DINDING PUISI 228

DINDING PUISI 228

Seru! Seru! Seru! Setelah dulu marak gaya menulis status cukup dengan satu kata, misalnya, "pusing", "pulang", "wow", dst. Ada gaya seru yang minggu ini muncul di satus FB. Yaitu yang sengaja menulis pertanyaan untuk sekedar menemani pembaca yang sedang males tanya jawab, yang lagi gak ada gagasan, atau justru menemani pembaca yang sedang antusias seantusias pertanyaan itu. Setidaknya tiga pertanyaan yang saya temui dalam sehari kemarin bisa saya contohkan. Pertama, lebih penting mana puisi dan penghasilan? Kedua, apa bedanya penyair dan sastrawan? Dan ketiga, bolehkah dalam lomba baca puisi sebagian puisinya seperti disenandungkan atau dilagukan? 

Seru! Masabodoh yang bikin pertanyaan sedang niat nanya atau tidak, tetapi gaya nulis status di dinding medsos yang demikian ini menarik. Apalagi karena berkaitan dengan kesusastraan. 

Kalau diangkat ke siaran Apresiasi Sastra di #radio pertanyaan-pertanyaan semodel ini akan terasa renyah, ringan, tapi dijamin banyak yang suka. Semacam tema hiburan daripada tema-tema berat yang lain. Tetapi tetap bagian dari serba-serbi dunia puisi yang tidak layak dilewatkan.

Lebih penting mana puisi dan penghasilan? Saya tahu sebenarnya ada yang menganggap bagian ini tabu, karena seperti tidak ihlas pada kerja puisi, sastra atau literasi. Bahkan tidak ngeh hakekatnya. Tapi sebagian justru ingin mengangkat, ada paradigma yang salah yang mesti diluruskan. Apalagi popularitas dan keberuntungan yang luarbiasa pada sedikit orang, itu hal lain, di luar keumuman, yang tidak perlu larut-larut diperdebatkan. Misalnya tentang pengusaha kaya atau pejabat sukses yang jadi penyair, atau yang bukunya best seller bahkan ada yang novelnya difilmkan dan laku, atau yang beberapa kali dapat hadiah puluhan-ratusan juta rupiah. Untuk pertanyaan seperti ini jawaban yang paling pas adalah, "Bagi penyair, mencangkul adalah puisi". Terserah tafsir mencangkul itu apa? Yang penting yang baik-baik saja. Sehat wal afiat. Selamat dunia wal akhirat. Termasuk jadi petani di sawah atau di ladang. 

Seorang penyair yang ditempa kecerdasan dan kesalehan sosial, tentu tidak bisa dijuluki burung yang cuma berkicau, lupa penghasilan. Sedangkan burung sendiri bisa berkicau lantang sebagai bentuk pemberitahuan, sedang lapar atau terimakasih karena sudah kenyang, atau sebaliknya menunjukkan tanda-tanda murung dan sakit untuk memarahi tuannya agar diberi penghasilan harian alias makan dan minum. Karena cuma itu daya burung dalam sangkar. Sehingga orang yang menyebut, berpenghasilan dulu baru berpuisi, meskipun tidak selalu salah, itu kurang menyetubuhkan antara uang dan totalitas berpuisi 24 jam. Sebab pada tidak sedikit penyair handal, justru hasrat bersyairnya yang nenempa hidup amanah sehingga malu kalau sampai jadi pengangguran. Sebab pengangguran dan terus "meminta-minta" tidak sesuai dengan kalimat-kalimat puisinya. Seorang penyair yang handal justru pekerja keras, pekerja yang serius. Berprestasi.Termasuk yang salahsatunya, ingin punya uang dari menulis atau membaca puisi. Meskipun pada banyak penyair, seringkali kalau di rute baca dan nulis puisi penghasilannya hanya cukup buat nambah-nambah uang bensin atau uang kopi. Tidak seperti gaji bulanan atau penghasilan dari panen di kebun. Sementara, kecuali buat yang laku keras, saya kira royalti dari buku sastra yang biasa-biasa saja,  mungkin sekali-kali cuma dapat rupiah seukuran 2-3 bulan gaji buruh. Itu sudah lumayan. Bisa buat nambahin ini itu. Yang jejas, nambahin seneng. Sementara ngandelin hadiah kejuaraan, hanya menclok di uji nyali bagi seluruh generasi yang bejibun jumlahnya. 

Tapi bagi saya puisi itu tetap tegak di depan. Suaranya lepas, jadi fokus, dan menginspirasi. Dia pantik semangat untuk bergerak karena didukung firman Tuhan yang kuat. Syair bekerja fleksibel meski ada yang keras temanya, mengikuti kebutuhan waktu, selalu terdepan. Sementara penyairnya merasa telah menunaikan titah, meskipun seperti pada kebanyakan orang bijak akan berkata, "Hanya sebentuk ini aku bisa menunaikan panggilan dan kewajiban".

Dan saya tidak bisa melupakan satu hal penting dari peristiwa Rumi. Ketika disebut-sebut, suatu ketika gurunya berbagi roti dengannya. Kita jadi ingin asyik menafsir, apakah itu roti puisi? Apakah jika seseorang menjadi pemilik bengkel las, dan kebetulan satu karyawannya adalah penyair, maka upahnya bisa disebut uang puisi? Atau, ketika seseorang adalah direktur perusahaan dan beberapa manajernya adalah penyair, gaji manajernya di situ uang puisi? Tentu iya! Bukan uang untuk berpuisi, tetapi daya hidupnya sudah puisi. Yang mengantarnya untuk bekerja dan berprestasi, bahkan mendonasikan sebagian penghasilannya untuk sukses literasi. Apapun. 

Lalu, apa bedanya penyair dan sastrawan? Ternyata pertanyaan ini pada tidak sedikit orang menunjukkan ketidakjelasan pada keduanya. Apalagi ada yang tertuding, ketika Lumbung Puisi yang dikoordinatori RgBagus Warsono sering menyebut sastrawan, seimbang dengan menyebut penyair, kepada para penulis sekaligus pembaca puisi yang hadir dalam temu-temu kecilnya. 

Ada yang berpendapat sastrawan itu ahli sastra jebolan perguruan tinggi, minimal S1, yang disebut "orang-orang sekolahan", tidak cuma tamatan SMA. Yang bisa menulis karya sastra dan sering menulis pembahasan sastra, di koran, majalah, atau buku. Benarkah pendapat ini? 

Saya berkomentar selintas untuk pertanyaan medsos itu: "Sastrawan biasa menulis karya sastra apa saja. Tidak ada pantangan berproses kreatif dengan berbagai bentuk dan model karya sastra. Tidak cuma suka menulis cerpen, puisi dan novel. Bahkan sebagian sastrawan masih suka berpantun-pantun atau menulis karya sastra berbahasa daerah. Oleh karena itu tidak aneh kalau hampir semua sastrawan adalah penyair, karena mereka menulis dan menerbitkan buku antologi puisi. Sementara penyair, adalah sebutan untuk para penulis puisi, baik yang cuma suka nulis puisi maupun yang sastrawan itu. Ada juga sastrawan yang juga menulis kritik sastra sehingga bersentuhan dengan seluruh karya sastra. Bahkan tidak mustahil seorang sastrawan bisa "terjebak asyik" menjadi penulis cerita bergambar atau sastra komik, yaitu komik yang ceritanya dimasukkan ke dalam karya sastra. Selain itu, penyair dan sastrawan bisa masuk ke dalam dua sebutan lagi, yaitu seniman dan budayawan. Posisi budayawan sangat tergantung pada lingkup kepedulian dan pengaruhnya pada kebudayaan kita".

Lalu saya tambahi komentar saya itu: "(Soal sekolah sastrawan) Sekolah biasa saja. Mondok di padepokan silat juga gak apa2. Penyair dan sastrawan yang cuma tamat SMA bahkan SMP juga ada. Tetapi kecerdasan, bakat, dan keahliannya sangat menonjol. Sastrawan membuat karya sastra apa saja, termasuk boleh cuma membuat puisi. Sedangkan penyair, khusus membuat puisi. Atau setidaknya sedang disebut sebagai penulis puisi. Sebab seseorang yg disebut cerpenis, ternyata juga penyair dan novelis". 

Singkatnya, semua penulis karya sastra adalah sastrawan. Di dalamnya ada penyair, pupenis, cerpenis, novelis, kritikus, dll. 

Lalu, boleh kan dalam lomba baca puisi sebagian teksnya dilagukan? Ini seru! Berkaitan dengan definisi deklamasi yang semakin tidak populer belakangan ini. Benar, pada waktu lampau, membaca puisi yang ekspresif dengan gerak besar, bahkan bisa pindah tempat, ditambah sesekali baris atau baitnya disenandungkan atau dilagukan, adalah ciri khas deklamasi. Tetapi seiring perkembangan waktu yang dinamis, lomba-lomba baca puisi membebaskan gaya baca puisi peserta lombanya. Termasuk melagukan beberapa kalimat. Asalkan bukan musikalisasi puisi, baik berupa puisi yang dinyanyikan dengan notasi yang jelas maupun dibaca dengan diiringi instrumen musik. Jadi lebih simpel. Yang dinilai lebih ke sisi cocok tidaknya gaya berpuisinya dengan tersampaikannya maksud-maksud di dalam suatu puisi".

Saya sangat senang bicara-bicara ringan tentang hal ini dalam penjelasan paling lugas. Kalau di warung kopi pasti mudah diselingi gelak tawa dan ekspresi teaterikal saat meneguk kopi hangat. Mantaaaapppp.

Kemayoran, 31 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG