DINDING PUISI 263

DINDING PUISI 263

Sekelompok orang pinter unjuk aksi, bikin arena puisi, panggung puisi, seksi dan penuh sensasi. Setelah beberapa orang naik panggung atau muncul di tengah arena baca puisi, dengan penonton dari pencinta sastra yang antusias, mereka inipun ditonton, serupa pertunjukan bagi masyarakat umum yang lewat dan bergerombol-gerombol. Sebut saja jika salahsatu peristiwanya di suatu obyek wisata kota.

Mungkin kita jarang bicara ini. Pertunjukan dan penontonnya, yang keduanya ditonton orang banyak. Semacam bintang panggung dan komunitas penontonnya yang eklusif, apalagi pakai atribut komunitas, yang ditonton orang-orang.

Itulah aura yang bisa kita rasakan pada binar-binar mata yang melihat kegiatan sastra atau baca puisi di tengah publik. Sehingga sungguhpun ada beberapa puisi yang samasekli tidak dimengerti oleh tidak sedikit pengunjung arena taman, meskipun sudah dibacakan dengan pembacaan yang tepat dan pembawaan penuh ekspresi, toh mereka tetap anteng, menikmati ---dalam ketidak mengertiannya yang masabodo, seumpama tengah mendengar doa-doa, jampi-jampi, atau kalimat mantra. Suatu takdir tradisi yang sudah tua dan subur di tengah kita. Percaya pada kabar baik. Ya, biasanya disertai perasaan berprasangka baik, "Orang pinter sedang beraksi".

Bersyukurlah, di tengah awam, penyair, pembaca puisi, komunitas sastra dan komunitas puisi selalu dilabeli kelompok pinter, atau kalangan intelektual. Orang-orang cerdas dengan daya faham atas cahaya ilmu di atas rata-rata. Bersyukurlah. Berarti kita telah menjual itu, tidak cuma mau menjual glamoritas keartisan. Dan ini sangat khas. Bersyukurlah dengan segenap tanggungjawab kalau tidak ingin membohongi diri sendiri dan masyarakat.

Bukan semata terjebak eklusifitas semu, tidak adanya tanggungjawab kolektif membuat Orang Tahu bahkan Bayi Merah membaca kedukaan. Lebih buruk dari sekedar otokritik dari kalangan pengamat sastra yang ternyata menemui guru-guru bahasa dan sastra tidak pandai menulis puisi dan cerpen meskipun keilmuannya tidak untuk menjadi penyair dan cerpenis. Yang disebut-sebut, mengajar sastra semata karena di situ ada uang hasil kerja. Bukan semata kerja budaya yang besar. Sampai ke gagap struktural. Dinas dan kementrian pendidikan, kebudayaan, dianggap tidak lagi paham sastra. Tetapi mudah tersinggung kalau dibuka lukannya. Yang seperti mau mengucilkan para pihak yang mengkritisinya, yang disebut kelompok swasta atau aktivis komunitas yang jangan lagi bersentuhan dengan struktur kependidikan. Sekelompok yang layak dianggap tidak mau kerja, atau tidak bisa kerja, atau jangan diajak kerja, atau jangan dicatat dan dikabarkan telah bekerja.

Di tengah kampung. Di tengah sawah. Seorang penyair atau sastrawan yang juga seorang petani akan sangat menonjol dalam wibawa berbahasa ketika mengurai sastra. Membuat batang-batang padi tak henti terkesima. Kalimatnya bersih dan cerdas. Sensitif, terbang tinggi, dan menukik dalam, membumi. Sebab sastra baginya, puisi baginya, tak ubahnya energi mengolah tanah dengan segenap doa-doanya. Tak ada jarak antara manfaat lumpur sawah dengan diksi. Dan itu sangat dimengerti oleh siapapun yang dengar, meskipun mereka selain yang masih suka menyemarakkan panggung baca puisi sudah mengaku, "Jangan ajak kami jadi penyair, bisa menulis puisi atau minimal bisa baca puisi di panggung, sebab itu menyulitkan, menyiksa. Ajak saja kami mengerti". Padahal ini sukses literasi itu. Bagian dari cara ukur, sampai ke mana kerja puisi disebut berhasil? 

Kemayoran, 03 11 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG