DILARANG BILANG BELANDA MASIH JAUH

PENUNGGANG KUDA

kupacu kudaku
menembus malam ke ujung
sepanjang cahaya
dan puncak-puncak

Kemayoran,  16042018
#puisipendekindonesia 
-------

Di depan sebuah puisi di dalam antologi puisi bersama yang menyantumkan nama saya sebagai penyair yang lahir di Kendal,  Jawa Tengah,  meskipun sejak kelas 4 SD sudah di Jawa Barat,  tentu membuat saya rindu Kendal.  Setidaknya Curug Sewu atau Sukorejo. Sebab di Curug Sewu itulah masa kanak-kanak saya.  Sedangkan di masa tua bapak saya yang telah mengakhiri tugas di perkebunan Sukabumi akhirnya berdomisili di Sukorejo hingga meninggal dan dimakamkan di sana.

Setiap ingat nama Kendal, Sukorejo,  Weleri, atau Curug Sewu, saya selalu rindu pada Jaran Kepang.  Juga pada wayang kulit. Sebab setiap ada hajatan,  dua seni ini dulu jadi primadona.  Di usia kanak-kanak, sampai kelas tiga SD saya sering menontonnya. Itu suatu yang luarbiasa. Dan satu lagi yang bagi saya ketika itu seram, mengerikan tapi bikin penasaram pingin nonton,  yaitu barongan khas Kendal.

Di masa kanak-kanak itu saya tidak pernah beli atau dibelikan jaran kepang ukuran kecil, mungkin belum sempat, tetapi untungnya ada saja teman yang punya.  Jadi paling senang kalau bisa main ke rumahnya hanya untuk main jaran kepang suka-suka, menirukan mereka yang profesional tampil di hajatan-hajatan itu.  Atau kami pergi ke kebun siapa saja, lalu membuat jaranan dari pelepah pisang.

Begitupun barongan. Kami bisa bikin dari apa saja meskipun tidak sempurna.  Bisa ukuran kecil atau yang agak besar pakai kayu dan papan bekas. Lalu ketika kami memainkannya, sendiri-sendiri atau berdua tubuhnya memakai sarung.

Demikian pun wayang kulit.  Kami bisa menirukannya membuat pakai daun kopi basah dan kering, atau memakai kertas.  Tetapi jelas hasilnya masih asal-asalan.  Baru setelah saya SMP di Sukabumi Jawa Barat,  bapak mengajari bikin wayang kulit yang serius meskipun memakai kertas karton tebal. Itupun setelah bapak melihat lukisan wanita telanjang saya sebesar pintu di asrama. Dia bilang,  "Ada rahasia-rahasia keindahan yang menantang di dalam gambar wayang kulit".

Jaran kepang,  karena rambutnya dikepang-kepang,  atau tubuhnya berupa bambu yang dianyam dan diberi kelir mencolok,  atau yang juga biasa disebut kuda lumping atau jaranan memamg sangat khas dan menonjol,  terutama di daerah Jawa Tengah. Tapi banyak juga di Jawa Timur.  Bahkan di berbagai titik Nusantara. Sebab di kampung-kampung Nusantara yang agak banyak keturunan Jawanya,  di sana juga telah diadakan komunitas seni dan pertunjukan jaran kepang ini sejak lama.

Bagi saya,  jaran kepang seperti halnya wayang kulit adalah maskot daerah dan maskot pariwisata yang sangat penting,  bernilai jual,  sekaligus sangat menggeliat di tengah masyarakat. Tidak sepi.  Tidak punah.  Bahkan marak. Seni ini bernilai tinggi.

Jaran kepang atau kuda lumping,  yang bisa ditampilkan dalam dua versi.  Versi pertama,  sering disisipi macam-macam atraksi,  termasuk makan beling dan kesurupan.  Sedangkan versi kedua, hanya berupa tarian yang lincah, eksotis dan atraktif.  Apalagi ketika ditampilkan sebagai pembuka even besar atau gelaran menyambut tamu kehormatan. Apalagi kalau penarinya wanita-wanita cantik yang  kadang memakai celana pendek. Adalah seni yang pada awalnya menggambarkan atau setidaknya bercerita soal kelincahan prajurit kerajaan tanah Jawa. Tetapi dalam perkembangannya, lebih luas dari itu,  mendeskripsikan satria-satria penunggang kuda yang gagah. Apalagi di tanah Jawa,  tokoh penting seumpama Pangeran Diponegoro dll adalah penunggang kuda yang handal.

Secara filosofis, menunggang kuda yang juga disebut-sebut Rosulullah SAW dalam hadisnya itu, juga bisa diartikan kemampuan satria Jawa mengendarai dirinya (lahir batin),  terdepan dan percontohan,  mengendarai keluarganya, sakinah mawadah warohmah,  dan mengendarai masyarakat agar bersama-sama bersinerji dalam gotong-royong membangun kehidupan yang lurus,  aman,  damai,  dan sejahtera. Dalam konteks ke Indonediaan tentu saja,  membina spirit nasionalisme bersama-sama.

Bagaimana dengan urusan kesurupan dan makan beling?  Dua unsur ini kadang di masa lalu hanya dipahami sebagai sisi sensasi. Bahkan sempat ditakutkan oleh tokoh agama kalau sampai melompat ke arah sirik karena ada kekuatan yang mengendalikan kepribadian seseorang.  Tetapi keuntungannya,  karena seni ini juga dulu dijadikan media pengumpul masa dalam dakwah. Kuncinya adalah,  syiar doa-doa Islam. Bayangkan,  jika ada penari atau crew yang kesurupan dan bertindak tidak karuan, maka sudah lazim akan ada satu atau beberapa juru penyembuh yang menyadarkannya dengan doa-doa Islami.  Yang artinya,  itu adalah sebuah penceritaan.  Skenario. Sebuah pesan baik.  Bukan dalam persepsi,  bikin-bikin sensasi memanggil syetan atau ruh jahat sampai kesurupan.

Sedangkan dalam hal makan beling kita setidaknya bisa memasukinya dari dua pintu pencerahan.  Pertama, orang kalau sudah kesurupan (kesetanan) bisa bertindak macam-macam, beling pun di makan. Bisa bikin bahaya dan onar. Itu kabar bahaya. Karena itu harus segera disadarkan.  Kapan? Tentu segera!  Jawabnya,  di ruang pertunjukkan tidak boleh lewat dari jam pertunjukkan,. Kalau di layar TV,  harus memperhitungkan durasi tayang.  Bahkan jangan aneh,  sutradara bisa berbisik,  "Nanti dalam adegan kesurupan,  jangan beraksi keluar dari jangkauan kamera".  Dan ini dipatuhi oleh para penari.

Pintu pencerahan kedua berpesan sangat positif. Jika seseorang ingin bisa memecahkan segala urusan hitung-menghitung,  maka ke dalam otak dan jiwanya harus masuk kemampuan bermatematika.  Kalau seseorang ingin sukses dan berwibawa dalam organisasi kemasyarakatan, maka ke dalam dirinya harus masuk (nyurup)  jiwa kepemimpinan. Kepribadian para raja. Ini logika.  Artinya harus dipelajari dan ditekuni serius. Para ahli sirkus pun mesti  berlatih dahulu.  Demikian pula dalam hal kuda lumping makan beling.  Itu adalah kemampuan yang dilatih.  Tidak boleh sembarang orang melakukannya tanpa latihan dan tanpa tahu rahasianya. Ini pesan besar untuk jadi pintar.

Oleh karena itu di masyarakat Jawa yang hidup di tengah-tengah seni tari (teater) Jaran Kepang dikenal istilah, ndadi. Dalam konotasi negatif, ndadi berarti ngamuk atau kesetanan. Inilah yang dalam logika penceritaan itu harus disembuhkan dengan doa-doa Islami.  Ibarat orang yang berubah karakter menjadi jahat,  harus dinasehati supaya kembali ke jalan lurus. Bahkan perlu dihukum (dengan hukum yang benar)  biar bertobat. Tetapi dalam konotasi positif, hidup justru mesti ndadi. Artinya harus sungguh-sungguh menjadi, menjadi sejadi-jadinya, sampai tak terkira jadinya. Kalau seniman harus sungguh-sungguh seniman, kalau Kyai harus total pinternya jangan cuma bisa baca huruf Arab, kalau karyawan harus karyawan teladan, kalau pegawai  negri harus yang amanah,  kalau pemimpin harus pemimpin yang bijaksana dan sakti,  kalau kaya harus di jalan yang sempurna,  kalaupun kebetulan lagi miskin harus punya daya tahan untuk hargadiri dan keluarga,  dst. Begitulah ndadi. Tidak pernah iseng.

Tetapi ya,  secara teknis pertunjukkan,  berbagai macam atraksi itu juga bisa berfungsi untuk mengulur-ulur waktu agar durasi pertunjukkannya yang panjang bisa diatasi dengan sensasi-sensasi yang membuat para penonton tidak beranjak pergi.

Sebagai Narasumber Senibudaya,  saya juga menangkap kesuksesan pertunjukan jaran kepang yang tanpa memasuklan sensasi atraksi itu.  Artinya cuma sebuah tarian belaka. Tetapi masih sangat memukau dan memuaskan ketika ditonton. Yang artinya, pada waktunya,  sensasi atraksi itu bukanlah suatu kewajiban. Bahkan tanpa kemampuan itu pun sebuah komunitas jaran kepang masih bisa maju terus. Apalagi kalau para penarinya tidak cuma laki-laki yang lincah dan atraktif,  tetapi juga ada wanita-wanita cantik dan seksinya. Apalagi untuk pertunjukkan di panggung-panggung wisata internasional di tengah pertunjukan tari-tarian yang lain.

Jaran kepang sebagai sebuah tarian memang sangat fleksibel. Bisa dipentaskan di lapangan terbuka. Bisa juga naik ke atas panggung. Selain kepiawaian menari pakai jaranan, beberapa penari juga sangat pandai memainkan dan membunyikan cemeti atau pecut yang memiliki suara khas. Sangat perwira.

Inilah sekelumit kisah jaran kepang dari saya yang di masa kecilnya senang bermain-main di atas bukit, hampir setiap hari, di obyek wisata Curug Sewu namanya.

Di Curug Sewu itu pula, di sebuah SD Negri yang juga bernama SDN Curug Sewu, saya belajar dari kelas 1 sampai kelas 3. Termasuk belajar menggambar. Sesuatu kegiatan yang saya sukai sejak kecil.  Termasuk menggambar adegan-adegan pertempuran pejuang Indonesia. Apalagi saat itu kalau ditanya soal cita-cita, saya pasti jawab, ABRI atau tentara. Sampai suatu hari saya diomeli oleh guru,  Bu Endang namanya.  Gara-gara di atas gambar pertempuran yang bagus ketika itu,  saya beri tulisan: TENANG BELANDA MASIH JAUH!  Sebab kata Bu Endang, guru tercantik sedunia ketika itu,  dalam perang tidak ada kata tenang atau nyantai, harus selalu siaga.  Mungkin maksud beliau,  siaga itu ada caranya,  ada teori dan strateginya,  yang penting tidak ada istilah nyantai dalam perang. Haha!

Apakah di jaman now anda masih suka salah ceplos mengucapkan, "Tenang Belanda masih jauh?" Awas, nanti anda dimarahi Bu Endang.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG