LGBT, SENI, HINGGA ISTRI YANG DISUGUHKAN

QOSIDAHAN

boleh goyang
tapi malaikat

seksi
berisi

kuterima sebagai
hadiah pesantren

Kemayoran, 11082017

------
Di cannadrama.blogspot.com saya bebas menulis apa saja, meskipun dimulai dari garis tebal senibudaya. Sebab multi tema itu apa? Oleh karena itu pembahasan tentang sepakbola, poligami, LGBT, Pilkada dll menjadi khas di blog ini.

Di blog ini saya juga memuat puisi-puisi yang ditulis beberapa teman. Juga menaikkan materi diskusi dan perdebatan dari media sosial yang menarik.

Saya teringat waktu KH. Abdullah Gymnastiar seperti 'dihakimi massa' melalui polemik berkepanjangan lantaran berpoligami. Seakan-akan Aa Gym telah melalukan pelecehan terhadap istri, terhadap wanita, dan telah menyalahgunakan uang sumbangan masyarakat dan bantuan pemerintah. Sampai saya bilang, kok sadis juga ya? Lalu setelah itu saya baca koran, Putu Widjaya pun menulis cerpen bertema poligami. Saya sendiri membahas tema poligami di acara Apresiasi Sastra di radio.

Mulai saat itu pun saya lebih rajin bicara di radio tentang sisi baik poligami. Sampai-sampai harus dipecat dengan hormat dari suatu radio lalu pindah ke radio lain karena dua tema siaran. Pertama, sering mengangkat tema poligami sebagai sisipan acara Senandung Nasyid. Kedua, membuat sisipan acara tentang keharmonisan Pasutri, yang dianggap berbau materi seks. Yang pertama konon banyak tidak disukai ibu-ibu, yang kedua dianggap terlalu vulgar. Sementara saya seumur hidup akan merasa tidak pernah bersalah, baik di depan Allah, di depan undang-undang, maupun di depan masyarakat. Sampai kapanpun. 

Ilustrasi saya menunjukkan, senibudaya yang multi-tema itu memang dekat dengan persoalan apapun.

Khusus soal LGBT saya membicarakannya dalam banyak kalimat lisan dan tulisan. Misalnya yang paling sering, seorang pelacur, waria dan gay pun harus kita selamatkan nyawanya, betapapun kita tidak bisa membenarkan prilaku seksnya yang menyimpang. Mereka jangan disiksa apalagi dibunuh. Bahkan hak-hak lain, termasuk hak untuk bekerjanya yang halal tidak boleh diganggu.

Meskipun ada kecurigaan di masyarakat. Jika ada LGBT berposisi strategis dan punya duit banyak, apa mereka tidak akan memggunakan itu untuk menularkan kebiasaannya serta melakukan syiar LGBT?

Bahkan kecurigaan itu bisa sampai kepada peluang maraknya pelecehan. Anak laki-laki yang polos, yang jadi korban sodomi, yang sebagian akan merasa punya pengalaman buruk itu, apa pada sebagian yang lain tidak akan malah merasa punya pengalaman sensasional yang kelak bakal dianggap lumrah? Kelak akan disebut-sebut, "Kepalang makan buah huldi".

Kecurigaan juga bisa masuk ke barak-barak tentara. Dalam rangka latihan bertahan, survive di segala medan di manapun, selain pelacuran menjadi halal, hubungan sejenis pun bisa ditularkan sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan psikologis yang mendesak. Dianggap seperti makan daging ular, tupai, daging babi, serangga, daun dan umbi-umbian mentah, dll. Yang jika dirasa-rasa enak bisa mendatangkan ketagihan di tengah masyarakat. Terlebih-lebih pada tentara di negeri liberal. Untuk menemani langkah maju perang pun sambil dicekoki hidangan pelacur.

Padahal pada prilaku seks menyimpang, itu tidak menunjukkan kesesuaian antara logika reproduksi sehat dan berbagai-bagai variasi keharmonisan di wilayah itu. Yang artinya, selain karena faktor keturunan dan kasih sayang, seks yang sehat juga lahir karena keterikatan saling tertarik antara pria-wanita yang sudah tunduk pada pembawaan khasnya. Tidak melakukan hubungan sesama jenis, dan tidak menerima pelacuran.

Bahkan kalau terpaksa kita ingat pemberitaan remang-remang pusat hiburan Jakarta, sekedar pengetahuan saja, yang mempertontonkan tari sensual dari dua wanita yang seperti beradegan bersetubuh di panggung, itu bukan menunjukkan percintaan sejenis. Tetapi justru beraksen kalimat, menjajakan kemolekan tubuh wanita untuk dibeli oleh mata dan rasa suka para laki-laki. Setidaknya, minimal, pengunjung jadi sudi sering berkunjung, duduk-duduk sambil makan-minum.  Misal, ketika seorang penari wanita seperti membelai rambut wanita lain, itu memberi kabar: "Wanita senang dibelai begini dan begitu". Tapi bagi pejuang LGBT, hal ini justru bisa dianggap sebagai ruang penerimaan LGBT. Padahal tidak demikian.

Begitupun di Youtube. Kita bisa menjelajah seni tari dan teater Nusantara atau dunia. Saya sendiri sudah mengamati langsung dari masa berteater dan bertari di SMA-SPG dulu. Kalau ada tari pergaulan, apapun nama tariannya, meskipun dilakukan sepasang wanita berhadapan, bukan muda-mudi seperti lazimnya, dengan jarak satu dua meter, maka fantasi 'sensual' laki-laki yang nontonnya adalah: kalau saja salahsatu dari wanita itu adalah dirinya. Alangkah indahnya. Padahal kedua penari itu bisa saja tampil tidak erotis, tidak seksi, bahkan berjilbab. Dan si penari pun bisa sadar atau tidak kalau mereka bisa difantasikan begitu rupa, tergantung tingkat kematangannya. Yang artinya, itu bukan aksi LGBT. Itu aksi biasa. Kalau kedua penari itu iseng, di depan penonton laki-laki malah berpegangan tangan, mewakili. Ada juga yang sampai berangkulan.

Pun sebaliknya. Saya ambil analogi dari teater. Ketika saya memilih laki-laki tinggi ganteng yang memikat hati saya untuk berperan sebagai tokoh raja bijaksana, selain karena faktor kebutuhan pesan drama, jujur, itu juga bisa mendulang simpati penonton wanita. Jadi bukan karena saya LGBT yang menyukai sesama jenis, yang cenderung memilih lelaki ganteng. Begitupun ketika seorang aktor pria mengomentari aktor pria lain dalam suatu adegan, "Wah kamu ganteng bingit, Sobat. Mantap!" Itu pun bukan alamat LGBT. Kalimat itu sangat disukai oleh penonton wanita yang merasa terwakili oleh kalimat itu. Dan laki-laki sejati itu memamg selalu punya dua jurus. Ingin disebut ganteng oleh laki-laki lain, karena itu artinya kegantengannya diakui atau dia menang ganteng. Dan ingin pula disebut ganteng oleh seluruh wanita di dunia dan di sorga.

Belakangan ini di berbagai media, terutama di televisi dan media sosial yang posisinya paling dekat dengan masyarakat, menggaung lagi isu LGBT. MPR dan DPR menjadi pihak yang paling berkepentingan merespon gejolak publik soal LGBT. Terutama ketika dikaitkan dengan KUHP, khusus mengenai soal pelecehan dan segala perbuatan LGBT. Apalagi dicurigai bisa mengganggu keharmonisan proses Pilkada yang sebentar lagi akan berlangsumg serentak.

Kita berharap semoga di negri yang betketuhanan ini, yang nasionalis relijius ini, kehidupannya bisa tertib, aman dan nyaman. Bukan malah menjadi rumit dan banyak masalah.

Jika karena suatu sebab, termasuk karena sakit atau terlanjur tua, seorang pria tidak bisa menyukai wanita, cenderung sibuk dengan dirinya sendiri, begitupun sebaliknya, ada wanita yang demikian, maka dalam keadaan nyawa dan kehidupannya terjamin undang-undang, semoga mereka pun tidak minat melakukan tindakan yang berdosa.

Maka layak, Indonesia menolak nikah sejenis. Bahkan konsisten menganggap salah kepada segala prilaku yang menyimpang. 

Tapi kemudian di Acara ILC TV-One  (23/01/2918) tiba-tiba muncul juga kepermukaan, permintaan narasumber agar semua pihak berhati-hati, secermat mungkin menyikapi anti ini dan anti itu dalam urusan pelecehan, pelacuran, seks bebas, dan LGBT.

Bagi cannadrama ini jelas bagian dari tema besar. Sebab bagi cannadrama, seni itu anti. Bahkan dalam kontek kebangkitan nasionalisme, bangkit itu anti.

Harus jelas benar apa itu pelecehan. Jangan sampai yang sungguh-sungguh pelecehan disebut bukan pelecehan atau sebaliknya. Apa itu seks bebas dan pelacuran, dan bagaimana menegakkan hukumnya, agar terhindar dari aksi main hakim sendiri? Apa ketika ada pria wanita di satu kamar kontrakan itu sudah bisa dipastikan pelaku seks bebas atau pelacuran, yang boleh digrebek dan diinterogasi? Apakah kalau saya menandatangani proposal kerjasama di kamar hotel yang kebetulan diantarkan seorang wanita, saya pantas digrebek, minimal diberitakan miring oleh media massa dan masyarakat? 

Kalau berkaitan dengan prilaku LGBT, apa sesama pria atau sesama wanita di satu kamar hotel sudah pasti LGBT dengan aksi seks menyimpangnya? Atau minimal sudah layak digrebek dan diinterogasi? Lalu ketika terjadi salah paham yang meruncing, maka boleh terjadi pengeroyokan rame-rame?

Padahal untuk sebuah lokalisasi pelacuran saja, pada waktunya aparat cuma sebatas menutup lokalisasi itu untuk selama-lamanya, menjaganya dengan ketat, lalu, selesai. Yang penting WTS-nya tidak bisa lagi melacur di situ dan diminta untuk bertobat, begitupun pelanggannya. Mengapa pelacur ini bisa diperlakukan ramah, sementara orang yang cuma dicurigai langsung dikasari? Hukum yang salah, atau paham hukum yang salah memang selalu mengakibatkan kerusakan.

Dalam ILC itu juga muncul kalimat, bagaimana dengan kenyataan yang masih terjadi di masa kini, seorang suami menawarkan istrinya kepada tamu yang dihormatinya? Saya punya pengalaman yang beda, dulu waktu belum nikah, di suatu bioskop. Seorang pria menghampiri saya dan betkata, "Bang mau dengan istri saya?" Saya tahu arahnya. Meskipun saya selalu lebih asyik memilih nonton bioskop sendirian, tanpa memilih dan melakulan apapun dengan istri-istri yang ditawarkan itu.

Tapi setidaknya, peristiwa di masa sebelum nikah itu, ketika baru beberapa tahun tamat SMA, di belakang hari mendatangkan banyak perenungan. Pemikiran. Disukai ataupun tidak oleh siapa dan siapa. Saya berfikir, "Kenapa mesti ada pelacuran? Kenapa istri juga dilacurkan?" Di balik itu saya pernah pula dengar informasi tentang seorang istri yang berani berkata, "Bagi saya yang penting tercukupi kebutuhan keluarga, suami mau ngapa-ngapain itu masabodoh!" Waduh! Bagaimana kalau suaminya nyopet atau jadi gigolo (pelacur laki-laki) yang pasang tarif untuk muasin tante-tante kesepian?

Maka dalam soal nikah, betapapun kadang sampai berputar-putar dalam debat nikah siri, asalkan bukan pelacuran berkedok nikah siri, seringkali terasa lebih terhormat, meskipun nikah siri (nikah yang goib, terahasiakan dari surat-surat negara) itu berat. Biasanya cuma diikat oleh semacam surat yang disepakati oleh kedua mempelai dan keluarganya. Bahkan kadang cuma lisan yang tersaksikan.

Pembahasan nikah siri ini biasanya beriringan berhimpitan dengan persoalan poligami. Sebab ada praktek poligami yang menunjukkan kedua istrinya sah, tercatat, dan ada poligami yang melibatkan seorang istri sah, tercatat, dan satu istri siri yang tidak tercatat. Bisa juga berupa poligami kepada dua wanita yang sama-sama tidak tetcatat di catatan sipil.

Ya, bicara dan berdebat poligami akan terasa jauh lebih terhormat daripada menghalalkan pelacuran, daripada menerima transaksi seks demi uang. Jual beli persetubuhan. Baik pada wanita yang menjual diri ataupun sebaliknya. Sebab dalam pasangam suami istri, termasuk dalam pasangan poligami, yang berlaku adalah cinta, hargadiri, nafkah lahir batin, keselamatan anak yang berpeluang hadir, dst.

Tapi tetap saja poligami itu sangat berat. Begitupun dengan nikah siri.  Saya sendiri percaya 100%, poligami tetap solusi mulia sampai kapanpun, tidak perlu diingkari oleh kebodohan, apalagi diingkari secara berjamaah, tetapi memang cuma sedikit saja yang sanggup sukses. Termasuk Rosulullah SAW yang pantas disebut sukses. 

Sampai-sampai seorang suami yang hanya menikah dengan seorang wanita saja untuk seumur hidupnya bisa nampak jauh lebih banyak menawarkan kesejahtetaan lahir-batin, asalkan pasangan ini berdiri di atas pondasi yang benar. Tidak rapuh. Sebab tidak ada jaminan sejahtera pada pasutri yang terbuat dari ikatan yang lemah, salah dan berbahaya.

Lalu saya pernah tergelitik, soal istri yang ditawarkan itu. Ini jelas ada kaitannya dengan pasutri-pasutri yang tidak berpoligami itu. Bahkan otak kritis saya sampai juga pada pertanyaan penyeimbang, apa lantas ada juga suami yang ditawarkan?

Sebelum mendapati jawaban-jawaban, lebih dulu saya malah menemui pendapat dari persoalan lain. Kalau seorang pria menyukai istri orang lain, sesungguhnya ia boleh melamar wanita itu kepada suaminya, meskpun tidak boleh menyesal, karena kebanyakan suami tidak akan pernah mau melepaskan atau segera menceraikan istrinya itu. Setidaknya ini cuma sebatas teori halal yang patut dipahami saja. Kajian terhormat. Tidak untuk dipraktekkan. Dan suami yang menolak tidak perlu curiga dan marah-marah, sebab selama ia masih mampu menjaga keutuhan keluarganya, semuanya tidak ada yang berubah. 

Lalu saya teringat Rosulullah ketika beliau mengikat tempat air minumnya di punggung onta, dia tidak mengikat dengan tangannya sendiri, melainkan ada orang lain, pesuruh yang mengikatnya. Tetapi sungguhpun demikian, di mata makrifatullah yang saya pahami, tangan Rosulullahlah yang mengikatnya. Saya yakin. Sebab hanya dia yang sanggup melakukannya.

Ketika saya menyuruh anak saya membeli apapun ke warung, sesungguhmya sayalah yang berangkat. Sampai-sampai suatu ketika dulu ada orang yang menyapa saya dengan dua sapaan di dua waktu berbeda. Pertama, "Hai, apa kabar Aa Gym?" Saya senyum saja. Kedua, "Awas, Mega datang". Saya juga senyum matang. Maksudnya tentu Megawati Soekarnoputri. Tentu ini lebih berjarak daripada kemelekatan secara langsung antara seseorang yang menyuruh dengan yang disuruh itu.

Seorang sahabat dan tokoh masyarakat di Bandung, sekarang sudah meninggal, pernah menyebut saya, "Saya melihat Ummar bin Khatab". Meskipun saya suka ngaji Ali (Ali bin Abi Tholib). Artinya setiap ada hal tentang Ali ini saya selalu ingin dengar dan ingin baca. Selain ngaji Rumi, ngaji Al-Ghazali dan nama-nama utama lain.

Seseorang di pinggir jalan, entah siapa, setelah tanya jawab sebentar, pernah berkata kepada saya, "Kamu kelahirannya seperti lsa".

Saya juga sewot kalau ada direktur dungu yang selalu merasa dilangkahi oleh manajernya gara-gara Sang Manajer mengaku telah melakukan ini dan itu sesuai keahliannya. Sang Direktur yang picik itu menginginkan agar dialah yang disebut telah melakukan itu semua. Padahal kalau tawakal kepada Allah keduamya bisa dimuliakan. Si Direktur bisa menyebut, telah melakukan terobosan ini dan itu sehingga manajernya kreatif inovatif. Sementara manajernya mengakui, sesuai keahliannya dia memang telah berinisiatif melakukan ini itu, karena dia paham benar keinginan dan ukuran kepuasan direkturnya.

Di hadapan teori ini saya tersadar, jika ada seorang suami sakit-sakitan dan sudah tidak bernafkah lagi, sementara istrinya tidak mau dicerai karena keduanya diikat oleh tali cinta yang kuat; bolehkah istrinya yang masih muda dan sehat itu selain berkeputusan untuk bekerja, juga berkeputusan ingin menemui suaminya yang sehat yang bisa memberinya nafkah lahir maupun batin? Yaitu pria soleh di tengah masyarakat, yang hidup di luar rumah sana, tapi hidup dari hati suaminya yang terbaring sakit, yang bisa ditemuinya sewaktu-waktu saja? 

Inilah. Saya bicara cinta, nafkah lahir batin, keturunan, dan suami yang 'membelahdiri'. Tentu ibarat bayangan, tubuh-tubuh suami itu, yang bisa berjumlah dua atau tujuh itu tidak akan ketemu kalau dicari oleh siapapun. 'Hilang'. Pada alinea ini saya tidak bicara pelacuran dan istri yang ditawarkan demi uang. Bahkan tidak sedang mengaitkan dengan poligami dan nikah siri. Lebih tepat saya bicara tentang keadaan seseorang dan hukum Allah.

Sampai kalau saya merasa-rasa menjadi anda, saya berfikir, kalau peristiwa menemui suaminya itu benar terjadi, apakah akan menyebutnya prilaku seks bebas, pelacuran, pelanggaran atas hukum pernikahan (pasutri) yang sah? Lalu kalau seorang istri itu mendapat nafkah dari seorang raja, yang menjelma dari ilmu suaminya yang terbaring sakit di rumah itu, mesti disebut Raja telah berhianat?

Dalam kasus sebaliknya, begitupun jika si istri yang sakit-sakitan seumur hidup di rumah, sementara suaminya gagah perkasa dan berpenghasilan cukup. Mestikah cinta suci mereka dibubarkan saja? Apakah cuma poligami saja solusinya? Apakah suami itu tidak boleh menemui istrinya yang terbaring di tempat tidur itu dengan cara menemui wanita baik-baik, bukan pelacur, yang ada di tengah masyarakat? Sehingga suami itu bisa berbisik kepada istrinya, "Semoga cepat sembuh. Meskipun terbaring parahpun seumur hidup, di mataku kamu terbaik dan terpilih, kuat dan tidak pernah sakit-sakitan. Juga demi anak-anak kita".

Silahkan anda saja yang jawab. 

Atau semacam Hotman Paris yang mesti menjawab, sebab di acara talkshow MetroTV pernah mengilustrasikan, bahwa selain setia kepada istrinya, dia bisa saja tertarik kepada wanita di depannya. Lalu wanita itu menjawab singkat, mungkin sekadar menengahi suasana, yang intinya menurutnya, harus ada janjian dulu dengan suaminya.

Saya lalu teringat, beberapa kali saya pernah baca berita koran, berdasarkan fakta kejadian, polisi meminta masyarakat agar berhati-hati kalau ada laki-laki yang tiba-tiba menawarkan istrinya. Sebab bisa jadi di belakang itu ada rencana penipuan atau tindak kriminal lainnya.

Kalau dikaitkan dengan fenomena variasi seks dengan bertukar istri, saya jelas mengatakan itu haram. Bagaimana bisa istri ditukar-tukar seperti barang atau binatang? Bagaimana malaikat mencatat kepemilikan dan perbuatan halalnya? Sedangkan orang bodohpun bisa berfikir, seseorang itu suami dari siapa, dan siapa itu istrinya siapa? Ini soal ikatan cinta yang tidak bisa dibohong-bohong, soal kepemilikan, kesaksian di hadapan Allah, dan bahkan soal catatan sipil atau buku nikah. Bagaimana mungkin kita mengatakan, "Istri saya sedang saya tukarkan dengan istri orang lain". Bukankah yang benar itu mengatakan, "Ini istri saya, mustahil tertukar atau ditukar".

Ini kan memang soal buka-bukaan. Bahkan di acara ILC itu, Mahfud MD menyebut, sekitar tahun 80-an soal tuyul dan santet pun dibicarakan. Berarti polisi pun boleh berucap, "Hati-hati tuyul dan santet".

Belum lagi satu hal yang satu ini, yang belum disinggung di acara TV, malah praktek freesex yang sering diangkat, seperti ajakan saja. Meskipun kita tidak sedang menunggu juga untuk disinggung di acara TV. Yaitu tentang wanita lajang, belum pernah menikah, dan ada juga yang janda pernah menikah, yang mengaku saat ini hanya menikah dan bersetubuh dengan Allah. Tentu mereka ini merasa termasuk pihak yang tidak setuju pernikahan sejenis. Sehingga kalau sampai hamil dan melahirkan mereka merasa telah memiliki anak sah yang halal, meskipun tidak mungkin menunjuk seseorang laki-laki sebagai penyebabnya. Karena menurutnya Allah malah akan murka. Kecuali memilih satu laki-laki yang cocok, yang punya cinta dan mau, siapa saja, untuk segera jadi suaminya. Ya, mungkin ini hal yang terlalu jauh. 

Silahkan dibahas, atau disidangkan. 

Yang jelas saya setuju, jika ada seorang wanita melahirkan tanpa bersuami, apalagi korban perkosaan, anaknya yang dirahmati Allah itu tetap berhak punya akte kekahiran (dan surat-surat penting apapun) yang 'menjelaskan' bahwa benar dia telah lahir baik-baik dari seorang ibu. 

Saya juga mau bilang di akhir tulisan ini, karena ummat Islam sangat vokal menentang prilaku LGBT, meskipun tetap melindungi nyawa orangnya dan hak-haknya, maka mereka sering jadi sasaran tembak. Tempat marah. Kalau LGBT dilarang, aktivisnya merasa berkepentingan untuk mendesas-desuskan anti poligami. Poligami itu merusak dan melulu urusan nafsu seks laki-laki yang gila perempuan. Ujung-ujungnya menghina Nabi SAW dan Islam. Padahal yang non-muslim pun banyak yang anti LGBT. Tapi lucunya, dengan mendasarkan diri pada kekuasaan Allah yang tak terbatas, mereka bisa berdalih, jika Allah menghendaki poligami dll untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, mengapa tidak kepada LGBT? Dalam kebutuhan yang begini, poligami barulah dibawa-bawa ke arah kesejahteraan dan kebahagiaan. Nah lho!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG