DINDING PUISI 269

DINDING PUISI 269 

Aktivis literasi itu menjajakan kata, tulisan dan buku-buku ke mana-mana. Ke perpustakaan, ke taman bacaan, ke komunitas-komunitas, ke sanggar-sanggar, ke spanduk, ke poster, ke siaran radio, ke berita TV, ke lirik lagu, ke semua orang. Benar. Tapi tidak harus seorang penulis ia. 

Dalam sukses literasi menawarkan bacaan, aktivis literasi itu bisa menjajakan buku sastra, buku ekonomi, buku agama, buku pertanian, buku teknik mesin, buku politik, buku peternakan, buku tata kota, buku lingkungan hidup, buku transportasi, buku UMKM, buku cara membuat topeng kertas, dan buku apapun. Maka kalaupun ia akan jadi penulis, ia bisa jadi penulis apapun. Termasuk bicara obyek wisata dan penanggulangan sampah. Tentu, juga halal bikin antologi puisi dan novel. 

Ini perlu ditegaskan karena ada pada sebagian masyarakat, bahkan di kalangan peminat sastra, pemahaman bahwa sukses literasi itu artinya gemar baca buku sastra di satu sisi, dan mampu menulis sastra di sisi lain. Tentu ini rancu. Meskipun benar, dari kacamata pembangunan literasi, sebuah bangsa atau negara harus melahirkan sukses baca sastra sekaligus mesti melahirkan penulis-penulis karya sastra. Sebab dapat dibayangkan, negri macam apakah yang tidak kenal baca sastra dan tidak punya sastrawan? 

Sukses baca karya sastra pun tidak perlu kita maknai harus membuat seorang pembaca bisa menulis. Sebab seorang yang membaca buku cara menanam ketela tidak wajib mampu menulis buku sejenis, tetapi mampu berkesejahteraan karena menjadi petani ketela. Kalaupun ia seorang peternak ikan yang membaca buku cara menanam ketela, ilmunya bisa dipakai oleh temannya yang mendapat tahu darinya. Kalaupun dia menanam ketela mungkin sekadar memanfaatkan sedikit sisa lahan di sekeliling kolam ikan. Sebab untuk menyambung kabel listrik seseorang bisa diberitahu oleh orang lain yang lebih dulu tahu tentang kelistrikan. 

Tapi, sungguh suatu bangsa yang dungu yang dari kalangan para pembaca bukunya tidak lahir para penulis. 

Lagi saya mengulang ulasan lama. Kalaupun di satu kabupaten lahir 100-1000 penulis, itu jumlah yang sangat sedikit. Meskipun senyatanya itu masih sulit terpenuhi hari ini. Tetapi sudah semestinya seluruh manusia adalah pembaca buku. Untuk sukses literasi itu. Meskipun jenis dan tema bukunya macam-macam. Saya sendiri, selama tinggal di kota tanpa lahan pertanian, masih asyik membaca buku cara menanam sayur atau cara beternak bebek. Kita sama kan? Begitu juga kan? 

Mungkin feeling seorang lurah pada suatu ketika itu benar, ketika bilang ke saya, "Bapak kan aktif di masyarakat, bapak bisa koordinatori teman-teman muda untuk bikin taman di sepanjang bantaran kali, nanti tanamannya kami yang kirim". Oo, terimakasih lurahku. Sayang, saya gak lama tinggal di situ. Tapi itu membenarkan, orang kota juga mesti baca buku tanaman. Suatu ketika bisa ada manfaatnya. Minimal kita punya pengetahuan mengenai tanaman. 

Dan satu pertanyaan lagi, sekadar menemani merasa-rasa sambil menerawang kenyataan, di antara para penulis dan potensi masyarakat pembaca buku itu, untuk se Indonesia, dibutuhkan berapa banyak aktivis literasi? 500.000? 100.000? Yaitu para pihak yang perduli pada masyarakat membaca dan masyarakat yang mengamalkan bacaannya. 

Kemayoran, 15 11 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmsil.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG