KETIKA BANGSA DAN NEGARA MEMINTA

PEMBANGUNAN 2

wah wah wah
kau akan moderenkan 
kotamu
seberadab dan semaju
zaman batu

wah wah wah
pasti kitabmu animasi:
hidup di zaman batu
memang lucu
------

PEMBANGUNAN 1

"jangan kau korbankan
keringat kemanusiaan
berteriak-teriak beban
menangis-nangis harapan
sementara kecelakaan
kau sebut pembangunan"

Kemayoran,  2011-2017
#puisipendekindonesia
-----

Negara dan bangsa itu dibentuk,  dilahirkan, didirikan untuk menjadi tanda syukur yang besar,  karunia dari Allah untuk ummat manusia di suatu wilayah tertentu di muka bumi ini.  Untuk menginspirasi dan melakukan gerakan bahu-membahu menciptakan perdamaian,  keadilan,  dan kesejahteraan dunia.

Di kalangan muslim,  prinsip bela negaranya berderajat jihad fi sabilillah.  Sebab,  tanah tempat hidup dan beribadah kepada Allah SWT,  adalah karunia terbesar darinya yang harus dujaga dan dibela. Tidak ada kesia-siaan dalam bela negara. Tidak pantas disebut,  membela kepentingan dunia.

Negara dan bangsa adalah sebuah kode,  pusat komitmen besama.  Berupa tanah air lahir dan batin. Barangsiapa sudi,  bergotong-royong menciptakan kemajuan-kemajuan dalam segenap kebaikan di situ,  maka semakin luhurlah peradaban bangsa dan negara itu.

Maka wajar nasehat tua yang menyebut,  jangan kau tanyakan apa yang telah kamu terima dari bangsa dan negaramu,  tetapi tanyakanlah apa yang telah kamu berikan kepada bangsa dan negaramu?  Tahukah maksudnya?

Kata remaja jaman now,  ya iyalah,  juga ya iya dong!  Kalau kita bikin satu organisasi kecil (komunitas)  di suatu tempat saja,  lalu organisasi itu memikirkan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan, maka semua anggota di situ telah berfikir memberi. Ini dan itu. Menumpahkan dengan ihlas segala kekuatannya, lahir maupun batin.  Maka semua jadi maju bersama dan hidup dalam kebaikan.  Maka setiap pribadi-pribadi di situ telah mendapatkan dari suatu sistem yang kita bangun itu. Oleh sebab itu,  kebersamaan,  senasib sepenangungan menjadi terlalu penting. Sebab memberi berarti juga menerima.

Beberapa tantangan yang nampak sederhana dan paling buruk adalah ketika ada satu-dua atau sekelompok anggota memaksakan diri jadi pimpinan dengan mengesampingkan kesepakatan dan kesepahaman bersama,  meskipun cara naiknya berusaha sebesar-besarnya merebut simpatik dan empatik. Mereka inilah yang biasa kita sebut gila kekuasaan,  dengan jalan yang salah. Selain model ini ada juga yang jurusnya 'radikal',  kelihatan keras dari awal,  berharap ditakuti pihak yang bersebrangan dalam merebut kekuasaan. Padahal kebalikan dari ini adalah pihak yang disebut para pengemban amanah yang semestinya memimpin. Dalam bahasa hiperbolis biasa disebut titisan Ratu Adil.

Pihak titisan Ratu Adil ini sering dijadikan alamat pulang setelah segalanya serba terlambat,  setelah melewati kondisi paling buruk,  setelah korban ketakberdayaan sudah sangat tinggi.

Tetapi anehnya,  rata-rata kekuasaan yang runtuh karena keburukannya,  selalu menunjukkan tanda-tanda ingin bertahan selama-lamanya,  seumur hidup.  Kenapa?  Apa tabeat kejahatan yang abadi itu?

Bahaya kedua selain rebutan kekuasaan adalah korupsi. Bisa jadi sebuah sistem di suatu organisasi sudah sangat bagus.  Maka para calon pemimpin dari kalangan orang baik bisa naik tahta dengan cara yang paling prosedural,  sesuai aturan main,  transparan,  dan manusiawi. Tetapi apa hendak dikata,  ketika kemudian di dalam kepemimpinannya matanya berbinar-binar oleh peluang korupsi yang besar.  Apalagi setelah dia keluar biaya banyak untuk naik kedudukan,  apalagi kalau menghitung masa memimpinnya cuma pendek saja,  mustahil seumur hidup.

Tetapi korupsi seringkali terjadi juga bukan semata terjebak kondisi saat berkuasa.  Sebab peluang korupsi juga bisa dibangun dari jauh-jauh hari ketika sistem membuat prosedur pemilihan pemimpin boros biaya,  banyak janji dan pesanan-pesanan gelap yang mendukung dengan uang,  dst. Akibatnya tidak ada jalan lain.  Pemimpin yang terpilih adalah pihak yang selalu tertekan, yang butuh pembebasan.

Sesungguhnya korupsi bukan soal pemimpinnya miskin. Bukan!  Itu soal kerawanan moralitas. Isi otaknya yang miskin.

Bahkan pemimpin daerah atau negara,  dia tidak bisa menggaji dirinya pakai uang sendiri,  tetapi pakai uang negara. Dia di posisi orang yang masih butuh gaji.  Normal dan etis saja. Setidaknya dengan gaji itu,  sebagai pribadi yang amanah,  dia tidak perlu dihina miskin. Biasa saja.

Bukankah semestinya, kalau seorang tokoh terpilihnya karena dipuji-puji kekayaannya,  dia sudah tidak butuh gaji lagi?  Malah semestinya selalu bersedekah dan terbebas dari seperakpun korupsi uang negara.  Tapi mengapa banyak bukti di negri ini,  pemimpin yang terpilih karena dianggap kaya malah gede korupsinya? Sebab bagi dia,  uang kecil itu bukan uang,  kalau yang gede itulah uang.

Bahaya ketiga,  seperti lazimnya yang dialami dalam  latihan berorganisasi adalah masuknya unsur-unsur kejahatan,  kemaksiatan,  ke dalam tubuh organisasi.  Sebut saja sebagai contoh,  narkoba,  gaya hidup yang liar, dan kriminal. Inilah gangster yang meresahkan masyarakat itu.  Tetapi dalam skala besar,  rezim negara yang jahat pun dibangun oleh tiang-tiang kerusakan ini.

Maka bersyukurlah ketika bangsa dan negara kita disebut-sebut telah meminta banyak hal. Minta bangsa dan negara yang nasionalis relijius.  Yang berpancasila.  Yang berbhineka tunggal ika.  Yang taat pada hukum. Dst.

Ada istilah,  harga mati. Sampai ada pihak-pihak yang ngotot gak setuju karena itu soal duniawi. Padahal bagi mujahid sejati, harga mati itu karena ada kebenaran dan kemuliaan Allah yang wajib dibela di NKRI. Itu sebabnya kita nyaman dan bangga menganggap pahlawan kepada Jendral Soedirman dll. 

Khusus soal kesejahteraan itu,  yang biasanya paling sering dibicarakan di warung kopi,  pasar, dan gardu hansip,  sudah terserak dalam maksud menahami Pancasila dan UUD '45. Sehingga khas negara kita yang berketuhanan yang maha esa itu adalah berdaulat,  adil dan sejahtera.

Ya, jika bangsa dan negara meminta apapun,  sebaiknya kita kabulkan saja.  Toh sudah ada parameternya,  antara permintaan dan pemberian itu.  Gak mingkin bangsa dan negara beradab meminta racun dan penindasan.  Meminta kecelakaan sosial dan perang saudara. Mustahil meminta kebodohan dan kemiskinan. Lalu apa artinya?  Tentu,  dari pintu-pintu kemampuan setiap pribadi dan komunitas,  kita mesti memberikan kebaikan-kebaikan dan kemajuan-kemajuan. Ini kecerdasan dan kearifan lokal yang besar,  dalam kontek berbangsa dan bernegara. Akar budayanya,  kearifan dan kecerdasan lokal,  bahkan pribadi-pribadi itu.

Oleh karena itu saya sering bilang dan sering nulis, aturan dan undang-undang itu jangan dipermainkan. Sehingga malah melenceng dari komitmen berpancasila dan berundang-undang dasar 1945. Pemerintah yang sedang berkuasa dan legislatif,  era manapun juga,  jangan sok berlagak membela rakyat dengan mengiming-imingi produk undang-undang atau peraturan tertentu yang sesungguhnya pasti akan memperumit dan mempersulit kehidupan di masa depan.  Cuma menguntungkan kepentingan sepihak jangka pendek. Semacam tebar pesona sesaat belaka.

Berdalih negara hukum,  obral murah undang-undang dan bermacam peraturan yang tidak jelas. Lebih bahaya lagi, gak ngerti maksud nitisnya Kitab Suci ke dalam aturan harian kita.

Dalam hal memberi,  kita jangan memberi pabrik,  mendirikan pabrik dengan menyerap ribuan tenaga kerja,  tetapi pemberian perijinan,  proses produksi dan hasil produksi pabrik itu malah menjadi 'investasi'  berbahaya bagi anak cucu kita.  Dengan kata lain,  kita sesungguhnya cuma menjebak yang ribuan itu,  seperti tertolong padahal tidak. Ini contoh.

Dalam hal memberi,  kita jangan memberikan perusakan lingkungan hidup. Jangan membangun kehancuran di bantaran kali,  jangan merusak hutan-hutan. Ini contoh. Banyak hal semodel. Rencana dan propagandanya membangun,  tetapi malah merusak.

Ketika bangsa dan negara kita meminta,  kita jangan memberi persemaian tempat-tempat pendidikan yang semarak tetapi berisi pembodohan-pembodohan. Apalagi yang semarak itu simbul agama dan pusat peribadatan, tetapi dimasuki orang-orang yang melakukan pembodohan,  melenceng dari fungsi utamanya.

Ketika bangsa dan negara meminta hiburan dan hobi yang menyenangkan,  jangan kita beri hiburan dan hobi yang menyenangkan sesaat padahal sesat.

Ketika bangsa dan negara meminta puisi,  kita jangan kasih puisi pemberontakan, tetapi puisi pembangunan.

Ketika bangsa dan negara meminta.  Kita jangan memberikan sebuah warung kecil,  tempat jualan kopi yang strategis,  sekaligus tempat menyalurkan minuman keras untuk mabuk-mabukan dan narkoba.

Sampai-sampai saya mau bilang.  Lebih baik seperti kita bicara nikah mut'ah. Sebut saja garisnya di dalam koridor nikah tercatat,  resmi menurut surat-surat negara. Ketika di satu sisi kita umat Islam sebagai warga mayoritas di negri ini, sependapat 100% dengan Rosulullah SAW bahwa nikah mut'ah itu haram. Maka tidak salah ketika kemudian kita membuka mana nikah mut'ah yang haram,  dan mana nikah yang mirip dengan nikah mut'ah tetapi sesungguhnya halal? Sehingga pada bagian yang mutlak haramnya itulah yang paling tertolak. Meskipun bagian yang diterima,  yaitu yang cuma mirip nikah mut'ah itu,  bisa saja tetap tertolak oleh kelompok tarekat atau penghayat tertentu. Sebab di sini berlaku perbedaan itu rahmat Allah.

Sekilas saya uraikan. Nikah dengan perjanjian batas waktu itu, haram jika keluar dari pakem nikah yang benar. Misalnya,  niat nikahnya semata harta,  bukan cinta karena Allah.  Niat nikahnya semata karena syahwat,  bukan cinta mulia karena Allah. Niat nikahnya cuma pelacuran berkedok pernikahan. Dst. Yang kesemuanya itu jauh dari upaya membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah. Bahkan sudah pasti akan menelantarkan anak-anaknya,  jika di dalam pernikahan itu terlahir anak. Dan yang paling banyak menderita adakah istri dan anak-anak. Pendeknya,  nikah mut'ah yang haram itu memang sebentuk pelacuran. Di Indonesia heboh dengan istilah plesetan, kawin kontrak.

Sedangkan ada pernikahan yang mirip dengan nikah mut'ah.  Yaitu nikah yang terjadi selayaknya pernikahan biasa,  halal,  bahkan tercatat di catatan sipil. Nikah karena cinta, karena Allah,  karena niat membangun keluarga yang sakinah mawadah warohmah.  Dan jika ada keturunan di dalam pernikahan itu disambut sukacita.  Bahkan tidak mustahil,  kedua belah pihak,  suami-istri memang merencanakan punya anak dari pernikahan itu,  tetapi jauh-jauh hari pernikahan itu memang dilakukan untuk tidak seumur hidup. Sampai-sampai dari semula pihak keluarga,  bahkan masyarakat tahu,  pria A telah menikah sempurna dan baik-baik dengan wanita B. Lalu beberapa saat kemudian mereka diketahui telah berpisah. Tidak ada masalah yang muncul,  kecuali diinformasikan telah resmi bercerai.

Ya,  tentu ada yang beda pendapat dengan saya. Bahkan saya pernah dipecat dari kerja siaran karena suka membahas halalnya poligami  dan membuat program sisipan siaran tentang keharmonisan pasutri. Silahkan saja beda, semoga jadi rahmat untuk kita.  Kita kembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunah Rosul.

Sebagai bagian dari bangsa dan negara ini,  selalu kita berikan pendapat yang terbaik. Teristimewa. Termulia.

Soal ada interupsi mengenai kebahagiaan keluarga,  saya tegaskan,  seperti ketika saya menjawab,  "Poligami itu solusi sampai kapanpun bagi siapapun,  termasuk bagi yang hari ini menolaknya, jika waktu dan takdirnya telah tiba. Negara sebaiknya jangan melarang. Tapi jangan poligami kalau tidak sanggup, apalagi niatnya saja sudah salah, bahkan poligami yang salah bisa mendatangkan dosa". Bahkan seperti ketika kita bicara pernikahan biasa, "Jangan nikah kalau salah  niatnya. Malah bikin dosa dan sengsara. Lebih baik hidup sendiri saja. Selain itu, haram juga nikahnya sesama pezina. Sebab ini sudah mewabah di kota dan desa,  dengan cara berfikir,  'boleh seks bebas yang penting kalau hamil dinikahi'.  Sungguh penipuan yang nyata dan konyol".

Kenapa saya bicara ini di akhir tulisan?  Selain sekadar contoh,  sebab bangsa dan negara yang besar selalu MEMINTA dibangun oleh pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga yang teguh dan kuat.  Maka ngaji nikah yang sakinah mawadah warohmah menjadi strategis. Sampai-sampai saya setuju dua hal. Setuju,  akte kelahiran untuk anak-anak yang dilahirkan oleh ibu mereka,  tanpa didampingi ayah-ayahnya, apalagi korban pemerkosaan,  sebab anak sangat membutuhkan akta itu, daripada ibu dan bapaknya. Saya juga setuju program KTP untuk anak-anak usia 0-17 tahun. Semoga saja tidak akan ada kasus korupsi E-KTP anak-anak. Masa', sih,  uang anak-anak  akan diembat juga?

Ya,  saya sampaikan juga hal yang berkaitan dengan agama, sebab saya penyair. Supaya penyair atau seniman yang berusaha hidup di jalan lurus tidak menjadi anak tiri,  apalagi anak haram bagi agama. Hanya karena tidak memilih kotbah,  tidak jadi imam sholat di mesjid,  dan tidak memimpin upacara doa-doa. Sebab milihnya diskusi sosial dan ruang senibudaya dalam cinta Allah yang agung. 
-----

SUDAH TETAP

bahkan ketika Islam berarti
jalan yang lurus
hidup yang baik
peristiwa yang mengagumkan
kebenaran sejati
kaupun tetap bingung
------

TIDAK

hidup tidak main-main
tidak menguji-nguji
bahkan komandan preman
kepala iblis
menyebut masa adaptasi
kepada anakbuah baru
untuk mengujinya

duri disimpan di tengah jalan
ketika prajurit lewat
di bulan latihan

Kemayoran,  2011-2017 
-----

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG