PEMERINTAH,  LEMBAGA,  DAN KORAN YANG MEMIHAK PUISI SIAPA?

SEMBUH DANCE

dansembuhlah
-----

SALAM BUDAYA

karena berjuang itu apa?
-----

TAREKAT CINTA

sudah
jam
tiga
-----

KOPIKULI

kupikuli
kopikuli

Kemayoran,  2011-2017
#puisipendekindonesia 
-----
Jujur.  Orde Baru tidak 100% Pak Harto. Banyak aktivis dan tokoh Orde Baru yang jago menjilat dengan prinsip ABS (Asal Bapak Senang),  sehingga di lapangan ia melakukan cara dan strateginya sendiri. Itu sebabnya masih cukup longgar posisi Pak Harto untuk dipahlawankan, karena dia tidak berada pada pelanggaran-pelanggaran tertentu. Kalau di perusahaan-perusahaan,  telah lahir teori yang mirip,  yaitu Asal Bos Senang.

Oleh karena itu garis politik yang mewarnai lahirnya dan bekerjanya pemerintahan perlu dilihat dari dua ruang besar untuk bisa melakukan keberpihakan. Yang biasanya diberi label,  berpihak kepada rakyat.  Meskipun Rendra bilang,  rakyat yang mana?

Keberpihakan pemerintahan Orde Baru misalnya,  secara nasional, yang tidak pro-GOLKAR diangap bukan pendukung pemerintahan. Sehingga segala kebijakan pemerintah nyaris sepenuhnya untuk para pendukung GOLKAR.  Kalaupun di suatu daerah ada pendukung PPP dan PDI yang ikut merasakan enaknya jalan beraspal dan gedung sekolah yang bagus, itu debagai dampak dari masih banyaknya pendukung GOLKAR di situ. Atau setidaknya,  dibela-belain untuk pendukung GOLKAR sekaligus untuk menarik minat semua yang belum pro-GOLKAR.

Secara garis tegas politik,  itu jelas suatu pilihan politik.  Bisa disebut ALA atau ERA. Tetapi hak politik yang sah juga ketika yang bukan GOLKAR,  maksud saya yang PPP dan PDI saat itu memulai kalimatnya, ada suatu keadaan atau era politik yang mereka butuhkan, yang lebih baik, bahkan bisa saja pada saat itu GOLKAR masih bisa ada di dalamnya.  Bersaksi dan mengikuti.

Kedua,  secara kelembagaan.  Selain anti kepada yang non-GOLKAR secara nasional,  sebagai sikap politik yang dikenali,  karena terbuka dan terang-terangan di masa ORBA,  bisa saja lembaga-lembaga resmi semisal kementrian,  bahkan swasta tidak memihak suatu kelompok masyarakat. Misalnya kontra masyarakat yang dianggap terlalu vokal, dianggap menjatuhkan aktivis dan para pekerja yang sudah sibuk lama di dalam lembaga itu.

Kadang sering lucu bahkan.  Jika ada kelompok masyarakat atau puisi-puisi yang protes karena sesuatu hal kepada kebijakan suatu kementrian,  besok-besoknya akan dimunculkan sosok-sosok bentukan yang diharapkan sesuai dengan visi-misi pihak yang protes.  Kalimatnya bahkan bisa dilempar kebelakang,  bahwa kementrian itu telah berbuat jauh-jauh waktu atas apa yang dipersoalkan,  yang diprores itu. Sehingga selamanya masyarakat yang protes tidak pernah dihargai oleh lembaga negara ini. Tentu,  kita tidak tahu, apakah presidennya tahu ini atau tidak? Atau dikasih tahu,  kata Gusdur dibisikin, tapi bisa saja skenarionya sudah beda. Menjadi skenario made in pembisik.

Kebiasaan buruk ini juga sampai di tingkat Kabupaten/kota,  bahkan bisa lebih ke bawah lagi.

Padahal pihak yang jujur dan kontruktif dalam protesnya, termasuk melalui puisi-puisinya yang universal,  sesungguhnya bisa menjadi bagian dari solusi utama pemerintah,  menyikapi keadaan yang berkembang. Daripada ditinggalkan. Meskipun, sudah lama juga kita mengenal adanya kaum protes/demonstran yang sesungguhnya cuma nyari popularitas dan nyari tempat untuk 'diajak-ajak',  padahal modal kemampuannya nol.

Atau,  lebih lucu lagi. Pemerintah atau lembaga tertentu bisa dengan sengaja bikin konflik. Bikin ramai dengan sekelompok pemrotes. Menyutradarai aksi yang gaduh. Lalu para pemrotes ini segera akan diperdebatkan, diajak bicara, lalu ditarik ke dalam sebagai para pihak yang akan banyak dilibatkan. Dianggap konstruktif. Tetapi para pengkritik yang tidak masuk kelompok ini,  meskipun suaranya mirip, bahkan lebih dahulu vokal, karena bukan bikinannya,  ditinggalkan. Mereka harus menganggap,  telah terwakili,  sambil gigit jari.

Rumit memang bicara soal pemerintah atau lembaga pemerintah,  bahkan sampai ke lembaga swasta yang memihak ini. Pragmatis.

Termasuk kalau kita mau menyebut institusi yang lazim dianggap paling intelek sekalipun.  Yaitu kementrian pendidikan. Sampai kepada kebijakan yang paling kecil,  misalnya,  siapa penyair yang karyanya atau sepakterjangnya pantas masuk buku pelajaran sekolah? Milih sebagian nama-nama yang paling terkenal atau yang eksis dan inspiratif?  Siapa saja yang pantas masuk penyaringan kegiatan-kegiatan (baik sebagai panitia maupun undangan) di bawah koordinasi langsung atau tidak langsung kementrian?  Siapa para pembina ekstrakurikuler senibudaya yang bisa melatih di halaman atau di aula sekolah? Siapa penyair atau seniman yang pantas jadi juri seni di lingkungan dinas? Itu semua bisa menunjukkan keberpihakan yang tidak sehat.

Apalagi kalau sekolah sampai membuat sikap atau ultimatum,  jangan terlibat komunitas ini dan itu di luar sana,  padahal komunitasnya halal dan sehat. Bahkan sangat mendidik. Itu kenapa? Ada apa?

Perlu contoh yang lebih kecil lagi? Bahkan untuk membuat organisasi dan kepanitiaan siswa di sekolah. Atau untuk membuat vokal grup dan kelompok seni tertentu,  masih ada sekolah atau guru yang sepihak melihat siapa orang tuanya?  Sampai-sampai saya berfikir,  kalau ada cerpen atau novel yang menulis tentang 'anak tidak terpakai'  atau 'siswa tidak berguna' , pasti inspiratif.  Tetapi penulisnya bisa dibenci setengah mati oleh institusi ini,  atau setidaknya oleh para pihak di dalamnya.

Jika sebuah lembaga kita sebut sebuah sel,  maka hidup berbangsa dan bernegara ini banyak sel-selnya.  Kalau disebut sendi, persendian sosial kita sangat kompleks.  Sampai saya sering menyebut istilah, WALI SENDI. Wali yang bisa memimpin kelompok tertentu atau berpengaruh pada kelompok tertentu itu,  atau membawa kekhususan ruang dalam dakwahnya. Atau jika di pulau Jawa punya 9 Wali utama,  maka wali-wali lain yang mengikutinya adalah persendian dari yang 9 itu. Maka,  jika ada satu sel kita jadikan contoh,  dengan bukti-bukti kasusnya,  maka sel itu bisa dipakai untuk membaca seluruh sel secara nasional.

Kalau di awal tulisan ini saya menyebut keberpihakan tidak cuma milik pemerintah dan lembaga pemerintah,  maka otomatis keberpihakan secara sehat dan tidak sehat juga bisa terjadi pada dunia swasta.  Termasuk pada surat kabar menyikapi para penulis sekalipun.

Kalau ada yang menyangsikan,  bolehlah kembali ke era Orde Baru.  Sebagai pengalaman panjang.  Ada surat kabar yang dipahami umum sebagai korannya orang Golkar, medkipun tidak ada lambang,  kode,  pemberitahuan begitu secara terbuka.  Tetapi, semua wartawan dan para penulis di situ harus orang Golkar atau pro-Golkar.  Ini pula yang kudian melahirkan jurus kepalang.  Muncul juga koran-koran yang siap menampung tulisan orang yang sulit menembus lembaran koran beraroma Golkar itu. Ini satu contoh. 

Tapi ingat,  KEBERPIHAKAN TIDAK SELALU HARUS KARENA POLITIK DAN PARTAI.  Bisa karena apa saja. 

Maka jika tulisan anda tidak dimuat koran tertentu, cobalah jujur. Apakah tulisan anda jelek?  Apakah tidak jelek,  tetapi tidak sesuai dengan misi koran itu? Apakah karena anda gak punya nama?  Apakah koran itu memang punya keberpihakan tertentu? Dst.

Apakah anda masih akan menghiba dan mengemis-ngemis cinta di depan koran tertentu? Padahal direktur atau pemimpin redaksi atau pengasuh rubrik sastra di situ bisa memaksa tukang sapunya untuk menulis puisi untuk dimuat. Atau dalam beragam-ragam kreatifitas. Kenapa anda tidak menerbitkan buku saja? Biarkan saja mereka yang vokal dengan koran tertentu itu menggeluti dunianya di situ. Mereka kan merasa punya hak. 

Kalau buku anda tertolak dari institusi pendidikan, sebagaimana contoh kasus atau perumpamaan di awal tulisan ini,  padahal bukunya sangat  inspiratif ---inspiratif tidak harus terkenal atau best seller---, apakah anda akan berhenti membangun negara?  Sementara negara anda berfatwa,  tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada bangsa dan negaramu?

Bukankah setiap sejarah akan menemui tulisannya? Baik ataupun buruk.

Itu sebabnya saya pernah nulis status di media sosial facebook begini:

PUISI PERNAH 
Pernah suatu ketika saya ngirim puisi ke koran.  Tidak dimuat. Sampai komputer saya ngeledek,  puisi kita jekek kali ya,  atau tiba-tiba tidak cocok dengan kebutuhan halaman koran itu? Dan satu lagi, kata dia, nama kita tidak populer seperti Emha,  Rendra, dll. Jadi dapat respon kecil. Ah,  saya diam saja. Paling kemudian memghibur diri,  koran bukan segala-galanya bagi kepenyairan seseorang. Juga bagi data-data sastra di buku pelajaran sekolah. Meskipun subyektifitas juga akan menyebut,  semisal data sastra di dunia pendidikan yang punya kementrian itu pun bisa memihak. Siapa bilang tidak?

Tulisan status itu dari sudut pandang pencerahan untuk semua pihak,  terutama kepada para penulis pemula, mendapat komentar dari penyair Cunong Nunuk Suraja begini:

Kecuali kita mengharapkan imbalan uang di penerbitan puisi, mengapa tidak dikumpulkan sendiri kemudian dicetak jadi buku atau cukup e-book? Ketika dengan berkala setiap semester menerbitkan buku kemudian mengundang pembicara dan penyuka puisi dengan dilengkapi air minum dan camilan, tentu dalam tiga empat kali penerbitan buku dan peluncurannya akan dengan sendirinya dikenal sebagai penulis puisi (minimal!).

Otomatus komentar tersebut saya terima dengan sukacita dengan mengomentarinya singkat:

Trimakasih Pak. Berbagi cerita, bahwa karya saya pun pernah ditolak koran selain dimuat. 
Ya,  seperti yg sdh saya uraikan juga diCannadrama.blogspot.com,  era sastra mutakhir adalah era buku,  panggung,  dan internet.
---
MALAM KULI

lalu dingin sunyi itu rebah
mengirisi mimpi yang payah

Kemayoran,  2011-2017
---

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG