kritik dan saran untuk kesempurnaan pada cetakan berikutnya". Artinya, sudah menjadi rahasia umum bakal terjadi revisi sedikit atau banyak. 

Tetapi ada fakta menarik, beberapa karya puisi yang notabene baik-baik saja sosialisasinya ternyata harus mengalami perubahan ketika naik cetak berikutnya, atau pada saat muncul pada buku terbitan yang baru. Yang paling pertama tentu saja ketika terjadi perubahan ejaan seperti yang terjadi sejak mulai dikenal istilah "EYEDE", ejaan yang disempurnakan. Pada perkembangan selanjutnya ketika ada kata atau istilah-istilah yang beubah penulisannya, atau ada kata dan serapan asing yang mesti disempurnakan. 

Terlepas dari itu perubahan bisa terjadi karena penulisan data yang berkembang. Misalnya untuk puisi sunami yang ditulis untuk membangkitkan rasa kemanusiaan dan semangat berderma pada saat peristiwa itu barusaja terjadi. Misalnya disebut ribuan orang meninggal lalu diubah menjadi puluhan ribu, bahkan ratusan ribu. Revisi tulisan juga bisa terjadi ketika suatu puisi pada saat diterbitkan dalam suasana demonstratif, sehingga menggunakan suatu pilihan kata tertentu yang keras cenderung kasar. Pada terbitan berikutnya dipilih kata yang lebih halus tetapi tidak mengurangi kadar demonstratif ketika itu. Selanjutnya, perubahan bisa terjadi hanya karena selera penulis. Ia merasa dengan mengganti kata tertentu akan terasa lebih nyaman. Demikian pula dalam hal merubah tipografi yang samaseksli tidak merubah kata-kata dan isi puisi. 

Apa yang saya contohkan, setidaknya memberi gambaran selintas bahwa penyair yang merubah puisinya yang sudah terbit tidak bisa ditabukan apalagi diharamkan. Terlebih-lebih untuk karya atau tulisan di media sosial yang tidak terlalu sulit bagi penulis untuk merubahnya. Semua serba praktis. 

Terakhir saya berikan satu contoh puisi yang berubah pada buku berikutnya karena pernah salah cetak. Yaitu ketika saya menulis puisi MENULIS APA KITA di buku Kita Dijajah Lagi. Di situ terjadi salah cetak yang fatal, sampai saya menulis tentang sayap yang patah di semak-semak. Nampak memikat dan indah, baru sekali itu terlihat, dikira burung di balik semak, difantasikan macam-macam, tetapi begitu didekati ternyata cuma patahan sayapnya. Entah burung apa seperti apa? Lalu ketika saya menerbitkan antologi Mendaki Langit, puisi MENULIS APA KITA diterbitkan lagi dalam wujud sempurna. 

Kemayoran, 01 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadarama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG