DINDING PUISI 265

DINDING PUISI 265

Dalam genre puisi Indonesia berdasarkan pembagian waktu, kita mengenal istilah puisi lama, puisi baru dan puisi modern. Pada puisi modern merujuk pada puisi bebas, yang tidak terikat menurut jumlah baris, kalimat, sukukata, maupun tema. Tetapi meskipun demikian belakangan ini marak puisi-puisi dengan pembatasan-pembatasan, baik jumlah baris, kata maupun suku kata. Ada yang bagian dari puisi populer di masa lampau, ada pula yang sebenar-benarnya temuan atau rekayasa baru.

Bicara sosl rekayasa yang meupakan bagian dari kebebasan berekspresi ini, kita boleh mengritik sementara pihak yang mengaku-ngsku manusia peduli sastra tetapi menyebut, "puisi tidak bisa diutak-atik semaunya". Alangkah otoriter bahkan kejam dia. Yang juga mengingatkan kita pada pendapat, ajaran agama itu tidak boleh ditafsir, padahal yang lurus itu boleh ditafsir secara benar. Bagaimana mungkin untuk suatu proses beragama yang benar, seorang penyair yang selalu dituntut masyarakat sebagai cahaya pencerah malah teriak, "Agama kamu tafsir seenakmu". Padahal kalimatnya itu hanya pantas ditujukan ke arah tafsir yang kesasar-sasar saja. 

Meskipun sepintas berpola sesuai romantisme puisi lampau yang sarat pembatasan, sesunggguhnya puisi terkini yang dibuat berdasarkan pembatasan-pembatasan itu masih termasuk puisi bebas, tidak saja bebas secara tema, tetapi setiap pribadi penyair bebas melahirkan bentuk-bentuk yang ketat. Ya, minimal untuk proses kreatif bagi dirinya sendiri, meskipun karyanya tetap untuk seluruh manusia.

Dari sejarah doa-doa kita mengenal dua pengertian untuk istilah hafal (apal). Pertama, hafal bacaannya atau hafal sesuai teks aslinya. Kedua, hafal maksud (hatam maksud), sehingga sudah melahirkan kalimat-kalimat yang bersesusian dan sikap-sikap yang lurus. Maka wajar seseorang yang mengajari  berdoa menyebut, "Lakukan seperti saya". Maksudnya melakukannya sama persis dan terus mengulang-ulangnya. Atau mengucap, "Lakukan seperti saya". Dalam pengertian mempelajari, memahami, bisa mengikuti sama persis, atau mengucapkan doa-doa seperti apapun dalam bahasa apapun dengan  tetap lurus maksudnya. 

Di dunia puisi, seseorang pembina komunitas sastra pun bisa berucap atau mengisyaratkan, "Lakukan seperti saya". Mengambil buku puisi, memilih satu-dua, naik ke panggung atau masuk ke tengah arena lalu membaca puisi. Tapi bisa juga dalam pengertian, bikin puisi di selembar kertas atau daun, mengantonginya, lalu membacanya. Dalam pola dan bentuk yang mengikat, tidak sedikit orang bisa tertarik oleh pembinanya atau penganjurnya untuk membuat puisi 5 larik dengan tiap lariknya 5 kata. Lalu disebutlah puisi 'lima-lima'. Atau puisi 12-9, maksudnya 12 larik dengan tidak lebih dari 9 sukukata di tiap lariknya, 9 menjadi ukuran maksimal, karena dialah kekasih pengucap cinta 99. 

Terutama bagi pemula dan masyarakat awam, ini sangat mepermudah mereka dalam melakukan hal yang sama. Seperti seorang soleh yang bertanya, merajuk memohon kemudahan, "Bimbing kami berdoa". Lalu yang diminta menyodorkan doa-doa untuk dibaca atau dihafalkannya, atau cukup menjelaskan satu kententuan, satu cara mudah, meskipun di muka bumi ini penuh dengan cara-cara. Maka yang bertanya pun bersukacita atas kemudahan-kemudahan yang ia dapati. 

Dalam semangat sastra lisan, pola syair dan lagu tertentu, baik diiringi alat musik ataupun tidak, yang memiliki pengetatan serupa ini akan menggejala ke mana-mana dengan sangat mudah. Serba praktis. Siapapun, terutama pihak pandai (dalang atau pawang) yang bisa merekayasa maksud-maksud baik, bisa mengikuti pola pendahulunya untuk syair-syair dakwah yang dibuatnya. 

Di hari ini, pengalaman serupa bisa menjadi romantisme puisi bebas. Berdampak mengajak orang lain ataupun tidak. Setidaknya seseorang bisa membuat beberapa puisi atau menerbitkan sebuah antologi puisi serupa yang saya contohkan itu, berpola 5-5 atau 12-9. Lalu dibiarkan para pembaca sesuka-sukanya menikmatinya. 

Saya bahkan mengalami hal unik. Secara spontan, tanpa rekayasa berlebihan telah menulis puisi berjudul NALIKA di bulan Juni 2015, berpola 3-2-5-2 suku kata. Lalu ditahun 2019 saya tertarik lagi pada pola itu, lalu mulailah membuat puisi kedua, ketiga dan seterusnya. Sedikit mengalami pengembangan, pada baris terakhir bisa terbentuk oleh 1 sampai 9 sukukata. Lalu ketika menerbitkannya pada sebuah buku saya menyebutnya, pola NALIKAN. Diterbitkan oleh J-Maestro Bandung dan Penebar Media Pustaka-Yogyakarta. Suatu ilham baik yang saya dapati. 

Di bulan September 2020 saya membuat grup terbatas, grup NALIKAN yang kemudian berproses menerbitkan sebuah buku antologi puisi pendek NALIKAN yang ditulis oleh 20 penulis.

Lahirnya bentuk-bentuk yang ketat ini tidak selalu harus dilihat sebagai egoisme seorang penyair. Sebab puisi tetap harus memiliki misi, humanis-universal. 

Kemayoran, 2020.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG