DINDING PUISI 262

DINDING PUISI 262

Tulisan di media sosial yang terbaca seperti lontaran sekenanya, dengan komentar-komentar sekilas yang juga seperti pendapat sekenanya tidak semuanya tidak menarik. Bahkan menurut saya tidak sedikit yang berbobot, berisi. Atau setidaknya seru untuk jadi pembuka diskusi selanjutnya di berbagai forum. 

Malam saat menulis catatan singkat ini saya sedang terus teratarik pada tulisan dan komemtar di akun sosial FB siang tadi. Yang mana? Yang ditulis oleh Endah Trimulyati, "Puisi hanya berputar di kalangan penulis puisi. Apakah puisi kurang nikmat untuk diminati?"

Berikut ini saya ambil sedikit dari komentar-komentarnya:

1. Lilis Daryani:
Puisi bagiku seperti mkanan sehari-hari..

2. Prasetya Utama:
Tergantung...manusia dan masyarakat selalu berubah....

3. Wardjito Suharso:
Orang awam tidak mau pusing baca puisi yang tidak jelas maknanya. Puisi2 prismatis dengan diksi simbolik, metaforik, sangat sulit dipahami oleh otak yang sudah terbiasa berpikir linear dan pragmatis.

Oleh karena itu, puisi2 diafan, yang lugas, mudah ditangkap dan dicerna maknanya, lebih disukai publik. 

Tidak heran publik lebih suka baca novel daripada puisi. Dari novel, pembaca langsung memperoleh hiburan cerita yang membangkitkan imajinasi. Pembaca bisa larut terserap dan merasa terlibat dalam cerita novel. Mereka dengan senang hati membeli novel karena mereka memang butuh hiburan. Novel mampu berikan kebutuhan hiburan pada pembacanya.

Wajar saja kalau puisi pembacanya sangat terbatas. Di kalangan penulis puisi sendiri, belum tentu mereka baca buku puisi yang diperoleh dari teman sesama penulis puisi. Apalagi dapatnya gratisan! Sampai rumah, paling hanya dipajang di rak buku. Sebagai bukti telah memiliki buku teman sendiri.

4. Mahbud Junaedi:
Aku mengajar khusus puisi ke para santriwati, kok peminatnya bertambah ya? Sampai berminat bikin antologi bersama. Aku menjelaskan puisi sesuai pengalamanku dan apa yang aku tulis sebagai puisi yang tak serta merta dimengerti saat itu juga menjadi asupan setiap aku mengajar. Diksi yang sulit dan metafora serta kosa kata yang jarang mereka kenal juga diperkenalkan. Apresiasi mereka terhadap puisi orang lain dan bisa mensyarah puisi secara mandiri

5. Gusjur Mahesa:
Jeroooo

6. Yp Utomo:
Puisi itu mengalir begitu saja..jangan dipaksa,  inspirasikan ke generasi Milenial agar mereka juga menikmati

7. Pak Ning:
Bagi yg berjiwa puisi.
Puisi akan tetap sampai.
Tapi akan tersesat bagi yg tak menyukai.

8. Imam Mutaqin:
Padahal nikmatnya membaca puisi itu ketika kita mencari tafsiran dari setiap diksi.

9. Friska Dacosta:
Saya pernah membuat satu metode bagaimana para Remaja khususnya Pelajar SLTA di era Milenial ini dapat menyukai Puisi.

Caranya : Suruh mereka menuliskan ungkapan Perasaan mereka tentang macam Hal. Biasanya mereka lebih suka tentang Cinta, dengan bahasa gaul atau bahasa asal aja..lalu saya Translite ke dalam bentuk Puisi dengan kalimat yang Indah..

Salah satu contoh adalah kalimat pendek berikut ini ;
'Gw illfeel dah sama Loe to ye.. Kepo'in Gw aje.. anjriit..!
Ke Laut aja deh Loe..'

Lalu saya gubah menjadi sbb :

----------------------------------------------
'Betapa menjijikan dirimu..
Sikapmu yg mengoyak rasa hatiku ini..sungguh...Memuakan..Bedebah !
Enyahlah kau, dari hidupku..
Hingga jauh di kedalaman Samudera..'
-----------------------------------------------

Ternyata...mereka suka sekali..sampai tertawa ke'asyikan'..bahkan sampai bilang begini ;
'Wah...kalo macem gini nih, itu baru namanya tulis Puisi yg gayanye asyik punya...Pak !'

10. Yusuf Edy Suryono:
Saya rasa karena kurangnya apresiasi dari sekolah, sehingga kebanyakan yang suka sastra belajar secara otodidak

11. Elipsis:
Masih banyak ko, yang minat.

12. Mas Nanda:
Jika puisi anda menyangkut cinta, mungkin semua kalangan akan menikmatinya. 

Tapi jika puisi anda menyangkut kerenda, mungkin yg muda banyak yg tak mnghirukannya. Hhhhha

13. Gilang Teguh Pambudi:
Masih lumayan puisi keliling di dunia penulis. Itu dunia yang besar. Apalagi kalau para penulis itu punya komunitas sastra atau komunitas seni, atau aktif di komunitas, atau selalu berkoordknasi dengan komunitas-komunitas. Setidaknya isi puisi bisa 'mendunia' di ruang itu.

Endah Trimulyati, puisi itu kedalaman makna yang ikhlas. Dia milik Tuhan. Selalu bekerja secara istimewa. Sekaligus menunggu seluruh ihtiar, segala cara.

14. Yayat Priyatna:
Penikmat puisi baru sampai di tingkat penyuka puisi saja. Perlu kerja ekstra semua pihak bagaimana literasi dapat ditumbuhkembangkan di persada ini dengan baik.

15. Putra Wilis:
Kadang yang nulis penuh kesombongan hati ... Merasa sok bisa ... 
Jadi pembawaanya juga males ... 

Coba penulis ... 
Saling menghargai satu sama lain ...
Jangan membeda bedakan ....

Insya Allah akan tumbuh dan berkembang ...

16. Kasdi Kelanis:
yang lain sibuk dengan bidang masing-masing. Yang kuliah di bahasa dan sastra Indonesia saja banyak yang tidak suka puisi...

17. JokoJuke:
Karena puisi khusus untuk orang istimewa. 

18. Muhammad Jayadi:
Soal hati yang ditarik keindahan puisi, saya dulu pembenci puisi, lalu ada rasa keindahan meresap ketika membaca dan hingga sekarang saya cinta pada puisi. Saya bersyukur. 

19. Gading Ukira:
Jika tidak ada mobilisasi, sepertinya  memang demikian.

20. Ibramsyah Amandit:
Kalau penikmatnya pd bakso ya tentu tdk pilih puisi. Kalau aku penikmat antara bakso - puisi

21. Hudan Hidayat:
Fisika juga berputar di ilmuwan fisika, pun matematika, ya. Badminton kalah ama tinju, dan tinju, nah, kalahkah sama bal-balan? Mungkin Chairil benar: yang bukan penyair gak usah ikutan 

Kemayoran, 02 11 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG