DINDING PUISI 238

DINDING PUISI 238

Saya emang menulis puisi JANGAN TAKUT MATI DI KONTRAKAN. Tentu bukan sebuah pesimisme, sebab bagi orang cerdas dan bijak ngontrak pun sikap optimis, bukan pula sikap nantang-nantangin semisal salah guna dari prinsip JANGAN TAKUT MATI DI LAUT. Sebenarnya judul ini judul yang lucu, sesuatu daya tarik yang kadang saya butuhkan dalam proses kreatif. Padahal ada juga judul yang sepadan dengan itu yang jauh terdengar lebih W O W, misalnya JANGAN TAKUT MATI DI DESA.

Memberi tanpa menghiba-hiba adalah bijaksananya penyair. Lagi-lagi seperti onani kalau kita bicara kerja kepenyairan sebagai tema puisi. Tapi tetap dibutuhkan. Sudah dari awal penyair terpanggil untuk menyuarakan sesuatu. Ia khas, berbakat, punya pengaruh, dan tahu kerja sastra, kerja puisi. Maka kata-katanya selalu memberi. Berkesadaran, berkesaksian dan mencerahkan. Sekali lagi, seumpama ia teriak pencemaran kali, tanpa dibarengi sikap menghiba-hiba akan dapat hadiah apa ia dari teriakannya itu? 

Ini puisi saya yang sudah disosialisasikan oleh Lumbung Puisi asuhan RgBagus Warsono:

JANGAN TAKUT MATI DI KONTRAKAN

kalau mati di kontrakan
apa ikan-ikan sungai
yang tahu puisimu tentang pencemaran kali
rugi?

karena penyair 
rumahmu puisi
tanpa memelas dan sengsara
hidup ternyata cuma ngontrak

kalau kamu apa saja
rumahmu juga apa saja 
kalau kamu di mana saja
rumahmu juga di mana saja

setialah pengembara 
bikin rumah sejati yang luas dan megah
bisikkan pada teman-temanmu
satu haluan cinta satu perjuangan,
"Kalau kamu mati di kontrakan,
nama baikmu tidak rugi,
juga ikan-ikan sungai". 

Kemayoran, 06 09 2020
------

Kalaupun puisi ini akan dikaitkan langsung dengan fenomena hidup di kontrakan, bagus juga. Bahkan patut dikaitkan. Apalagi hidup di kota-kota, sudah sejak lama di setiap sudutnya selalu dipenuhi kontrakan rumah. Dari mulai kontrakan kelas murah yang penting nyaman, sampai rumah sewa yang lebih eklusif dan sangat mahal.

Mengontrak rumah, di satu sisi adalah bagian dari strategi hidup. Di sisi lain karena alasan, sebuah keluarga belum juga punya rumah pribadi. Ayah saya sendiri setelah 'pensiun' dari perkebunan tinggal ngontrak selama bertahun-tahun di satu kota dengan alasan menemani anak-anaknya tamat sekolah sambil berjualan kecil-kecilan. Setelah anak-anaknya mulai bekerja beliau pun pindah, menempati rumahnya di sebuah kota kecil, kota kecamatan. 

Dari rumah kontrakan bapak inilah sejak berseragam putih abu saya mulai menulis di koran meskipun sudah mulai nulis sejak usia SMP, lalu di kemudian hari selama bertahun-tahun membawakan acara rutin Apresiasi Sastra di radio. Akhirnya rumah kontrakan ini menginspirasi saya untuk menyebutnya rumah proses kreatif para penulis, terutama yang kebagian mencari nafkahnya di kota-kota sambil terus bersastra. 

Untungnya bisnis kontrakan di kota-kota tidak pernah sepi, sehingga rumah kontrakan adalah bagian dari daya tahan hidup di situ. Sampai-sampai saya pernah mendapat jawaban menarik dari seorang pengontrak yang saya tanya, "Apa yang akan anda perbuat kalau hari ini punya uang lebih?" Dia menjawab, "Saya mau buka bisnis kontrakan". 

Haha!

Di tengah masyarakat kita yang religius juga dikenal istilah, "Hidup di dunia cuma sebentar, cuma singgah, seumpumama numpang minum sesaat". Tapi  tentu tidak dibenarkan kalau pendirian demikian justru mencerminkan keyakinan yang prustasi. Sebab tidak nyambung dengan penyelamatan generasi. 

Kemayoran, 26 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG