APA SEPTEMBER ITU PKI?

Saya terang suka lagu Vina Panduwinata, September Ceria. Alasannya lumayan egois-positif, satu saja, saya lahir bulan September. Ini tidak ada perbedaan ingatan antara bapak dan ibu saya. Beda dengan soal hari dan tahunnya. Kata bapak saya, saya lahir tahun 1972. Ibu saya bilang 1971. Seingat ibu, harinya Kamis. Bapak bilang Selasa. Maklum, akta kelahiran baru diurus waktu SMP. Ini sudah cukup sebagai bekal makrifatullah, ngaji tafsir, dan ngaji hikmah.

Kata seseorang, saya Selasa Isa, bertanda api. Tapi seorang guru bilang, "Kamu Umar Bin Khatab". Tapi saya juga mencintai Ali.

Kalau ada yang mau bilang, "Saya bantu nyari hari dan tahun yang pasti!" Inya Allah saya jawab, "Berapa milyar manusia yang telah meninggal di muka bumi tanpa ingat hari lahirnya? Tolonglah mereka dulu. Siapa tahu Anda nyangka malaikat juga ikut lupa? Sejak kapan pula angka 2 tidak persegi Ka'bah tauhidnya daripada angka 1?".

Tapi kadang terfikirkan, kalau saya orang besar trus ngadain acara tasyakur bi nikmah, ulang tahun yang agak sedikit besar, jangan-jangan akan dicurigai sebagai pesta September. Pesta PKI. Apalagi ngadain ultah itu tidak harus pada hari H-nya, yang penting pas bulannya. Gimana kalau ultah saya diadakan pada 30 September? Jangan-jangan jadi isu pesta Gestapu, G 30 S PKI.

Wah ngeri juga kalau hidup kita mudah nuding, dan mudah terprovokasi. Siapa yang nuding, siapa terprovokasi? Ini kalimat pertanyaan 'ketahanan nasional'. Meskipun peristiwa di lingkup kecil.

Begitu juga kalau tanpa kontek ulang tahun di bulan September itu, saya nonton film G  30 S PKI, apa 'kaum nuding' dan 'kaum terprovokasi' akan menyebut saya ingkar sejarah? Tentu saya tidak demikian. Karena film itu minimal fakta karya. Perkara ada perdebatan pada bagian-bagian filmnya yang dianggap tidak sesuai fakta, misalnya, itu adalah wacana normal yang bisa muncul. Tetapi wacana apapun di negara hukum dan demokrasi mesti muncul sesuai kesemestiannya di situ. Tentu, sesuai hak Allah.

Saya sendiri kenal film G 30 S PKI di bangku SMP. Bahkan saya punya buku berseri, lupa judulnya, tentang peristiwa Pancasila Sakti itu dengan ilustrasi dari gambar-gambar film itu. Saya sebagai remaja yang tiap upacara kebagian baca Teks UUD '45, selau berusaha membaca buku itu secara hati-hati. Apalagi saya suka pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), terlepas dari monotonisme dan kekuranglenturan pembahasan di dalam buku PMP-nya.

Saya bahkan tak habis fikir ketika ada pihak yang berkomentar, seolah-olah 100% PMP itu salah, bahkan merusak. Apa tidak lebih baik menengok plus minus kurikulum dan isi buku paketnya? Sehingga saya masabodoh nama PMP mau diganti apapun dengan alasan telah dihilangkan, yang penting kata kuncinya, kita mencari apa di situ? Bahkan menurut saya PKN itu PMP, atau cenderung mirip PMP juga. Masih perlu dutimbang-timbang juga untuk lebih baik menyampaikan maksud pokoknya. Membangun karakter bangsa di negara Pancasila. Yang berketuhanan YME.

Kenapa saya hati-hati membaca buku bertema Kesaktian Pancasila dan nonton film G 30 S PKI? Persis seperti yang dikatakan Mendagri dan Panglima TNI, namanya juga lihat fakta sejarah.

Sampai di belakang hari saya berfikir. Terlepas dari bagaimanapun peristiwa itu sesungguhnya, yang jelas sebuah fakta terang benderang. Sebuah partai telah dibubarkan dengan label terlarang. Negara melalui lembaga resminya telah lakukan itu.

Ada yang menggelitik. Dengan menggunakan permisalan begini. Jika 50% ajaran/propaganda PKI itu logis, benar, mulia, dan 50% salah, bahkan sangat berbahaya. Setidaknya sebagai partai ia telah selesai. Peristiwanya bersifat kusus. Disebut, sebuah tragedi di Indonesia. Gak bisa dipaksa tarik, disandingkan dengan masyarakat Cina atau masyarakat mana hari ini yang komunis, misalnya. Perkara di Cina ada sebutan, kehidupan masyarakat komunis, itu urusan negara itu. Paling-paling bagi Indonesia akan disebut sebagai sesuatu yang asing. Berbeda dengan ajaran agama yang hakekatnya pencarian tiap pribadi atas penguasa hidupnya. Hakekat agama itu bukan pengaruh asing.

Kalaulah demikian. Maka permisalan yang 50% logis, benar dan mulia itu tidak menuntut sebuah komunisme, tidak ada kata terpaksa untuk begitu. Tidak mendesak sama sekali. Sebab yang logis, benar dan mulia itu adalah bagian dari budaya hidup manusia biasa di Indonesia sejak jaman nenek moyang. Sekarang tentu bersemi di semua partai yang ada. PDI-P, Golkar, PPP, PAN, PKB, PBB, Hanura, PKS, Partai Demokrat,  Gerindra, Nasdem, dll. Apa itu butuh sebutan, PKI atau komunisme di dalam partai-partai? Akan nampak mengada-ada saja.

Maka saya bilang, ketika partainya dibubarkan, dengan suatu alasan, masyarakat anggota partainya yang baik-baik saja, apalagi yang awam, yang tidak tahu menahu, toh tetap sebagai masyarakat biasa. Masyarakat normal. Beranak cucu, dan kini mendukung partai-partai yang ada.

Dalam kondisi begini, para anak cucu ini terasa terlalu jauh memanggil lahirnya PKI. Yang mencurigai juga mesti hati-hati. Hari ini pun para anak cucu itu sudah hidup normal berpancasila, berketuhanan YME di partai-partai yang ada. Apa pentingnya memanggil PKI? Sementara sekali lagi, kalau mau menengok komunisme di luar sana, itu cuma akan dianggap pengaruh budaya asing. Tidak akan dielu-elukan dengan gegap gempita di Indonesia hari ini. Lalu buat apa? Tidak akan diriang-riang dan dikhusyu-khusyu.

Sudahkah kita menelusur rahasia. PKI itu sebuah partai di Indonesia. Yang dibubarkan itu. Sedangkan komunisme yang sering disebut di luar sana hari ini, itu khas kehidupan masyarakat di sana. Asing bagi Indonesia.

Tetapi mengapa bisa muncul pemikiran komunisme di Indonesia? Setidaknya di awal kemerdekaan? Kalau dikaitkan dengan sejarah bangsa-negara kita, tentu ada niat membangun negri ini dengan cara-cara bagaimana? Maka berbagai pemikiran bisa muncul ketika itu. Dari berbagai tokoh, berbagai partai. Bahkan pemikirnya yang lurus, apapun, bisa dihargai pemerintah? Tan Malaka pun dipahlawankan. Meskipun nasib namanya seperti didiamkan di era Orde Baru. Karena kepahlawanan itu ada kaitannya dengan proses berfikir, sumbangsih intelektual untuk bangsa dan negara. Bukan soal pemberontakan. Gak ada kaitannya sama sekali. Adapun soal pemberontakan G 30 S PKI, secara awam kita biasa berfikir, itu pemberontakan sebuah partai di Indonesia, setidaknya begitu katanya. Negara mengaku memiliki fakta dan menyebut begitu.

Maka saya masih suka nonton film G 30 S PKI. Dari youtube saya bisa mendengarkan lagu Genjer-Genjer (Bing Slamet) tanpa interpretasi macam-macam. Meskipun sebuah lagu bisa dipakai untuk sesuatu. Seperti lagu Maju Tak Gentar atau lagu Halo-Galo Bandung dipakai suporter bola untuk memotivasi tim yang sedang bertarung. Saya juga bertahun-tahun di radio memakai lagu Kembali Ke Jakarta (Koesplus) untuk membakar spirit nasionalisme. Apalagi saya Koordinator Koes Fans Club. Pasti punya visi-misi.

Saya juga senang September ini dibelikan kueh ulang tahun dan lilin oleh anak sulung saya. Sampai monyong-monyong saya meniup api lilinnya. September ceria.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG