DINDING PUISI 259

DINDING PUISI 259 

Proses kreatif itu bebas. Ada juga yang menyebut, liar. Tentu keliaran yang dimaksud adalah 'kebebasan yang bertanggungjawab' tanpa bermaksud ikut-ikutan slogan Orde Baru. Sebab ramai di era reformasi, slogan ketika itu bertanggungjawab diartikan cenderung atau mendukung sikap otoriter penguasa dalam seluruh hal meskipun aturan dan kebijakannya tidak sedikit yang sarat kritik. Sedangkan bertanggungjawab bagi bangsa ini yang paling universal adalah sikap kemanusiaan berketuhanan. Meskipun ada juga di era yang cukup berat cobaannya saat ini, ada yang alergi dengan istilah berketuhanan yang maha esa itu.

Berpuisi adalah bersikap. Berkesaksian, berkesadaran, dan mencerahkan. 

Proses kreatif itu sungguh bebas, termasuk dalam hal menulis dan menyosialisasikan karya puisi. Dalam menulis, kebebasan yang dimaksud sudah termasuk hal bentuk yang super bebas. Yang mengingatkan kita pada suatu prinsip. Bahwa sesungguhnya sastra itu tulisan yang indah, baik indah kata-katanya, berbunga, maupun indah prikemanusiaannya, meskipun kata-katanya sederhana dan lugas selayaknya berbahasa tutur sehari-hari. Sastra itu diawali dengan nenulis atau melisankan karya yang bisa ditulis. Tentu mau berbentuk seperti apapun, bebas, asalkan menurut saya berkaidah bahasa dan berkaidah kalam. Bahasa lebih cenderung pada pengungkapan fikiran dan perasaan manusia, apa saja, sedangkan kalam adalah ketepatan isi ungkapannya. Melingkupi seluruh dasar ilmu. Termasuk tidak menolak eksistensi Yang Maha Esa dan Maha Mulia. 

Saya setuju dalam Sumpah Pemuda kita, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang sudah menyertakan keunggulan kalam yang dipertegas melalui Pancasila kita. Sebab tidak mustahil di kelak kemudian hari akan ada wacana, Bung Karno dan bangsa ini gagal dengan Pancasilanya. Cukup dengan Sumpah Pemuda. Padahal keduanya satu nyawa, satu ikatan. Kurator mesti tahu. 

Bersastra bisa mengikuti bentuk dan pola yang sedang berkembang, bisa juga mengekspresikan telusur baru, baik dengan cara disengaja, dibuat-buat, diutak-atik mendetil, maupun ibarat melukis sekenanya di atas kanvas. Kalau urusannya dengan publikasi karya yang sekenanya itu, tinggal mencari panggung, ruang, atau penerbit yang mau dipaksa untuk mau menerbitkannya. Sebab sekali lolos, itu karya sastra baru yang melesat bebas sebebas-bebasnya. Bisa saja buku ini  berisi beberapa karya yang cuma terdiri dari beberapa kata saja, ada yang setengah halaman atau satu halaman panjangnya, ada juga yang bisa lebih dari dua halaman. Bahkan tidak penting disebut puisi, cerpen, atau apa. Terserah mau disebut apa. Yang jelas, itu karya sastra. Saya kira Kahlil Gibran melakukan yang seperti ini. 

Pembatasan-pembatasan yang serba ketat itu selama ini kan terkenal sebagai pekerjaan panitia-panitia. Supaya peserta dan Dewan Juri tidak bingung. 

Selain bentuk, kebebasan proses kreatif itu juga nampak dari cara sosialisasinya. Sebab itu artinya bersengaja agar suatu karya bekerja di tengah masyarakat. Saya sendiri selain menerbitkan buku puisi sendiri, cukup antusias dengan penerbitan buku antologi bersama. Baik yang temanya ditentukan  oleh panitia, maupun bersifat umum. Tema bebas. 

Namun kadang saya merasa kagok. Sedikit terganggu oleh pemberitahuan teman-teman, bahwa pada beberapa antologi bersama yang dipersiapkan panitia ternyata  bersifat lomba juga selain kurasi untuk masuk satu buku yang akan diterbitkan. Sebab saya sudah kadung senang pada tema khusus atau tema bebas itu. Gak mau dibebani harus berfikir mengalahkan puisi lain. Dan benar, akhirnya untuk beberapa ajakan yang saya pilih saya bermasabodoh dengan lombanya. Toh demikian ada juga di satu-dua buku saya muncul sebagai pemenang, sementara di buku lain tentu saja tidak. Bahkan, "sebentar saya senyum dulu", ada juga puisi saya yang tidak lolos masuk buku itu. Bahkan ketika buku itu disebut-sebut menampung karya penyair dan non-penyair. 

Kemayoran, 29 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG