HOAK KARENA OTAK HOAK

KARAKTER BLUNDER

anak manusia
anak manusia
tujuh turunan tetap manusia
tapi kau tak tahu
bagaimana cara melihatnya?
anak syetan
anak iblis
tujuh turunan bingung kaupahami!

Kemayoran, 2011-2018
#puisipendekindonesia 
-----

Pertama-tama izinkan saya untuk tetap pede (percaya diri)  dari dahulu kala menyebut hoak (ho-ak),  tidak nyebut hoax (huks),  untuk menyebut berita bohong,  berita palsu,  atau fitnah. Mengapa? Karena tanpa rujukan bahasa Inggrispun, kata hoak secara tradisional sudah mengandung pengertian asal cuap, asal ucap.  Tak butuh pembuktian, karena memang berita bohong. Kalaupun mau pakai rujukan bahasa Inggris sekalipun,  tetap saja jika sudah menjadi bahasa serapan, sebutannya bisa menjadi hoak atau huks. Tapi istilah hoak sudah kadung saya (kita) terima. Meskipun bisa dilabeli serapan prokem.

Selanjutnya mari kita bertanya,  sebenarnya hoak (berita palsu) atau otak hoak yang lebih dulu ada dan berpengaruh?  Dan yang mana lebih berbahaya? 

Sebenarnya dua-duanya berbahaya ya? Tapi yang jadi masalah, gak akan pernah ada hoak itu kalau gak ada otak hoak.  Otak rusak yang selalu puas kalau hoaknya berpengaruh,  apalagi secara politis,  karena akan ada yang diuntungkan.

Kalaupun tidak mendatangkan untung, si pembuat hoak akan merasa nyaman,  biasa saja, meskipun tulisan,  gambar, foto, atau karikaturnya viral disebut-sebut hoak. Meskipun mungkin hari ini mulai ada paniknya,  karena aparat anti-hoak mulai sibuk kerja terus.

Kalau kita curiga otak hoak yang jadi pangkal permasalahan munculnya beragam hoak, semestinya karakter manusianya yang mesti diluruskan. Atau kita telah berkesimpulan,  atas nama kemajuan jaman ternyata kita telah terlalu permisif dan rnencetak otak hoak untuk liar dan terus liar.  Apalagi ketika makin modern mereka semakin menemukan dunianya,  yaitu dunia internet,  khususnya media sosial.

Dari kebiasaan otak hoak inilah maka kemudian bisa terbangun dan terpola sindikasi hoak di media sosial.  Artinya,  dari hoak pertama telah tercetak otak hoak di mana-mana. Apalagi ketika dipercaya,  cara-cara hoak juga besar hasilnya di negri yang masih dinaungi awan hitam pragmatisme politik ini.

Hoak yang mudah memanfaatkan isu-isu SARA tidak hanya marak pada tahun politik. Dia juga seperti punya kepentingan pada keresahan kehidupan sehari-hari. Merasa perlu membakar suasana sehingga lahir kegaduhan-kegaduhan. Sehingga diharapkan mampu mematahkan citra bahwa iklim Indonesia sangat kondusif.

Kalau dibilang pemerintah yang sedang berkuasa yang paling dirugikan atau terkena dampak berita hoak,  tentu ada benarnya. Sebab pemerintah akan disorot tidak bisa menciptakan suasana kondusif dan telah melahirkan ketidakpercayaan masyarakat yang tinggi. Meskipun kalau mau jujur,  suatu berita bohong juga bisa dimulai dari sumber di kekuasaan.

Maka hanya pemerintahan yang kuat,  berwibawa,  dan pro-rakyatlah yang pada putaran waktunya pasti akan menang menghadapi hoak yang marak. Sebab hoak itu jelas dibuat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab,  yang tidak akan mendatangkan simpatik. Meskipun yang paling sulit adalah menyelamatkan masyarakat yang sudah kadung termakan hoak. Mereka ini akan berbuat apa saja dengan merasa benar.

Apalagi pada hari-hari masa kampanye,  hoak ini bisa bekerja membabi-buta.  Disebabkan oleh sindikasi otak hoak yang tidak bertanggungjawab itu.  Mereka ini seperti sedang berspekulasi, memanfaatkan waktu masyarakat yang sempit untuk berfikir, untuk mendulang kemenangan.

Dengan melihat gejala buruk ini,  otak hoak yang hidup di tengah masyarakat nampaknya akan terus menjadi beban sosial yang tidak ringan ke depan.  Akan terus berposisi sebagai hantu yang paling menakutkan. Sementara media sosial atau penggunaan HP sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sekarang. Mustahil dihindari.  Sementara prinsip hidup masyarakat belum memiliki filter yang kokoh menghadapi hoak ini.

Dunia pendidikan dari mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi,  mau gak mau harus menanggung beban juga.  Sebab wilayah dunia pendidikan tentu tidak mau di satu sisi disebut tidak sanggup menghentikan otak hoak di kepala generasi yang katanya telah terdidik,  setidaknya secara formal, di sisi lain,  langsung atau tidak malah tertuduh sebagai pihak yang berhasil melahirkan otak hoak. Otak 'eker-ekeran',  otak 'perseteruan'  yang tidak terkendali. Intelektualutas abu-abu.

Sementara itu otak hoak di tengah masyarakat, yang juga banyak diprofokatori oleh kaum yang mengaku intelektual, juga seperti mendapat perlindungan dari organisasi dan dari tokoh masyarakat yang diuntungkan. Cukup dengan mengatakan,  "hal itu bisa muncul karena ketidakpercayaan mereka". Padahal sampai kapanpun fitnah itu fitnah. Palsu itu palsu.

Hoak juga bisa lahir bukan dari isu SARA.  Dari rancunya paham politik juga bisa memunculkan macam-macam hoak. Yang membuat masyarakat tidak semakin melek politik tapi malah selalu kelilipan isu politik. Bisa-bisa sampai terancam terbutakan oleh hoak politik.

Bahkan dunia ilmu pemgetahuan pun bisa dicekoki hoak. Misalnya, dengan kemampuan mengolah foto dibuatlah ada pohon tomat berbuah pisang, ular berkepala monyet,  atau ada onta bersirip hidup di dalam air. Atau ada tentara menembak orang hutan yang dilindungi,  misalnya, padahal itu bermula dari dua foto yang berbeda. Jangan-jangan ada juga foto polisi ikut balapan liar. Demikian data-data statistik bisa diolah jadi hoak. Dst.

Dunia kreatif animasi juga bisa bersebelahan tipis dengan hoak. Bisa saja sebuah cerita komik menceritakan suatu mahluk raksasa, monster,  yang berupa pembesaran gambar dari obyek kecil di dalam laut, yang ditambahi ini dan itu, sehingga nampak semakin seram. Tetapi bagi pihak tertentu, cara kerja begini malah berubah menjadi upaya iseng untuk bikin sensasi. Misalnya berupa hoak tentang penangkapan binatang-binatang raksasa. Cara-cara ini juga bisa membuat seseorang yang sesungguhnya luka-luka ringan menjadi nampak luarbiasa parah di foto,  atau sebaliknya. Dst.

Terakhir, mari kita berfikir, merenung sungguh-sunguh, apakah kita termasuk bagian dari otak hoak itu? Atau berada di pihak yang merasa benar, padahal diam-diam berpegang pada prinsip yang salah,  sehingga telah melahirkan otak hoak di mana-mana?

Gilang Teguh Pambudi  
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG