DINDING PUISI 272

DINDING PUISI 272

Gini, Sob. Bolehlah ini dianggap rahasia atau "rahasia cerdasnya". Disebut rahasia karena di sini daya pikatnya bagi siapapun yang belum tahu. Nilai edukasinya bagi pemula. Padahal setelah seseorang tahu, dia tidak akan menyebutnya rahasia. Kecuali ia akan mengulanginya lagi kepada yang belum tahu, "Kenali rahasianya". Anda sendiri berani bayar saya berapa dengan membuka ini? Haha. Kalau paragraf ini gak saya teruskan pasti gak ada yang nemu jawabannya.

Sastra lisan dan sastra tulis biasa diletakkan pada wacana sejarah sastra di Indonesia. Itu masih sering jadi pemberitahuan guru di sekolah-sekolah menengah saat ini. Saya sendiri sudah lama asyik menempatkan keduanya sebagai proses kreatif yang senantiasa inspiratif, tak lekang oleh waktu. Dalam banyak waktu saya suka melakukan hal serupa ini, memanggil dua-tiga anggota teater, lalu seakan-akan menggaris di tengah arena latihan. Saya katakan, "Ini batas kali. Tema kita, KALIMATI. Mulailah dengan orang pertama merespon kondisi sampah yang menimbun, air hitamnya, bau tak sedap, dan ekosistem yang rusak. Lalu, kalian sudah tahu. Orang kedua merespon kalimat pertama. Ini pertunjukkan teater yang penting. Lakukan. Action!"

Saya pilih frase KALIMATI karena cocok dengan uraian singkat ini. Baik dalam pengertian "kali mati" maupun "kalimati".

Pada buku Mendaki Langit yang diterbitkan J-Maestro saya memberi contoh puisi lisan berantai dan puisi lisan berangkai yang dilakukan pada kegiatan heking (hiking) atau menyusuri pinggir sungai. Seseorang di situ mengambil inisiatif pertama, melontarkan satu puisi tentang sungai sambil terus berjalan. Orang kedua merespon dengan bait-bait selanjutnya seakan membuat puisi berantai, atau sebenarnya melontarkan puisi baru dalam puisi berangkai. Setidaknya dua contoh ini masih bagian dari budaya sastra lisan hari ini. Naik panggung ataupun tidak. 

Banyak pertanyaan beredar, seperti apa standar pengetahuan atau standar pendidikan seseorang untuk jadi penulis atau pencipta karya sastra yang layak? Responnya beragam. Sampai ada yang mempersoalkan, "Kok mereka gak bisa menempatkan "di" sebagai kata depan dan "di" sebagai awalan secara benar?" Atau yang mempersoalkan, "Dia gak ngeh kata dasar dan pembentuk kata berikutnya". Alih-alih merespon, yang kena kritik kadang gak merasa harus melakukan apapun. Terus saja menulis. Bahkan ngotot sudah benar. 

Tipe manusia yang suka menulis berdasarkan cara menulisnya, ada tipe yang sadar meskipun kadang nampak seperti asal menulis, dan tipe yang sebenarnya asal menulis. Tak jauh beda dengan kondisi tulisan di media sosial saat ini. Pernyataan prustasinya bunuh diri. Bukankah buku hoak pun bisa terbit?

Tipe yang sadar, meskipun sukses menulisnya berlangsung secara otodidak, bahkan tidak tamat SMP, ia sangat menyadari sepenuhnya hal-hal yang dipersoalkan ahli bahasa dan sastra. Ini rahasianya. Meskipun ia menulis "di depan" dengan "didepan". Seperti yag pernah saya bilang, kalau ada yang mengingatkan, sambil kelakar ringan paling dia katakan, "Itu maksud saya". Atau ketika ia mengirim puisi ke panitia antologi puisi, pihak editor mengubah "didepan" menjadi "di depan". Meskipun kita banyak menemui kecelakaan juga. Pihak penerbit yang berusaha merapikan banyak tulisan malah merusaknya. Puisi-puisi yang disengaja bertipografi huruf kecil semua di awal larik, diganti huruf besar semua, atau huruf pertama di larik pertama tiba-tiba berubah memakai huruf besar. Ini sama awamnya dengan yang merasa benar ketika salah menempatkan kata depan atau awalan. Padahal penulis yang ngerti malah setuju kepada yang paling benar. Sebenar-benarnya benar. Tapi benar kata siapa? Karena kita juga mengenal semacam istilah, kesalahan menulis yang sangat tidak bermasalah. Sudah kepalang jadi kebiasaan. 

Penyair yang dalam posisi sadar itu, di luar bahasa ia bahkan tidak cuma bisa membuat kata jadian baru yang samasekali belum pernah ada dengan awalan, sisipan dan akhiran yang benar-benar baru dia ciptakan, meskipun terdengar aneh. Bahkan dia bisa meletupkan kode dan kata-kata baru yang samasekali asing di telinga siapapun. Gelap. Sang penyampai tentu tahu maksudnya. Bisa mengajak orang lain tahu. Meskipun tidak semua penyair wajib di makam ini. 

Sebelum sastra tulis selesai, ia dilisankan di mulut oleh penyairnya atau dirasa-rasa di hati. Ini menunjukkan penulis sukses itu memulainya dengan bakat atau kebiasaan yang terlatih dengan benar secara nalar dan maksud penyampaian. Meskipun jatuh di ujung pena kita bisa menemui serupa kasus "didepan dan di depan" itu. Kelak, ketika puisi yang ditulisnya itu dilisankan depan mikrofon, teknologi video, para penonton tidak menangkap ada kekeliruan samasekali. Ini yang saya sebut, dimulai dengan lisan yang benar, atau dimulai dengan maksud berbahasa yang benar.

Pendeknya, semua ilmu bahasa dan sastra itu benar. Dan ini diketahui oleh para penulis yang berbakat dan terlatih serius itu. Sesadar-sadarnya. Sedetil-detilnya. Tidak perduli tamatan sekolah apa, SMPnya tamat atau tidak? Karena itu ia selalu hati-hati. Tidak serampangan. Lalu dari sinilah mulai ada orang yang mengatakan, "Chairil dan Tardji itu menguasai teori bahasa. Tidak melanggar aturan berbahasa". 

Teori bahasa itu nampak bisa terus berkembang meskipun sesungguhnya menetap. Dan kita dari mula sudah setuju pada kebenaran dan ketepatannya. 

Kita tentu geram depan paramuda bahkan paratua, yang teknis penulisannya nyaris salah semua tetapi merasa benar. Mempertahankan kekacaubalauan. Atau kekacaubalauan yang malah dikasih jalan lapang. 

Di akhir tulisan ini saya mau curhat. Semestinya yang berada pada posisi ahli berbahasa, ia sekaligus menguasai kalam. Mengakui, ketika suatu rangkaian kalimat seseorang atau 'karya sastranya' ternyata menyesatkan, maka ia berkesaksian, sesungguhnyalah Allah sedang memberinya cobaan atau justru sedang menghukum seseorang itu, bahwa itu memang kesesatan yang nyata. 

Dan ketika kalam didebat tidak terlalu tinggi karena dituding sepihak tidak bisa menyatakan sesat pada bahasa pemikat dari seorang penipu yang belum diketahui, maka sesungguhnya kita sedang mengembalikannya pada kalam Allah. Termasuk kalam Allah yang kadang kita contohkan pada perbincangan tentang cabe dan terigu di pasar tanpa dikenali satu ayat dari suatu surat manapun, atau bunyi hadis yang mana? Tetapi seluruh pencerahan di balik pembicaraan itu bersumber dari kalam Allah. 

Kemayoran, 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG