DINDING PUISI 270

DINDING PUISI 270

Benar, Kawan. Permainan bunyi bukan hal utama bagi proses persajakan. Terlebih pengalaman kita menunjukkan, ketika suatu puisi dialihbahasakan ke bahasa asing, akan sangat sulit mendapati suasana permainan bunyi yang sama atau seimbang. Yang sering terjadi sebatas pemindahan pesan inti ke bentuk puisi berbahasa baru dengan unsur persajakan lain, semisal perlambangan yang serba masuk akal. Universal. 

Tapi benarkah permainan bunyi benar-benar tidak prnting? Ini nampaknya mesti kita luruskan juga. Di satu sisi, puisi yang cuma menonjolkan permainan bunyi malah sering terjebak. Alih-alih jadi indah, seringkali malah tertangkap sebagai pemaksaan bunyi. Memang. Jadi tidak natural. Pada bentuk lain, permainan bunyinya pas, tetapi terasa monoton karena seperti kebiasaan yang cuma menguras energi, kehilangan kemunculan penguatan-penguatan pesan dengan cara-cara lain, semisal mencari frase, penguatan istilah populer, atau penemuan istilah baru yang semakin tajam.

Di sisi lain, puisi yang permainan bunyinya senyawa dengan ketajaman pesannya justru menjadi nyawa itu sendiri, meskipun bersifat khas suatu bahasa tertentu. 

Di dalam kultur Sunda bahkan, sebagai satu misal, syair yang banyak menggunakan bunyi "ng" sering menunjukkan keagungan, keutamaan, atau bersifat magis. Dengan itu terhindarlah dari monoton dan menjenuhkan. 

Saya coba berandai-andai. Ketika ada sebuah puisi Indonesia sudah diterjemahkan ke bahasa Belanda, lalu berlatar terjemahan dalam bahasa Belanda itu seseorang menerjemahkannya lagi ke bahasa Inggris. Sampai di sini segala data bisa saja masih lengkap, sehingga pembaca menemuinya sebagai puisi dari bahasa Indonesia. Tetapi jika telah memasuki rentang waktu yang panjang lalu seseorang menemukan sebuah puisi berbahasa tertentu yang dialihkan dari bahasa Inggris, bisa jadi dia menduga itu memang puisi Inggris. Bahkan ketika di belakang hari ia menemukan versi Indonesianya, jangan-jangan ia menduga yang berbahasa Indonesia itu hasil terjemahan dari puisi Inggris. Kecuali setelah data-data penelusuran didapatinya secara lengkap. Termasuk dikuatkan oleh bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia, "tradisi Indonesia",  yang sangat khas. 

Berikut ini sebait puisi saya yang memainkan bunyi:

linang mata bayi
lanang seteguk kopi
ayah pergi kuli
bayi dan ibunya menanti

Saya merasa, ini puisi dengan bunyi-bunyi yang khas Indonesia. Yang ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris sangat tidak mudah mendapati empat larik berakhiran i, atau mendapati seluruh katanya yang berakhiran i di-Inggriskan dengan mencari-cari kata berakhiran i. Padahal kalaupun itu ditemukan, bisa jadi malah terjebak permaksaan bunyi yang tidak menguatkan isi. 

Dengan kenyataan ini, saya sih masih asyik berpesan, gak apa-apa bermain-main bunyi, bahkan seru-seruan dengan bunyi untuk suatu maksud yang tepat dan kuat. 

Subhanallah. Lalu saya teringat bacaan Surat Al-Ihlas yang indah sbb:

qul huwallāhu aḥad
allāhuṣ-ṣamad
lam yalid wa lam yụlad
wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad

Surat Al-Qur'an ini sangat saya cintai isi pesannya, tetapi juga sangat saya sukai bentuk kalimatnya dengan bunyi yang khas dan bernyawa. Menikmati kekuatan bunyinya, tentu bukan semata karena diterjemahkan. Tetapi karena tafsirnya sangat pas dengan rahasia kekuatan bunyi aslinya. 

Kemayoran, 16 11 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG