CERITA KAMPUNG PUISI KITA

MASIH PUISI 2

januari masih puisi
cinta yang istimewa 

Kemayoran, 20012018
-----

Pagi ini, 20 Januari Jakarta hujan. Saya sebenarnya masih sibuk dengan pengawasan pekerjaan di luar gedung sesuai jadwal. Tetapi karena hujan, semua karyawan saya alihkan untuk pekerjaan di dalam ruangan.

Sambil menunggui mereka bekerja, saya teringat kalimat saya semalam kepada seorang teman teater sekolah waktu SMA yang sudah lama saya dengar kabarnya jadi pengajar di Thailand. IIwan Gunawan.

Saya bilang kepada dia, "Kapan nih ngundang saya baca puisi di Thailand, haha?" Dia jawab, "Hayu atuh, hehe".

Kebetulan saya dan dia waktu SMA-SPGN Kota Sukabumi sama-sama anggota teater Tarung-Taring yang dibina guru alm. Asep Sastra Djuhanda. 

Sebenarnya kalimat saya itu pengulangan kalimat yamg sama sejak usia SMA. Sebab kepada teman atau kepanitiaan apapun saya biasa bilang, "Kalau ada momen bagus buat saya baca puisi kabarin ya?" Kalimat lain yang juga biasa saya titipkan ke sana-sini adalah, "Kalau ada kesempatan jadi panitia puisi, penyutradaraan teater, juri lomba-lomba sastra dan juri lomba gambar, telpon saya ya?" Itu kebiasaan dari dulu.

Bahkan saya gak malu juga pernah berkalimat, "Saya orang radio, orang panggung, orang komunitas seni, kalau bisa kerjasama untuk seni apapun, kenapa tidak?" Itu sebabnya bertahun-tahun saya terjebak multi-seni multi-event, di luar panggung dan event rutin di internal radio setiap minggu.

Gara-gara kalimat titipan sastra saya itu, saya berkali-kali merasakan diundang teman baik untuk berpartisipasi jadi juri. Pernah diundang kenalan guru untuk jadi juri dan pemateri seni di agenda sekolah-sekolah. Pernah berkali-kali diminta menyutradarai teater. Pernah diundang kenalan orang pemerintah daerah untuk terlibat dalam lomba baca-tulis puisi. Dan banyak lagi.

Modalnya satu saja sebenarnya. Cukup dengan meyakinkan mereka soal pengalaman dan bukti-bukti lapangan saya yang sudah dilakukan dengan konsisten sejak di bangku sekolah hingga saat ini. Sebab itu praktis menunjukkan tensi keseriusan tanpa basa-basi.

Dari semua kegiatan yang saya ikuti, selain yang ada honornya,  tidak sedikit acara gratisan yang sangat memuaskan. 

Hanya dengan modal SMS atau WA, "Ada panggung baca puisi untuk saya?" Panitia tinggal jawab, "Ada Kang, diminta partisipasinya dengan sangat, diundang dengan seksama, tapi gratis, maklum, haha". Dan kalau tidak ada rintangan saya biasa datang dan baca puisi dengan senang. Ini yang saya sebut bagian dari tradisi puisi, tradisi kampung sastra kita. Bahkan pernah saya datang membawa dua anak saya yang ketika itu masih SMP dan kelas 2 SD. Lalu kami bertiga baca puisi. Menjadikan panggumg seni sebagai tempat wisata sastra keluarga.

Di depan kalimat saya kepada teman di Thailand itu, sebenarnya mengingatkan saya pada tradisi puisi kampung kita itu. Saya yakin dalam setahun Iwan Gunawan punya data panggung atau event di Thailand yang pantas memunculkan baca puisi di tengahnya. Dan kalau saya gak mau merepotkan panitia seperti lazimnya di Indonesia, kenapa saya mesti menunggu sampai panitia nyiapin anggaran dan akomodasi yang layak untuk saya? Saya kan bisa pake modal sendiri lalu bilang, "Kang, saya segera datang ke event itu, itu acara bagus, saya mesti berpuisi di situ!" Kalau mau. Kalau siap.

Haha. Tiba-tiba saya jadi bertanya, apa bedanya baca puisi gratisan dan baca puisi dibayar, baik di Indonesia maupun di luar negri? Apa bedanya coba?

Yang menarik justru persamaannya. Di semua panggung atau di mimbar puisi manapun, puisi kita bisa bekerja. Seperti puisi dan 'teriakan senibudaya' saya pun bekerja di berbagai tempat dan media.

Mengakhiri tulisan singkat ini saya perlu menyampaikan unek-unek. Ketika suatu hari saya terlibat kegiatan sastra yang anggarannya berasal dari Pemerintah Daerah, sebemarnya saya telah berdoa di situ, "Semoga kita bisa menikmati makan bersama dalam ruang begini ini, di mana-mana, di seluruh Indonesia. Meskipun berdiam di tempat yang saling berjauhan, bahkan dipisahkan laut dan pulau".

Tapi tentu. Itu bukan lahan eker-ekeran. Bukan area sikut-sikutan. Terlalu memalukan kalau sampai demikian. Duitnya juga gak seberapa. Tak beda dengan 'uang kopi atau uang bakso'. Itu cuma sebatas keberuntungan partisipasi secara langsung pada hajat yang ada agenda Pemerintah Daerahnya. Sebab kalau bicara soal partisipasi sastra untuk pembangunan, terlalu banyak event independen yang telah dan bisa di selenggarkan oleh masyarakat. Gaungnya juga besar. Tembus sana-sini.

Apalagi buat penyair yang seorang 'kuli', alias kerja harian. Panggung-panggung puisi adalah area eksistensi. Eksistensi seni, eksistensi puisi dan eksistensi diri. Dan yang lebih utama dari itu, sebagai ruang kerja sosial-budaya. Syukur-syukur masih bisa berpeluang nambah 'uang kopi'-nya.

Begitulah cerita kampung puisi kita.

Khusus mengenai puisi pendek saya di awal tulisan ini, juga mengingatkan saya pada teori 'jampe pamake'. Pembawaan doa. Ini analogi lingkaran. Seperti ketika kita masuk ke suatu galeri lukisan atau arena pameran. Di situ ada gambar yang dibilang aneh oleh anak-anak sekolah. A-simetris. Tidak terlalu menarik kalangan awam dan pejabat negara, meskipun disukai kalangan khusus. Sebab ada persoalan paham dan tidak paham. Gambar itu menunjukkan seorang wanita yang tidak jelas bentuknya, abstrak. Terbangun juga oleh aksen garis-garis, kotak dan lingkaran, sehingga makin jauh dari natural. Samar membentuk, perempuan pakai rok. Ya, seperti rok pendek.

Ah, pantas saja, ke galeri dan arena itu para pengunjung wanita yang sebagian berjilbab dan sebagian pakai rok mini bebas keluar masuk. Gaul biasa saja. Sampai kita berfikir sejurus, bagaimana kalau ada awam membeli lukisan itu karena tertarik oleh permainan warnanya yang terang dan terkesan atraktif, pantas untuk jiwa-jiwa dinamis. Pekerja keras dan pemikir. Lalu dipajang di dinding ruangan, yang di pintu masuk ruangannya tertulis keterangan, "Hanya wanita berjilbab yang boleh masuk". 

Sampai-sampai saya teringat heboh peristiwa Gus Dur dulu. Soal foto syur, Gus Dur memangku wanita yang agak seksi. Yang dalam kehebohan itu banyak yang berkomentar, itu cuma foto rekayasa. Ulah orang tertentu. Padahal saya sudah sempat berfikir, kalaupun itu foto sungguhan, asal konteksnya halal, ada persoalan apa heboh-heboh? Mau menjatuhkan kharisma? Kenapa kita senangnya ngurusi yang tidak perlu diurusi, ribut yang tidak perlu bikin ribut? Sampai-sampai dalam husnuzon, imaji sehat saya naik ketika itu, Gus Dur seksi juga. Siapa bilang kegantengan cuma milik Roy Marten, Anjasmara, dan Aliando? Yang artinya, 'jampe pamake'-nya, boleh dekat dengan orang seksi asal halal dan baik-baik saja.

Bahkan kalau ada pembukaan pertandingan olahraga yang dibuka presiden, lalu dalam seremoni itu menyertakan cheerleader yang seksi-seksi atau penari tradisi yang cantik-cantik saya bilang, "Kata presiden, cantik dan seksi itu boleh tapi tahu tempat, tahu ini, tahu itu".

Berkaitan dengan seksi, sensualitas dan puisi, saya perlu masuk lewat lirik lagu biar berkesan melebar ke mana-mana. Begini, kalau lirik Ebiet G. Ade yang menyebut 'perempuan kampung mandi telanjang di pancuran' itu dibaca selayaknya membaca puisi, maka di depan syair dan lirik model begitu kita mengamini, bahwa di Indonesia fantasi seksi seperti itu adalah bagian dari budaya sehat kita. Bagian dari penerimaan. Bahkan Majalah Sunda, Mangle pernah bikin gambar ilustrasi wanita mandi telanjang ini. Seingat saya, digambar dari belakang. Coba cek. Apa perlu saya jelaskan juga di Thailand? Haha!

-----
SEBUAH KERAJAAN

jalan kopi
jalan karet
sana sini semak
hati-hati
jangan kaget
menemui kerajaan di dalam sajak

Kemayoran, 2011-2017
------

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG