TPU, TEMPAT PEMAKAMAN UMUM ATAU TAMAN PEMAKAMAN UMUM?

TRADISI

kematian siapa
kembang tujuh rupa

Kemayoran,  2011-2017 
#puisipendekindonesia 
------

Saya gak tahu, mana yang paling benar sebutannya? TPU itu tempat pemkaman umum,  atau taman pemakaman umum? Apakah semua peraturan daerah (PERDA) di semua propinsi dan kabupaten/kota sudah kompak-kompakan memilih istilah yang paling tepat? Dengan membenarkan yang satu dan tidak memakai sebutan yang lain. Atau dua-duanya masih bisa ditemukan?

Atau jangan-jangan ada diskriminasi.  Pengaruh eklusifitas. Di satu sisi kita mengenal nama taman makam pahlawan, di sisi lain kita cukup menyebut tempat pemakaman umum? Argumentasinya dipandang jelas,  gelar pahlawan itu parfum yang harum. Sehingga pantas di taman-bungakan.

Tapi tahukah anda?  Setiap saya siaran Apresiasi Seni di radio tahun 2008-2009, saya selalu menyebut dalam bahasa sendiri, yaitu taman pemakaman umum. Tanpa rujukan dari luar. Mengapa? Karena kalimat saya itu sekaligus permohonan. Permohonan agar makam-makam masyarakat yang di mana-mana itu ditamankan, dibungakan, diindahkan. Jangan diangkerkan. Jangan dilabeli tempat syetan bersarang. Meskipun ada juga pihak-pihak yang berargumentasi, di situ cuma tempat jasad tanpa isi yang bakal jadi tanah. Setiap hamba Allah yang pulang, sesungguhnya dia ada di tempat terang. Di tempat khusus. Sehingga jangan 'nggondeli' (menggantung pada) kuburan,  melainkan pahami dan ziarahi makamnya dengan ilmu. Ada memang yang begitu pendapatnya.

Tanpa menolak logika iman yang benar. Apapun. Tetapi kenyataannya, makam-makam masyarakat itu selalu ada dekat di tengah masyarakat. Ada yang di dekat perumahan. Di dekat sekolahan dan pasar rakyat. Ada yang di dekat kebun-kebun petani dan area pesawahan, bahkan di pinggir jalan umum.  Ada juga yang di sekitar obyek wisata. Apalagi di kota-kota. Bahkan yang di dekat pusat pemerintahan desa dan kecamatan pun sudah berada di tengah sentrum kehidupan masyarakat yang selalu ramai.

Semula saya mau berandai-andai. Andai saja semua tempat pemakaman umum yang ada di titik-titik keramaian dan di titik-titik penting itu dibuat indah, seindah-indahnya, tentu akan membuat suasana di situ akan nampak asri dari segala penjuru. Enak dipandang. Tadinya saya mau bilang begitu. Tetapi karena pembiasaan kebaikan itu bersifat mendesak, maka saya lebih leluasa mengatakan,  semestinya semua tempat pemakaman umum, tanpa kecuali, ditamankan. Ya, minimal terawat baik. Itulah sebabnya to the point saya lebih cenderung pada istilah, taman pemakaman umum.

Bayangkan kalau ada sebuah titik pemakaman yang berada tak jauh dari pusat keramaian atau di jalur menuju obyek wisata tertentu tertata rapih. Ada gerbang yang enak dilihat. Ada pagar makam yang bagus dan dicat rapih. Ada pohon kemboja yang indah dan bunga-bunga yang lain. Ada barak tempat bersantai para peziarah. Bukan gubuk reyot yang katanya dihuni mahluk-mahluk mengerikan. Dll. Saya yakin itu akan sangat melegakan dan menyenangkan. Tidak cuma buat sanak famili yang anggota keluarganya dimakamkan di situ dan buat masyarakat sekitar. Tetapi juga buat siapa saja yang kebetulan melihat.

Pengalaman pribadi saya kalau kebetulan melihat makam masyarakat yang rapih dan indah, termasuk kalau melihat makam orang Cina dan bahkan kuburan Belanda yang tertata,  rasanya ada pesan peradaban di situ. Bukan 'nggondeli'  kematian. Justru menghidupkan cara hidup masyarakat yang nyaman dan indah.

Bahwa di suatu tempat pemakaman ada juga orang jahat yang dikubur di situ,  itu lain urusan. Toh sudah meninggal. Tidak mungkin berbuat apa-apa lagi. Masyarakat peziarah pun tidak berurusan dengan kelakuannya. Melainkan sedang menimba pesan kebaikan dari kemanusiaan orang baik yang telah berpulang. Membaca proses kemuliaan manusia sejak dikandung,  lahir, dan akhirnya meninggal, dengan meninggalkan pesan kebaikan pula.

Pemakaman itu juga seperti buku. Ada pesan peradaban. Meskipun secara logika, pemakaman yang dihilangkan dari suatu titik karena suatu pertumbuhan dan perkembangan kota bisa saja ditandai oleh sebuah tugu pengingat saja. Tugu yang merepresentasikan pemakaman itu. 

Pendek kata, menziarahi makam itu intinya justru untuk menyelamatkan masyarakat yang masih hidup,  karena telah menemui keinsyafan-keinsyafan. Sebab setiap hamba Allah yang soleh yang telah berpulang ia telah tenang di sisiNya.

Apalagi menziarahi makam para wali, baik Wali Songo, maupun para wali penyebar agama Islam dan pendakwah utama  yang sewangi dengan Wali Songo itu, atau menziarahi makam para ulama siapapun, telah punya sebutan populer,  Wisata Reliji. Ini bagus. Sangat arif bijaksana. Sehingga sangat lekat dengan perasaan masyarakat kita. Selain ke makam keramat (makam penuh pesan kebaikan) itu, wisata reliji juga ditafsirkan wisata ke mesjid-mesjid tertentu, dan ke pusat-pusat simbul keagamaan. 

Nah,  bagaimana? Luasnya lahan pemakaman di sekeliling kita apa semestinya dibiarkan belukar, atau dibuat indah saja? Ditamankan saja?

Saya kalau lagi ada di Jawa Tengah suka berfikir, kalau kelak saya dikubur di sini, lalu anak cucu saya niat berziarah, semoga tempat ini menentramkan hati mereka dan siapa saja. Tempat mereka berdoa memohon kebaikan kepada Allah SWT. Tempat sedekah semampunya kepada siapa saja.

Begitupun kalau saya sedang ada di Sukabumi, di Bandung, di Purwakarta, atau pun di Jakarta. Saya merenung, di manapun nanti saya dikuburkan, semoga taman pemakaman itu adalah tempat yang sejuk dan indah untuk semua orang. Bahkan untuk makan-makan keluarga bersama saat berziarah sewaktu-waktu, di bawah pohon yang rindang dan teduh.

Setidaknya cara berfikir dan merenung saya ini adalah sebuah pendekatan. Untuk kesaksian,  kesadaran dan pencerahan. Bahkan setiap pribadi boleh berandai-andai, bagaimana kalau dirinya dimakamkan di sini atau di sana?  Ingin belukar dan angker atau taman yang sejuk dan indah? Yang manfaatnya jelas untuk yang masih hidup tentu saja, bukan untuk yang sudah mati. 

Membuat dan merawat taman pemakaman umum menurut saya adalah bagian dari kearifan, kecerdasan, dan keihlasan kita. Memang benar, sesuatu bisa berlalu, tetapi setiap nasehat baik akan selalu sampai kepada anak cucu.

Dalam tradisi kita, tradisi Nusantara, kita biasa menaburkan bunga pada saat ziarah makam. Bahkan di pulau Jawa masih ada yang bakar menyan, supaya wangi, sebagai alamat pengusir syetan. Ini tidak bisa disalahlan. Kecuali hanya pada mereka yang melakukan itu tetapi salah. Malah bid'ah dan ingkar sunah.

Untuk itu kita mesti tahu lurusnya, dalam cara paham yang paling mudah. Yang sederhana.  Dalam pengertian sampai ke batas cukup paham. Bahwa menaburkan bunga di pemakaman itu artinya, menghargai, mengenang, dan menjaga setiap wangi kebaikan yang pernah dilakulan oleh almarhum-almarhumah. Yang tentu saja manfaatnya bagi kehidupan saat ini adalah menjaga konsistensi sanak famili dan masyarakat sebagai penyaksi, agar senantiasa hidup wangi laksana bunga-bunga itu dalam kebenaran dan kemuliaan semata. Tidak menyukai segala macam kesesatan di muka bumi. Tentu, agar semua bisa selamat lahir batin dan bahagia hingga akhir hayat nanti. Bukan dalam rangka 'nggondeli jasad".

Pun demikian. Jangan suuzon dengan wangi menyan. Jangan juga merinding dan takut tidak jelas. Kalau tidak suka ya sudah, jangan pakai menyan, gitu saja. Sebab sesungguhnya,  membakar menyan itupun sama seperti tabur bunga. Di arah wanginya, kita menolak maksiat, jahat, dan sial.  Kita mengusir syetan laknatullah. Sehingga pesannya di atas pemakaman adalah, mengambil wangi suritauladan dari mereka yang telah pulang sebagai pelajaran sepanjang masa, sebagaimana kebaikan kita pun akan menjadi nasehat, kenang-kenangan, dan penyelamat bagi anak-cucu kita.

Tetapi persoalannya kita ini selalu pelupa. Lupa pada tradisi baik. Kearifan dan kecerdasan lokal itu. Kalau bunga di tabur di atas pusara, menyan dan minyak wangi di hembuskan aromanya, mengapa tanah pemakaman tidak diberi bunga dan wangi? Mengapa tidak dibuat indah?  Supaya tentram semua hati yang berjalan-jalan. Mengapa?

Bahkan kalaupun ada jasad penjahat pembunuh di suatu pemakaman sekalipun, kita tetap harus membersihkan seluruh area pemakaman itu. Tanpa kecuali. Jangan ada tanah Allah yang dibuang dan dihinakan. Karena niat kita selalu sedang membersihkan pemakaman masyarakat yang keramat,  bukan sedang menyembah kejahatan yang pernah dilakukan seseorang. Toh di masa depan,  tanah di situ, semuanya, bisa dipakai untuk mengubur siapapun. Di atas atau di dekat kuburan orang jahat itu, jika telah berlalu waktu, bisa berganti makam keramat seorang ulama yang dimuliakan Allah SWT.

Terakhir. Demi tata kota yang maju,  yang diharapkan lebih indah dan lebih berfungsi untuk manfaat yang lain, tanpa mengecilkan arti taman pemakaman masyarakat,  terkadang suatu pemakaman memang bisa dipindahkan. Meskipun terkadang, simbul-simbul yang kuat dan keramat suka diminta masyarakat untuk diselamatkan,  bagaimanapun caranya. Langkah penyelamatannya bisa dengan cara tetap mempertahankan simbul utamanya di situ,  atau dipindahkan semuanya dengan suatu syarat tertentu. Mesti terkomunikasikan.

Paradigma pemindahan ini adalah kenyamanan dan keindahan. Bahkan ketertiban umum. Apalagi di daerah yang sangat ramai. Tetapi prinsipnya,  dipindahkan ataupun tidak, konsep taman pemakaman itu memang harus indah, nyaman, dan terpelihara. Di manapun.

Selain soal mempertahankan simbul utama atau kode penting dari bagian taman pemakaman itu,  atau tetap memindahkannya dengan syarat-syarat tertentu,  untuk tidak melupakan kenangan penting dari suatu tanah makam, seperti selintas sudah saya sebut di awal,  sebenarnya pemerintah daerah bisa juga membuat tanda, semacam tugu yang khas, yang tidak seberapa besar di bekas makam itu. Yang menjelaskan bahwa di daerah itu pernah ada lokasi pemakaman. Sebab pada waktunya, itu bisa membantu membuka catatan sejarah kota itu. 

Dari sudut pandang Islam,  sebuah taman pemakaman umum, dalam perjalanan sejarahnya memang bisa  hilang,  itu bagian dari rahasia dan kuasa Allah. Tetapi nasihat baik dari suatu kaum yang meninggal dan dimakamkan di situ, tetap akan menjadi tanda,  pesan mulia yang tak lekang oleh waktu.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG