DINDING PUISI 231

DINDING PUISI 231

Bolehlah dalam beberapa kali kita berfikir, apakah puisi yang akan kutulis sudah ditulis orang lain? Sebab hidup ini seperti berbagi. Dari seluruh penjuru, tempat merapat berjuta kalimat. Sebab tiang pancang Mesjid Demak itu kesatuan dari alamat-alamat. Tegaknya Monumen Nasional itu penerimaan prokmasi di seluruh penjuru Nusantara. Kesatuan suku bangsa yang "bhineka tunggal ika".

Kita ingin saling melengkapi dengan pesan dan warisan paling sakti, agar tak ada yang terlewati apalagi tersakiti. Kita urun rembug di seluruh media. Kalau sudah ada yang meneriakkan dan sudah terdengar jelas, mengapa kita tidak berangkat dari kesaksian dan kesaadaran lain, untuk sesuatu yang lain, yang tidak sekadar ingin beda, tetapi wajib diteriakkan sama lantangnya? 

Sementara di kali lain, kita mesti saling menguatkan saja untuk suatu tema yang sama. Sebab itu bagian dari bergotong-royong menguatkan suatu gagasan, atau menguatkan daya ledak popularitasnya. Agar menyadarkan seluruh pihak seluruh penjuru. 

Lomba baca-tulis puisi dan membuat antologi puisi bersama dengan satu tema tertentu adalah contohnya. Di situ kita seumpama mendirikan sebuah bangunan pengingat yang besar, cagar budaya, atau menegakkan satu speaker besar tinggi-tinggi untuk menyuarakan kalimat yang sama. 

Tetapi tidak harus selalu demikian. Menulis puisi untuk tujuan publikasi di koran, panggung, siaran #radio, maupun di media sosial pun bisa berangkat dari keyakinan bahwa sesungguhnya suatu tema itu sudah banyak atau akan banyak ditulis orang. Hanya khas sudut pandang dan gaya penulisannya yang beda-beda. Memangnya kenapa? Bukan cuma urusan kemerdekaan berkarya, tetapi kita semua membutuhkannya. Kalimat yang benar-benar sama untuk suatu perkara.

Analoginya, mengapa kita rindu wisata ke suatu tempat yang terkenal indahnya? Ternyata hal itu dibangun oleh gairah hati yang sama dari banyak orang. Mengapa kita bisa peduli pada satu problem sosial yang sama? Ternyata itu dibangun oleh keprihatinan yang sama. Sebagai kekompakan sosial manusia-manusia bertuhan yang punya belas. 

Dan mengapa kita berkalimat cinta yang sama? Bahkan nenek-kakek pun merestuinya?

Kemayoran, 06 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DINDING PUISI 264

JANGAN KALAH HEBAT DARI BIMA

TIDAK ADA YANG BENCI KALIMAT TAUHID