DINDING PUISI 271

DINDING PUISI 271 

Kalau saja bukan era media sosial (medsos), peristiwa ini mustahil terjadi. Saya kemarin tiba-tiba harus menulis status di beranda medsos, "Bukan soal kasta atau kelas. Sederhananya, menyuarakan yang tidak terlalu disuarakan. Termasuk dengan cara yang mungkin beda. Tidak harus selalu soal pinggiran atau marginal". 

Aktivis sastra Hasani Hamzah spontan berkomentar, "Ya. Sepakat". Dan yang unik teman dari Surabaya yang asal Banyuwangi berkomentar, "Menyuarakan dengan nada fals mungkin itu yang paling didengar". 

Pertama saya mau bilang, mengulang nasehat lama. Status adalah dirimu, maka berhati-hatilah menulis status. Demikian pula foto profil adalah dirimu, sebagai avatar sekalipun. Maka super hati-hatilah pada doa atau peryataan tentang dirimu. Kedua saya mau bilang, status saya itu adalah kegelisahan yang normal, universal.

Bicara politik kebudayaan, tidak cuma bicara siapa kawan siapa lawan. Sebab hidup dalam naungan satu Pancasila dan satu Undang-Undang Dasar mestinya kita berkesetiakawanan sosial. Dalam kesetaraan martabat sebuah bangsa, kita ini butuh bicara-bicara yang serius dalam kesabaran dan kebahagiaan yang segar. Dimulai dengan doa cinta. Dengan mengucap "bismilahirohmanirohim" bagi umat Islam. 

Kita muak kalau dalam segenap aspek selalu memunculkan perlawanan di satu pihak dan membunuh beda pendapat di pihak lain. Biarlah kantong-kantong kelompok itu bersemi dengan sukacita perjuangannya, tetap mendengar dan saling menyapa, selalu dalam prinsip berbagi sedekah senyuman. Meski kadang ada ngomel dan marah-marahnya. 

Kita di balairung yang sama. Boleh kan menyuarakan yang jarang disuarakan atau menyampaikan dengan cara yang beda? Tak harus selalu mengatasnamakan diri atau menuding kelompok pinggiran atau marginal, meskipun dari situ selalu ada kendaraan yang bisa kita naiki. 

Kiranya puisi saya yang bersahaja ini sekaligus menjawab komentar Nur Khofifah. "Nada fals" itu adalah solmisasi yang menyuarakan kalimat yang kurang umum, sehingga terdengar aneh. Harus aneh. Padahal tidak aneh.

MEMANAH, BERKUDA, DAN BERENANG

demi pesan Nabi
memanah, berkuda, dan berenang
remaja itu ingin jadi robot
dari tangan dan matanya menyembur api
meluncur tenggelam dan timbul dari lautan
di darat melesat angin melompati gunung-gunung

kenangan yang membuatnya termangu
depan anak-anak yang berlari-lari 
main lempar bola di taman kota 
usianya belum sampai 10 tahun

ingin lekas diulang kalimat penegas itu,
"Memanahlah, jaga diri jaga negri.
Atau bekerjalah. Junjung hukum Allah.
Dukung perjuangan tentaramu"

bola hampir kena gelas kopi
ia menangkapnya, melemparnya lagi 
bergegas istrinya menjagai dua buah hatinya

ia mereguk kopi lagi 
sampai tenggorokannya menggeram,
"Berkudalah kalian, kuasai daratan. Berenanglah kalian, kuasai lautan!
Atau bekerjalah apa saja. 
Dukung negara menguasainya". 

Kemayoran, 2020
*) dari #HariKesaktianKopi
_____

Kemayoran, 22 11 2020
Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG