DINDING PUISI 229

DINDING PUISI 229

Mendadak saya bikin komentar yang terbilang aneh, bahkan dipaksa sedikit njelimet meskipun pendekatannya ringan-ringan saja. Karena mengomentari maraknya gambar avatar, gambar diri versi kartun yang tiba-tiba menguasai awal September di media sosial.

Saya menulis begini, "Ketika perang gambar terjadi di masa kanak-kanak dulu, kita akan merasa sebagai 'anak revolusi' yang diwakili oleh satu gambar yang berani bertarung. Yang dibela adalah, hak untuk menang. Karena gak ketahuan siapa pahlawan dan siapa penjahatnya? Atau seperti dalam latihan militer. Yang sedang jadi lawan anggap saja musuh atau penjahat. Asal bukan semacam rangsangan untuk menghalalkan kekerasan. 

Yang main lain, setiap diri diwakili lebih dari satu gambar. Misalnya 5:5. Setelah diterbangkan ke langit tinggi tinggal lihat di lantai, yang gambarnya terbuka milik yang melempar. Yang gambarnya tertutup akan dilempar lagi oleh teman kita. Terus bergantian sampai abis. 

Semakin maju, dunia gambar pun direkayasa. Berisi gambar-gambar tokoh dengan kekekaran bentuk tubuh, baju besi, potensi tanduk, dan aneka senjata. Bahkan konon kita tokoh yg bisa membelahdiri di situ. Ada yg wonder woman. Seksi. 

Bagaimana kalau yang punya kartu wonder woman seksi adalah gadis berjilbab? Ya, itulah suara hati. Kecuali kalau ia menolak kartu itu. Seperti ibu-ibu jilbab nonton film India yang sangat disukainya. Yang nenari di layar itu adalah dirinya. Kecuali yang dicemoohnya. 

Ada lagi. Kartu atau karakter tokoh yang nyawanya lebih dari satu. Tidak mudah mati. Tergantung jumlah nyawanya. 

Dari kartu-kartu itu sekarang pindah ke layar HP. Kita menjadi karakter-karakter tokoh yang banyak di situ, selain wajah diri yang bisa direkayasa macam-macam. Diberi kacamata, diubah bibir, ditempeli kumis, dibuat versi kartun, dst".

Komentar saya itu sesungguhnya mengomentari tulisan di akun FB saya yang ini, "SERU AVATAR? 

Seru aplikasi avatar? Emoji. Ego. Representasi diri macam-macam. Penyair dan penggiat literasi pun melakukannya. Bagian dari menyambut September Ceria. Seakan mau lepas dari beban tekanan covid-19 beberapa bulan ke belakang. Apalagi seru-seruan ini virtual juga. Aman jaga jarak, bahkan avatarnya gak perlu pake masker, ketawa lebar. Bisakah dipakai ngaji hikmah Suara Hati seperti pada lagu Iwan Fals? Meskipun kita mesti tanya Iwan, kalo wakil rakyatnya males-mslesan, apa masih suara hati? Masih diri kita?".

Lalu saya ingin cerita sesuatu. Suatu hari seseorang bercelana jeans dan kaos oblong menghampiri saya. Beberapa meter di belakangnya laki-laki berjubah dan bersurban, berjalan lurus entah mau ke mana. Saya bilang dalam hati, "Tubuhmu yang sebenarnya adalah dia. Bertawakallah kepada Allah". 

Di hari lain seorang tua cerita masa lalunya. Ia buru-buru ke tempat wudu karena sudah tertinggal sholat berjamaah. Ia mendapati gurunya baru selesai wudu. Lalu ia pun bergegas menuju ke mesjid. Ternyata gurunya sedang berdakwah, setelah selesai memimpin sholat berjamaah. Dia pun tak habis pikir, "Tapi baru saja, belum lama, saya ketemu beliau di tempat wudu?"

Kemayoran, 04 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG