DINDING PUISI 233

DINDING PUISI 233

Anda mungkin pernah nonton dan dengar ribut kecil yang penting gak penting di ruang sidang yang ditayangkan televisi. Ada yang bilang, "Si Anu itu sudah menyelesaikan 12 buku, kalau Si Fulan baru nulis 8 buku". Padahal bukan di situ pokok persoalannya. Bukan jumlah buku. Tapi tingkat kepakaran dan kredibilitasnya. Intelektualitasnya. Meskipun ada data juga yang menunjukkan dari sejak pemikir masa silam, banyaknya buku yang ditulis ternyata menunjukkan tingkat kepakaran seseorang. Artinya, harus dilihat siapa dan seperti apa tulisannya. 

Di dunia penyair pun tidak perlu heran. Ada penulis buku sastra yang bukunya sudah mencapai puluhan, tetapi ia harus jujur nempercayai daya pikat penyair yang cuma punya 3-4 buku antologi puisi. Ada yang delu-elukan karena tingkat kualitas puisinya terpercaya. Ada yang dielu-elukan karena popularitasnya. Baik karena karya puisinya, daya pikat apresiasi sastranya, media di belakangnya, atau kegilaannya. Apalagi dia sedang viral sisi baiknya. Atau dielu-elukan karena menampakkan gerakan dan kepedulian sosial yang tinggi. 

Pada karya penyair, kadar kesadaran, kesaksian, dan upaya proses pencerahannya akan sangat terasa menentukan. Justru yang kadang mengganggu adalah sistem sosial dan politik yang sedang berkembang. Sebab seringkali kita menemui iklim dan sistem yang sedang sakit, bahkan sakit parah. Untungnya sastra memang sering berangkat dari permasalahan sosial yang ruwet, menjadi pembuka atau penunjuk jalan terang. Memiliki daya tawar solusi-solusi. Kalau tidak hari ini ya esok lusa. Bahkan kadang setelah penyairnya tiada. 

Oleh karena itu jangan heran kalau saat ini di sana-sini seiring kemajuan teknologi percetakan dan penerbitan yang serba memudahkan, jadi banyak buku yang bisa terbit. Itu sebenarnya bagus untuk kesemarakan bersastra. Tetapi tetap saja alam tidak cuma perlu diwaspadai karena keseriusan seleksi alamnya, tetapi juga akan menjelaskan posisi buku atau karya-karya itu bagi kelangsungan hidup manusia. 

Suatu ketika istri saya sedang memegang buku karya saya, Syair Wangi. Tiba-tiba ada ibu-ibu bertanya, "Buku apa, Bu?" Istri saya menjawab sekenanya agar mudah dimengerti, "Syair asmaul husna". Langsung yang bertanya itu berkomentar, "Nah buku yang begitu yang bagus buat bacaan zikir". Ilustrasi ini menunjukkan fakta, isi buku boleh sama-sama mengandung asmaul husna, atau mengandung satu tema, tetapi buku-buku itu akan memiliki khas dalam menemui pembacanya. Kalau berjenjang akan menunjukkan semisal buku untuk SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Masyarakat yang tidak tahu menahu puisi tentu tidak akan membaca puisi. Dia dapati tema asmaul husna dari buku bacaan dakwah. Yang tidak suka puisi yang dianggapnya terlalu berat tentu akan membaca puisi yang menurutnya paling mudah dipahami dan menyenangkan. Ini lumrah.

Seleksi alam tidak selalu harus dipahami sebagai hal seram yang memilah penyair dan bukan penyair, atau memilah penyair kelas berat dan penyair kelas bulu. Tetapi mengurai bagaimana suatu pesan langit, pesan peradaban, harus sampai kepada masyarakat untuk mencapai tingkat pemahaman yang sama tetapi melalui proses penyampaian yang berbeda-beda. Sebut saja ada yang dengan cara sangat lugas ada yang lebih banyak lika-liku capaiannya. Lebih njelimet multi tafsirnya. 

Seleksi alam atas puisi, atas buku, penyair dan kepenyairannya, dalam situasi normal akan membentuk serupa mata rantai yang saling menguatkan.

Sayangnya, ada juga yang terlalu memaksakan diri bersajak-sajak atau berlagak penyair, padahal merusak pencitraan penyair yang bertanggungjawab dan humanis-universal. Tentu tidak sama dengan yang sedang berasyik-asyik dengan sajak, bahkan dengan mereka yang sedang seru-seruan ngisi waktu. Juga jauh dari pejabat baca puisi yang sedang menyemarakkan suasana dan memoitivasi. Sementara itu ada yang malas-malasan bersajak, sementara kepenyairan tidak mau itu. 

Akan tiba saatnya, suatu yang tidak mendidik, konon terkumpul untuk suatu dukungan politik sekian ratus penyair dari seluruh penjuru. Padahal siapa saja asalkan sudi diundang untuk berkumpul dalam program sastra berpolitik. Tapi ada juga saatnya, yang demikian itu dicibiri sambil lalu. 

Kemayoran, 12 09 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG