QURBAN DAN WISATA SASTRA

Saya sudah sering bicara apa itu Wisata Sastra. Mulai dari menjelajah ke dalam satu karya sastra menemui kedalaman laut dan keluasan  langit. Membawa megaphone masuk hutan lindung dan berpuisi di situ. Sampai segerombolan mahasiswa sastra mengajak menikmati pencerahan sastra di suatu desa yang tiba-tiba diputar menjadi bola dunia berbentuk kampung sastra.

Tapi dalam tulisan ini saya mau bicara suatu hal. Terlihat sederhana tetapi prinsip. Inspiratif. Berangkat dari peristiwa nyata tentu saja.

Analoginya begini. Seorang Nurul Arifin, artis seksi yang belakangan dikenal sebagai anggota Dewan itu, dengan sukacita dan penuh nostalgia bisa berkisah soal film Warkop DKI (Dono Kasino Indro) yang menurutnya fenomenal dan inspiratif. Terlepas dari kekurangannya yang menginspirasi proses kreatif insan film selanjutnya.

Tidak ada yang perlu memaksakan diri nyeletuk, "Gak eksis kalo gak bikin film Warkop DKI hari ini. Sebab gak berharga semua masa lalu itu. Itu mimpi. Itu bukan kerja!" Apalagi Dono dan Kasino pun sudah tiada. Sudah berpulang.

Sama seperti yang ingin saya tulis. Gak perlu ada yang menyanggah kepada saya, Ali Novel, Rudy Aliruda, Tolib Mubarok, Eka Kewong, Ayi Kurnia Iskandar, Said Widodo, Suheli, dkk ketika hari ini masih banyak 'menyuplai energi' untuk selalu memahami makna Wisata Sastra, meskipun dengan ilustrasi kegiatan Wisata Sastra yang pernah terselenggara beberapa tahun di Situ Buleud Purwakarta dari 2009/2010.

Ya. Sebab itu peristiwa kreatif. Bisa seumpama produksi film pertama Indonesia yang kemudian dilabeli Hari Film Nasional. Atau seumpama kejadian lahir dan bekerjanya Srimulat, yang hari ini sudah dicatat sebagai suatu peristiwa inspiratif pada waktunya.

Namanya juga inspirasi. Siapapun bisa berharap akan lahirnya peristiwa semisal era kerja Srimulat itu. Atau membuat film-film sebentuk komedi Warkop DKI itu. Dll.

Dalam hal Wisata Sastra, halal banyak yang berharap kami memulai lagi Wisata Sastra seperti dulu. Atau di mana-mana kegiatan Wisata Sastra semarak. Termasuk berwisata pustaka, berdiskusi dan membedah buku di perpustakaan. Atau mengunjungi sastrawan, bicara banyak dengan dia yang semakin sepuh. Atau mengumpulkan sejumlah sastrawan di suatu bukit, lalu merubah bukit itu jadi puisi.

Semua serba boleh. Ya, sebagai kerja hari ini. Tetapi Wisata Sastra yang pernah terjadi, termasuk yang saya dkk adakan adalah sebuah peristiwa yang terus berenergi sampai hari ini. Yang artinya, terus bekerja membuka ruang-ruang katarsis sastra dengan segala caranya.

Teori dan strategi yang tidak pernah mati.

Bahkan sebagai gerakan budaya, di situ sekaligus terjadi gerakan menolak yang bukan sastra, meskipun bentuknya seperti sastra.

Terakhir dalam tulisan pendek ini saya juga ingin mengingatkan. Terutama di hari-hari menjelang Idul Qur'ban. Bersukacitalah Anda yang rela berkorban halaman rumahnya untuk acara sastra. Berkorban sedikit uang untuk membiayai acara sastra. Berkorban tenaga megkoordinir para pengaji sastra ke suatu tempat yang menyadarkan. Berkorban piala untuk lomba sastra. Berkorban penerbitan buku untuk menampung karya sastra dalam sebuah antologi bersama. Dan berkorban apa saja.

Selamat menjemput Idul Adha. Selamat memahami sastra untuk seluruh manusia.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG