DINDING PUISI 240

DINDING PUISI 240

Gila juga malam ini. Tiba-tiba saya langsung bikin komentar atas sebuah tulisan bertema Enny Arrow di media sosial facebook. Enny Arrow adalah penulis stensilan porno yang sangat populer di tahun 80-90an. Benar, ketebalannya sekitar 40an halaman. Disebut porno karena tidak sekadar mengandung cerita seks yang terbuka, vulgar, apalagi sekadar disebut cerita dewasa, tetapi sebenar-benarnya eksploitasi cerita seks dengan menghalalkan segala cara. Meskipun tanpa adegan pemerkosaan dan tindak kriminal lainnya. Karena kecenderungannya dilakukan suka sama suka.

Sama sekali saya masabodoh pada siapa penulisnya? Baru setelah selesai berkomentar mencoba menengok pemilik akunnya. "Siapa sih?", demikian gumam saya.

Inilah komentar saya pada status facebook tersebut: "Saya menduga Enny Arrow adalah nama yang tidak penting. Demikian pun Penerbit Mawar adalah penerbit yang tidak penting. Bahkan tema dan jalan cerita pada buku itu semuanya serba gak penting. Artinya apa? Siapapun boleh menjadi Enny Arrow dan boleh merasa sebagai pihak Penerbit Mawar. Lalu memproduksi buku Enny Arrow dalam jumlah terbatas dan menjualnya. Lalu di kemudian hari ada juga yang meng-copy karya-karya ini dan menjualnya (terutama bagi yang tidak punya kemampuan memulainya dari bikin cerita). Yang penting, biarpun dijual sembunyi-sembunyi, duitnya dianggap lumayan. Tetapi tetap saja, ini buku yang lepas kontrol dari awal. Barbar. Tidak ada orientasi yang jelas, kecuali sekadar mengekspresikan bahwa seks itu, bagaimanapun bentuknya, nikmat dunia yang tiada tara". 

Nama Enny Arrow tidak sekedar tidak penting dan boleh dianggap seperti anonim pada sejumlah syair lagu lama, tetapi lebih-lebih dari itu, kalaupun diketahui pun tidak ada gunanya samasekali. 

Jujur, saya gak pernah dengar kabar atau baca tulisan koran tentang siapa sosok Enny Arrow itu? Baru belakangan sempat selintas menemui tulisan di internet tentang wanita bernama Enny itu. Saya juga tidak tahu apakah ia pernah berurusan dengan hukum? Tapi saya menduga, kalaupun nama itu benar adanya, entah asli ataupun samaran. Sebenar-benarnya pernah menulis buku itu. Lalu telah menyesali perbuatannya dan sudah menyatakan berhenti menulis. Bahkan mungkin sempat berurusan dengan polisi. Nampaknya sangat mudah dicurigai, produksi buku Enny Arrow di tengah masyarakat saat itu telah kadung menjadi bola liar. Terus menggeliat di pasar gelap. Ibaratnya, seorang pengangguran pun bisa tiba-tiba menggenggam tanah atau kerikil pinggir jalan lalu menjualnya untuk sekadar memiliki beberapa batang rokok dan segelas kopi. Begitulah spontanitas pembuat dan pencetak buku porno ini. 

Ibaratnya, kalau ganja mesti nanam sembunyi-sembunyi, panen lalu menjual. Kalau buku porno, tinggal bikin atau nyetak ulang secara sembunyi-sembunyi dari yang sudah beredar, lalu jual. Kalau anda hidup di tahun-tahun itu, anda bisa melupakan kemampuan menulis anda yang lain, cukup menulis dan mencetak buku porno dengan tidak mrncantumkan nama penulis baru, termasuk nama anda. Itu malah tidak akan bikin laku. Cukup cantumkan nama Enny Arrow, para penjual dan pembeli akan langsung ngerti dan mengenali. Sebab nama itu sudah brand image di dunia gelap.

Saya tidak sependapat kalau buku-buku Enny Arrow disebut karya sastra, meskipun dilabeli berkeberangkatan anti-sastra mainstream, sebagai kritik atas sastra ekslusif dan normatif. Sebab apa? Yang di luar mainstream itu semestinya berpusar pada gaya penulisan yang super bebas, tema yang boleh 'sekena'nya, bahkan pada menonjolnya sensasi seksualitas dan erotisitasnya, dst. Sementara yang terjadi justru tidak ke arah itu. Ada adik-kakak yang disetubuhi tanpa nikah oleh seorang laki-laki. Ada pembantu yang disetubuhi oleh majikan dan anak majikannya. Ada pemilik kos-kosan yang digilir oleh penghuni kos. Ada anak di bawah umur yang diceritakan sedang diajari cara berhubungan seks. Ada anak-anak yang sejak masa kecilnya pernah diajak ngesek, lalu sejak saat itu fantasinya selalu ketagihan, lalu berterimakasih ketika ada yang mengajaknya melakukan seks bebas. Dst. Tidak tersirat pendekatan kehalusan rasa, tanggungjawab, kehati-hatian, dan prinsip reproduksi sehat. Itu sudah sangat jauh keluar dari anti-mainstream yang lurus.  

Lalu saya berfikir, kalau pengalaman sosial yang sangat kelam ini bisa dibalik untuk mendatangkan inspirasi positif, apakah ada sejumlah penulis yang rela mengumpulkan sejumlah karya puisi, lalu puisi-puisi itu diterbitkan menjadi sebuah buku, yang di halaman depannya dicantumkan nama penulisnya, Dasep, slengean dari "dasar kasep" atau "dasar ganteng", atau Dasep Suryanto (Si Ganteng yang bersinar), atau dengan nama lain?  Atau adakah sebanyak mungkin  orang yang mau merasa sebagai Dasep Suryanto itu atau nama siapa saja yang fiktif, yang sudah populer menulis buku-buku hikmah? Sebab yang terpenting, bukunya laku dan uangnya bisa dipakai untuk membeli kebutuhan pokok. Ah, pasti terdengar ada-ada saja.

Dan tetap saja, kalau ada sebuah buku karya seseorang lalu dicetak ulang dengan dibubuhi nama penulis baru, itu namanya pencurian karya. Jelas-jelas melanggar hukum. Berbeda dengan teori buku atau tulisan gelap. Kalau kita melakukan proses copy-paste atas suatu tulisan porno dari internet, lalu disebarluaskan menggunakan nama penulis baru, mungkin penulis pertamanya cuma akan tertawa masabodoh. Selain itu, memperbanyak buku tanpa seijin penulisnya atau penerbit untuk tujuan komersil adalah pelanggaran. 

Di sini kita perlu waspada juga pada kenakalan atau kejahatan cyber atau medsos. Sebab apapun bisa terjadi. Bisa saja suatu saat kita menemukan sebuah cerita porno dibubuhi nama penulis, Hasani Hamzah atau Ahda Imran. Padahal naskah itu cuma copy-paste dari situs porno. Selain itu bisa juga naskah yang sama dibubuhi nama penulis, KH. Anu. 

Menarik kalau sejenak kita menengok lagi konsep sastra tutur. Sastra ini pada awalnya adalah kebebasan seseorang untuk bersastra atau bersyair secara lisan. Didengar oleh orang-orang atau murid-murid di depannya, lalu disebarluaskan. Bisa jadi yang dituturkan ini sebagian sempat ditulis dulu di atas daun lontar atau apa saja, tetapi ia tidak menemui masyarakat sebagai karya tulis atau karya cetak. Kelak di kemudian hari fenomena ini akan memunculkan para penulis yang menyampaikan tuturan-tuturan itu. Yang paling populer di tanah Jawa adalah tuturan para wali, termasuk Sunan Kali Jaga. Tentu, siapapun bebas membuat buku dengan judul yang kuranglebihnya seragam, Syair Kalijaga. Lalu dapat uang dari penjualan buku macam itu. 

Bahkan kalau hari ini saya datang ke suatu kampung lalu bicara dengan seseorang yang merasa punya beberapa kenangan leluhur tentang Kalijaga. Saya bisa tiba-tiba ingin menyosialisasikan tuturannya itu. Misalnya ketika tokoh itu menyebut, "Dari dulu di sini dikenal pesan Kalijaga, kalau mau menyanyi menyanyilah, kalau mau menari menarilah, tapi gunakanlah pakem agama". Tetapi tentu bisa terjadi banyak bias karena setiap sastra tutur pasti akan sangat dipengaruhi oleh ciri khas si penutur berikutnya. Tetapi selagi bias itu cahaya, maka ia adalah bias-bias hikmah. 

Pertanyaannya, apa sikap dan bagaimana reaksi anda jika suatu waktu menemukan bendelan kertas berisi syair-syair Kalijaga tetapi setelah ditelusuri tidak diketahui penulisnya, apakah anda akan mempercayainya? Apakah anda akan menyebut, hilangnya nama penulis itu berada pada posisi sama persis tidak pentingnya dengan nama Enny Arrow? Suatu nama yang boleh hilang. Tulisannya akan menjadi milik yang mau menuturkannya kemudian. 

Catatan ini tidak remeh, meskipun sekadar membuka rahasia di balik buku gelap. Sekaligus mempertanyakan, apakah kita bisa berfikir jernih dengan meninggalkan itu? 

Kemayoran, 28 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG