DINDING PUISI 266

DINDING PUISI 266 

Benarkah pendapat yang menyebut banyak penulis sastra sudah sejak lama ngumpul di kota-kota besar tertentu, atau pindah ke daerah lain dari daerah asalnya, baik untuk sementara maupun untuk selamanya, sehingga sulit merepresentasikan daerah atau kabupaten asalnya, juga tidak bisa masuk dalam data penulis di kabupaten asalnya?

Benar. Sehingga sebuah kabupaten tidak mungkin mengirim penyair tersebut sebagai utusan di suatu forum sastra tingkat propinsi atau nasional, baik yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah atau kepanitiaan yang dibentuk dan difasilitasi oleh lembaga pemerintah maupun swasta, ketika penyair yang dulu dikandungnya sudah tinggal di tempat baru dan beralih KTP. Bahkan tanpa pindah KTP pun akan menyulitkan pendeteksian sepak terjang penyair itu sebagai potensi lokal meskipun selalu sebagai aset nasional, bahkan dunia. Apalagi kalau ditilik dari keterlibatannya pada kegiatan-kegiatan sastra lokal di daerah asalnya, otomatis dia sudah cenderung terputus. 

Saya sendiri kalau dilihat dari akta kelahiran dan KTP yang pernah bersarang di dompet selama bertahun-tahun bisa disebut penyair Curug Sewu-Kendal, penyair Sukabumi, penyair Bandung, penyair Purwakarta, dan penyair Kemayoran. Ini sebabnya di berbagai buku antologi puisi bersama semua sebutan itu pernah muncul. Lalu daerah manakah yang paling layak diwakili oleh saya? Untung masih ada sebutan penyair nasional, yaitu penyair yang berproses kreatif dengan menggunakan  bahasa nasional, bahasa persatuan, maupun penyair yang kuat prinsip nasionalismenya. Ada juga sebutan penyair Indonesia dan penyair Nusantara, yaitu penyair yang berkebangsaan Indonesia, termasuk yang berproses kreatif menggunakan bahasa daerah. Ini saja yang saya pegang. Tinggal menunggu undangan terbuka untuk apa? 

Sampai saya memikirkan. Semestinya untuk temu nasional, khususnya yang ada peran lembaga negara atau anggaran negara di belakangnya, di tahap pertama ada para undangan yang merepresentasikan propinsi-propinsi. Selanjutnya, ada undangan yang merepresentasikan kabupaten-kabupaten, dengan mengesampingkan yang sudah diundang lebih dulu atas nama propinsi. Dan tahap tiga, undangan yang tidak melalui jalur propinsi dan kabupaten tertentu. Melainkan melalui penjaringan terbuka secara nasional. Cara ini kita harapkan bisa nenutup semua pintu, meskipun selalu dikritisi apakah seluruh mata dan telinga penyair sudah dikabari? Atau ada yang sengaja harus dilewat? 

Bicara soal terlewat atau dilewat, untuk suatu forum yang diselenggarakan oleh swasta bisa disebabkan oleh keterbatasan dana, keterbatasan daya tampung lokasi penyelenggaraan, pengaturan temu tahunan yang bertahap, atau karena suka-suka yang ngundang. Sebab ada teori baku yang juga menjadi rahasia umum, jika pesertanya sudah lintas beberapa propinsi atau lintas kabupaten sudah bisa disebut temu nasional. 

Sekarang, di minggu baik ini, silahkan anda merenung. Tidak harus karena masalah kesiapan diundang ke acara-acara sastra, tetapi lebih kepada kesiapan menyebut diri sendiri. Apakah anda nyaman disebut semacam Penyair Pasuruan? Atau lebih nyaman disebut semisal, Penyair Jawa Barat? Atau lebih nyaman disebut Penyair Indonesia? Atau terpaksa mau dujuluki Penyair Pengembara? Haha. Tapi sambil minum kopi minggu ini saya pada detik ini mau bilang, selain sebutan-sebutan yang sudah ditulis di buku-buku itu saya kok bangga disebut Penyair Kemayoran, meskipun Kemayoran itu cuma sebuah kota kecamatan. Selain sudah bertahun-tahun ber-KTP Kemayoran, dari tahun 70-an ibu kandung saya memang domisili dan beranak-cucu di tempat ini. Atau disebut Penyair Stasiun Kemayoran atau Penyair Tugu Ondel-Ondel, meskipun saya cuma tinggal gak jauh dari situ, tanpa mesti mangkal harian atau mingguan di situ. 

Salam sastra, salam literasi. 

Kemayoran, Minggu, 08 11 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG