DINDING PUISI 276

DINDING PUISI 276

Kalau ada yang mengkritisi dengan kalimat cenderung mencemooh, "Prinsip, teori dan ulasan sastranya bagus tetapi karyanya buruk", bersabarlah. Dia lupa bahwa bagi seorang penyair yang kuat kepenyairannya, meskipun menulis : //ini Budi// ini bapak Budi// maka derajat sastranya akan terpengaruh eksistensi dirinya, sebagai hadiah kepercayaan, selain segaris dengan apresiasi sastra pada layaknya. Tidak beda dengan goresan pelukis handal yang terpercaya. Popularitasnya bisa mengakibatkan coretan-coretannya yang kadang belum jadi dan sepintas nampak asal-asalan masih bernilai sangat mahal. 

Kita percaya. Kalau ada. Coretan yang belum jadi dari maestro pelukis semisal Affandi, banyak yang mau menampungnya. Banyak pengamat sudi membicarakannya. Kalau dilelang, banyak yang mau beli. Termasuk untuk program amal, penggalangan dana kemanusiaan. 

Pada Rendra kita mendapati tidak sedikit karyanya yang sangat memikat dengan berbagai alasan yang kuat. Tetapi tidak sedkit juga karya-karyanya yang dianggap biasa-biasa saja. Meskipun demikian, yang dianggap biasa-biasa saja itu ---entah apa ukurannya, masih laku dimahkotai brand image Rendra. Yang kian menunjukkan kejelasan, terlepas dari popularitas Rendra yang menulisnya, salahkah puisi yang dianggap biasa-biasa saja itu? 

Dalam dunia puisi, setahu saya, dari dulu yang paling seru itu bicara puisi dan bukan puisi. Puisi dan  belum puisi. Yang ujung-ujungnya masuk parameter, bertema jahat atau tidak? Propaganda apa dan bagaimana? Berkemanusiaan dan berketuhanan atau tidak? Membodohi atau mencerahkan? Membangun optimisme atau memuja pesimisme? Salah berbahasa atau tidak? Dst. Adapun soal pilihan-pilihan, macam-macam gaya, rupa-rupa teknis penyampaian, letupan sensasi, bahkan  genrenya, seperti menjadi wilayah seru-seruan belaka. 

Belum lagi, persinggungan kita pada situasi kurang sehat bisa terjadi kapan saja. Pengamatan karya jadi serba tidak jujur oleh sementara pihak. Setidaknya sesaat. Menunggu waktu memindahkan matahari. Fakta dan pengalaman juga menunjukkan, ada karya-karya yang di bekakang hari marak dibicarakan keunggulannya, ternyata dulu pernah ada yang menganggap remeh, bahkan 'hina'. Termasuk di dalamnya ketika ada kondisi politis tertentu.

Maka saya bilang, kalaupun ada yang mengkritisi, "karyanya biasa-biasa saja", anggap saja dia sedang mencetak takdir. Bahwa dengan itu, kita dengan segalanya yang serba khas dan kuat akan segera begini dan begitu. 

Saya pun pernah bangga ketika orang bingung, bagaimana mungkin berpuisi diselingi lagu-lagu dangdut? Atau sekali seminggu "on air" berpuisi, sering naik panggung baca puisi, tetapi sehari-hari membawakan acara dangdutan di #radio dan di panggung. Sampai-sampai ada yang menyebut, gaya puisinya seperti lirik lagu dangdut. Saya jawab, "Ya, saya ini penyair dangdut". Merakyat. 

Entah apa pula yang ada dalam fikirannya, sebab di depan musik dangdut, pop, rok, juga lagu-lagu tradisional saya ini suka ngomel-ngomel juga kalau ada lirik yang ngaco. Bahkan sebagai programmer dan kepala studio bisa ngasih intruksi, "Lagu yang itu jangan pernah diputar". 

Kemayoran, 2020
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG