FIKSI, PULAU JAWA TENGGELAM, DAN INDONESIA BUBAR

MALAMHUJAN

bawa anak-anak ke mari
dulu di dalam perapian syair ini dimulai
waktu malam hujan kehilangan bulan

Kemayoran,  24 04 2018 
#puisipendekindonesia 
-----

Saya mau melepaskan diri dari semua hiruk-pikuk yang terjadi belakangan ini soal kontroversi fiksi dan non-fiksi dan isu Indonesia bubar tahun 2030. Saya ingin membebaskan diri ke dalam jujur, dan bicara apa saja yang lebih terbuka dalam bahasa yang sederhana.  Sebab dipepet ke tempat sempit untuk asal mengamini yang serba tidak jelas dengan topeng intelektualitas adalah kekacauan dan sikap menyerah.

Biasanya fiksi adalah suatu cerita yang tidak nyata,  tidak terjadi. Tetapi fiksi itu bisa sekaligus bersifat nyata secara normatif, hukum-hukum, pesan moral.  Seperti ketika kita membaca,  memang tidak ada yang tahu ada binatang yang menguburkan mayat kemarin sore di suatu desa,  kecuali dalam dongeng seseorang.  Tetapi di mana-mana di seluruh dunia ini begitu mudahnya kita mendapati data orang yang pernah menguburkan mayat orang yang dibunuhnya dalam suatu tindak kriminal. Dan ini menjadi kewaspadaan kita di masa sekarang dan yang akan datang. Sesuatu yang memprihatinkan,  mengerikan, sekaligus fakta terbukanya sebuah persoalan kemanusiaan.

Dari fiksi tersebut kita membaca data,  analisa,  dan berkesimpulan. Mendapati hikmah dan kebijaksanaan yang tinggi.  Membaca kekuatan firman Allah bekerja di situ,  sekaligus memergoki coreng-moreng penegakan hukum pada manusia. Ada hukumnya, tetapi penuh corat-coret tidak jelas sampai halamannya hitam semua.

Dunia manusia juga sudah terbiasa dengan seseorang yang membuat fiksi untuk masa depan.  Sesuatu yang belum pernah terjadi sekalipun,  bahkan kadang perumpamaan-perumpamaannya terasa ganjil,  tetapi itu benar-benar keinsyafan, ketakutan, sekaligus kewaspadaan tingkat tinggi yang mendasar dan membahagiakan karena bermula dari peristiwa atau fakta nyata di masa lalu. Termasuk misalnya tentang suatu daerah yang pada waktunya tidak akan ada penguasanya.  Yang ada adalah klaim berbagai pihak yang terus bertikai.  Yang ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu kekuasaan besar sebelumnya di situ sudah punah. Lalu ditambahi juga oleh kehadiran mahluk luar angkasa dengan wujud yang aneh-aneh, yang juga ikut rebutan lahan kosong.  Itulah fiksi.

Sampai pada suatu ketika kita juga menyebut,  bahwa peristiwa apapun yang sudah lewat,  yang tinggal pembicaraan di mulut dan tulisan di berbagai media,  yang merupakan perumpamaan yang berhikmah itu,  adalah fiksi. Diceritakan turun-temurun, tutur-tinular, tertulis atau lisan,  lengkap atau sebagian,  dalam bahasa awal atau bahasa baru,  menyeluruh atau prinsip-prinsipnya saja.  Ya,  itu akan menjadi seperti lazimnya fiksi ketika kemudian kita bersikap bahwa itu adalah tulisan buku atau kisah dari orang tua. Anak-anak tidak mengalami peristiwa itu.  Tetapi yang penting bisa memgambil ilmunya dan memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari.

Pun ketika saya berkata,  anak-cucu manusia di masa yang akan datang,  termasuk di tahun 2024, masih akan sibuk mencari tempat berteduh. Ada yang melewati tepian sungai menuju tepi hutan tertentu.  Bahkan ada yang berfikir,  apakah bisa juga menemukan 'sebuah gua' yang di dalamnya luas dan tinggi,  dengan 'penguasa' yang penuh cinta, adil dan bijaksana,  yang melindungi?  Itu 100% fiksi belaka.  Tetapi kenyataan pada waktunya. Ada lagi masyarakat yang mencari aman dengan mengecilkan diri biar tidak kelihatan 'pemangsa' , cukup dikenali Tuhan dan yang bertuhan saja, lalu mencari peluang tinggal di dalam kaleng-kaleng berkilau di tempat tersembunyi.  Di situ dia menyebut-nyebut Allah dan bikin sorga. Mirip kisah kartun yang hidup di bawah rumah jamur.

Tapi ijinkan saya marah bersama-sama dengan yang sama persis marahnya. Karena kalau yang cuma mirip marahnya,  belum tentu benar.  Ini hak.  Bahwa Al-Qur'an itu bukan fiksi. Sebab dia fakta-fakta masa depan. Atau saya perlu tegaskan dalam suatu kalimat penjelas yang khusus, cara baca kita mesti dalam kerangka ketepatan menemui fakta-fakta dan solusi-solusi masa depan.  Dan itu yang diinginkan Allah sebagai cara baca yang benar. Sekaligus menerima dan menemui seluruh peristiwa dan ketepatan di masa lalu. Itulah bulat bola dunia.

Atau saya perlu lebih meruncing lagi tapi sederhana. Kebenaran dan kemuliaan masa depan adalah kebenaran dan kemuliaan Al-Quran. Lalu sejak kapan ada dalil,  Al-Quran cuma rekayasa fiksi, kebohongan masa lalu,  pembenaran yang terbantahkan?

Itu sebabnya gak bosan saya bilang,  Islam bagi orang-orang pinter Jawa,  bukanlah agama impor atau pengaruh asing. Tetapi proses perjalanan manusia menemui dan mencintai Allah-nya. Ketika mereka menyebut "ya benar", maka mereka adalah para penyebar Islam di tanah Jawa. Mereka orang tahu.  Bukan orang awam yang dipaksa bersyahadat karena ada persoalan pemikat sesaat. Berbeda dengan segala upaya manusia,  alternatif-alternatif yang dianggap solusi,  termasuk ketika berfikir,  "Apa perlu di sini pakai komunisne seperti yang di sana itu?" Beda.

Nah kepalang masuk ke dunia Jawa saya mau mengulang uraian singkat soal salah tafsir pulau Jawa tenggelam. Ini termasuk ramalan jitu,  bukan sekadar rekayasa fiksi yang menyesatkan.

Ke mana tenggelamnya pulau Jawa?  Ke dalam laut?  Oke.  Abarasi di pantai tertentu itu sudah kalimat besar,  pulau Jawa memamg sudah tenggelam. Nyata senyata-nyatanya. Sudah benar itu.  Meskipun sebagian,  tetapi bernama Pulau Jawa,  bukan pulau lain. Bisa saja berbahaya bagi kehidupan manusia di pulau Jawa. Karena itu aktivis lingkungan dan lembaga-lembaga terkait wajar teriak-teriak soal abrasi,  kerusakan lingkungan,  sampai kepada berfikir soal ada tidaknya kemungkinan seluruh pulau Jawa tenggelam?   Itu kerja mereka.  Amanat suci juga.

Tetapi sadarkah kita,  bahwa kedigjayaan pulau Jawa juga ditandai dengan lahirnya kerajaan-kerajaan yang punya pengaruh besar di masa silam?  Kode apakah itu?  Benarkah kehebatan wanita di pulau Jawa baru dimulai sejak era Kartini? Mau dikemanakan kisah-kisah wanita Jawa yang hebat di tengah rakyat yang sekaligus pendamping suami yang salehah di masa lalu? Ya,  Kartini memang dekat dengan orang-orang baik yang berprikemanusiaan dari negri Belanda,  tetapi ia juga tidak bisa menolak fakta penjajahan Belandalah yang menindas kaumnya dalam waktu yang lama,  yang di kemudian hari justru diangkat sebagai fakta, seolah-olah kekalahan dan rendahnya wanita Jawa karena karakternya yang jauh dari dunia pendidikan, tidak seperti orang Barat, dan mentalnya tertekan oleh sistem sosial yang salah kaprah. Yang tidak merdeka. Pendek kata,  sebagai pahlawan nasional,  Kartini sebenarnya justru berhadapan dengan pembodohan kaumnya oleh penjajahan. Maka saya senyum-senyum saja kalau mendengar kabar ada banyak pejuang wanita sebelum era Kartini.  Apalagi kabarnya dari masa-masa kerajaan lampau. Karena faktanya,  wanita Jawa memang hebat. Bahkan sampai ditemukan ukuran-ukuran yang melampaui kehebatan Kartini.  Biar saja. Bagi para pembaca kepahlawanan Kartini cukup dengan membaca ruang kepahlawanannya,  sebab di bagian itu yang tidak tertolak. Bahwa Indonesia punya tidak sedikit pahlawan wanita,  itu lebih hebat lagi.

Dalam segala multi-potensi yang sangat besar dan sudah bekerja untuk peradaban itu,  bagaimana mungkin kita akan melabeli prustasi atau menyerah kepada pulau Jawa,  dengan menyebutnya menenggelamkan diri.  Sampai-sampai istilah menenggelamkan diri ini tidak populer.  Padahal bisa juga dikpakai. Sebab spiritualitas kita juga biasa menyebut,  mengalah untuk menang,  bahkan mengalah untuk mengambil inisiatif kemenangan.  Analogi ini berguna untuk memahami,  bahwa pulau Jawa telah menenggelamkan diri dalam Kenusantaraan atau Keindonesiasn kita. Yang artinya,  tenggelam untuk mengambil inisiatif kemenangan. Itu sebabnya dalam prinsip Keindonesiaan ini pulau Jawa selalu berinisiatif terdepan. Bahu membahu bersama pulau-pulau lainnya. Kaitannya tentu dengan karakter ksatria atau kepahlawanan.

Meskipun pulau Jawa berkorban 'menenggelamkan' diri dalam Keindonesiaan,  tetapi sebagai potensi besar dari masa silam dan jaminan masa depan dia tidak pernah tenggelam atau mengaku tenggelam. Maka pastilah,  istilah pulau Jawa tenggelam yang populer itu, dalam konteks ini lebih mengisyaratkan totalitas yang ihlas untuk Indonesia (NKRI), kondisi yang sangat jauh bersebrangan dari kondisi tragis. Maka istilah TENGGELAM lebih populer, daripada menenggelamkan diri yang tetkesan seperti menyerah dan kehilangan potensi lagi.

Ya,  tenggelam itu ihlas.  Ketika menenggelamkan diri kadung diberi kesan  menyerah tanpa daya. Dalam spirit 'tanah yang disucikan' , kita mengenal prinsip,  tenggelamlah ke dalam cinta semata. Tenggelam itu terpaksa,  memang harus terjadi peristiwa tenggelam.  Seperti dalam cinta, kita harus bersikap mau tidak mau harus bercinta,  sebab jika melawannya kita tidak akan berada di dalam cinta.  Itu kehancuran.  Padahal tenggelam dalam cinta juga proses kesengajaan.

Kita pun terpaksa mencintai Allah,  tidak ada kata lain. Memahami asmaul husna.  Hidup dalam nama-Nya. Sampai tiba-tiba saya teringat lagu,  Minum Kopi Bersama dari Koesplus. Ketika kuping saya lebih enak mendengar,  "aku, dengan dia dan Namanya, minum kopi bersama",  daripada mendengar, "aku, dengan dia dan mamanya, minum kopi bersama".  Coba cek di Youtube atau di fasilitas pemutar video yang lainnya. Sebab memilih jalan lain, kita bukan lagi manusia. Bahkan ketika meminjam tangan Allah, kita malah rela disebut,  telah ditenggelamkan Allah ke dalam cinta yang agung. Sekali lagi untuk menunjukkan peristiwa yang tidak tragis.

Dari uraian singkat, mulai dari abrasi yang diakui sebagai peristiwa tenggelam,  sampai harga diri pulau Jawa yang tenggelam mulia ke dalam Keindonesiaan ini, apakah kita masih akan mengatakan ramalan pulau Jawa tenggelam itu palsu?  Apakah kita tidak boleh percaya ramalan yang benar?  Meskipun kita murka kepada banyak pihak yang terjebak pesta ramalan palsu. Kalau ramalan semacam pulau Jawa tenggelam ini hadir di tengah fiksi,  karya sastra,  apa akan ditolak?

Kabar bohong memang bisa difiksikan atau berbentuk rekayasa cerita semata,  tetapi tidak semua fiksi itu kabar bohong. Tergantung pada fiksi yang mana?

Sekarang sampailah kita pada pertanyaan,  bagaimana dengan Indonesia bubar di tahun 2030? Kita sudahi dulu debat soal fiksi dan non fiksi.  Itu selesai.  Fiksi yang menipu dan yang tidak menipu pun sudah bisa kita kenali.

Nyatanya enak dengar kalimat Presiden Jokowi,  intinya kita wajib optimis. Jangan pesimis. 

Indonesia tidak akan bubar tahun 2030. Sebagai prinsip yang didukung spiritualitas tinggi,  mestikah harga diri dan wibawa yang besar dari Keindonesiaan kita bisa dibubarkan? Kalau kalimat saya ini diteruskan malah akan melahirkan generasi-generasi yang susul-menyusul, yang naik atas dan berteriak,  "Beri kami jalan untuk membuktikan eksistensi potensi yang telah bekerja mulia dari sebuah Keindonesiaan yang tidak akan pernah bubar!" Atau saya yang justru tiba-tiba teriak, "Mestinya Gilang dipercaya jadi presiden!" Maka kalau kita menengok garis besar dari kisah Sabda Palon, garis besarnya adalah pernyataan yang yakin, "Kami lega sudah memiliki masa depan".

Apakah ada di antara anda yang yakin, mendahului Allah dengan bisa  menyebut 2030 Indonesia tidak ada lagi? Tetapi kalau maksudnya membakar semangat supaya Indonesia jaya,  tidak runtuh sampai kapanpun, tidak juga di 2030, karena khawatir di tahun itu ada masalah nasional,  okelah.

Hari ini saya merasa berdiri sama tegak dengan semua generasi yang senantiasa yakin,  terus menyongsong masa depan Indonesia yang gilang-gemilang. Tak berbatas waktu. Ini sekaligus melestarikan ngaji tanah air yang telah dibela dengan jihad fi dabilillah itu.  Bagaimana kita akan terus dungu atas devinisi jihad tanah air? Sebab hanya tanah suci-mulia yang dimahkotai jihad itu. Ini sekaligus penguatan semangat bela negara.

Meskipun demikian saya bisa blak-blakan sedikit. Dengan paradigma reformasi total,  untuk tidak terjebak debat kusir revolusi-revolusian - - - apa-apa serba revolusi---,  berangkat dengan kesadaran baru,  mungkin sebentuk pertobatan kolektif juga, sesungguhnya kita bisa saja memasuki Indonesia baru dengan menyatakan Indonesia kemarin yang banyak dosa sudah tidak ada,  bubar! Segalanya direformasi.  Cuma satu yang tidak direformasi,  yaitu semangat reformasinya yang sejati. Dan gilanya ,  semangat reformasi Kenusantaraan ini sudah tumbuh sejak jaman manusia pertama di tanah Jawa. Di pulau-pulau Nusantara. Kata para penyair, sejak potongan huruf pertama dari penyair.  Mau gimana lagi?  Artinya, memang harus diterima kalau ada yang dibubarkan  tetapi ada semangat dari masa silam sekaligus masa depan yang membubarkannya. Tapi tetap utuh 100% Indonesia.

Undang-undang bisa baru,  meralat keliru yang kemarin.  Nama pahlawan kalau perlu ada yang dihapus, kecuali ada sudut pandang yang masih kuat untuk menjaga atau mendiamkannya. Tidak perlu diutak-atik.  Nama-nama jalan bisa direvisi.  Sistem pemerintahan bisa diperbaharui. Semuanya.  Menjadi Indonesia baru,  membubarkan yang kemarin.

Apa kita mau lebih ekstim.  Mengganti nama negara sekalian.  Indonesia diganti Nusantara,  atau nama lain yang lebih cocok? Yang sesungguhnya,  niat mengganti nama Indonesia  dengan nama baru itu esensinya cuma kluruk,  "Ini nama Indonesia yang sesungguhnya. Indonesia yang sebenarnya" . Mengingat kita sambil menengok ke bawah,  melihat tanah dan air tempat berpijak yang tak berubah.

Apa kita mau integrasi dengan suatu negara tertentu yang kuat dengan nama baru,  nama negara itu?  Benderanya bendera negara itu.  Bahasa nasionalnya ya ngikut bahasa negara baru itu.

Atau tidak sudi integrasi semacam itu?  Lebih memilih membubarkan diri cukup dengan ditandai pidato resmi,  Indonesia bubar? Biar tiap daerah menentukan nasibnya masing-masing? Tapi daerah-daerah yang mana yang dimaksud?  Daerah di dalam alamat peta pertikaian?

Atau bagaimana kalau kita kembali jadi negara jajahan seperti sebelum merdeka? Tidak punya kepala negara. Tidak ada pernyataan dan pengakuan merdeka dan berdaulat? Tidak ada lagu kebangsaan. Semuanya diurusi penjajah saja? Gimana?

Atau kita ingin cuma seperti terjajah? Oleh suatu kekuatan negara tertentu atau oleh kekuatan bersama. Misalnya dijajah oleh beberapa negara yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu?  Kita maunya diurusi mereka? Pokoke ngikut. Sebab ngurus negara sendiri terbukti ribet.

Ah. Kalau difikir-fikir,  makin jauh malah kita ini seperti orang-orang stres yang berandai-andai atas segala hal yang aneh.  Sudah jelas-jelas bangsa besar dan terhormat ini sedang berjalan dalam satu kesatuan,  Keindonesian.  Romantisme Kenusantaraan.  Kuat dan faktual,  sedang membangun kesejahteraan lahir batin sambil terus bersyukur kepada Allah.  Sedang menikmati bhineka tinggal ika.  Sedang berpancasila yang sila pertamanya,  Ketuhanan Yang Maha Esa.  Terus menikmati tumbuh kembang dan berbuahnya.  Terus maju tak gentar, pantang mundur.  Pemerintahannya yang sibuk mengatasi utang negara itu juga hebat, daripada sibuk korupsi. Luka-luka dan ketidak-adilan terus diteriakkan. Sampah-sampah juga berteriak dengan bebas minta dibersihkan. Sungai-sungai kepingin jadi vital semua. Segala kebaikan terus dinikmati. Segala tempat ingin jadi indah.  Nyiur melambai di mana-mana,  mengajak hidup dalam damai dan dalam pertobatan pulang yang tak selesai. Persis seperti sukacita dalam lagu Prau Layar. Melakukan perubahan untuk kemajuan dimana-mana. Kok tiba-tiba seperti kesambet isu Indonesia bubar? Indonesia hilang dari peta.

Di media sosial lebih nyeleneh, sampai debat fiksi gak penting. Maklum,  konon ada fiksi yang berkaitan dengan soal Indonesia 2030. Padahal dalam seluruh fiksi, yang penting itu penting, yang nggak ya nggak. Harus jujur. Bangsa Indonesia di SMP-SMA kan semua diajari cara mengapresiasi cerpen dan novel. Bahkan cerita kita tentang suritauladan kakek  yang tidak sempat dialami oleh anak kita,  pun sebentuk fiksi di telinga mereka yang wajib dipelihara benarnya.

Saya gak perlu mengupas fiksi, cerpen atau novel tertentu yang bisa berkaitan dengan kondisi Indonesia 2030, karena kali ini memang tidak sedang mengajak untuk membaca dan memahami karya tertentu itu.

Yang penting,  kita jangan pernah bikin fiksi yang berbohong.  Jangan pula bersikeras bahwa fiksi pastilah bohong. Dan dalam nada fiksi pula kita bicara begini kepada Indonesia hari ini,  "Wahai Indonesia cintaku, kamu jangan bubar ya tahun 2030? Bisa kan?"

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG