PENYAIR DAN SYAIR YANG DIPLINTIR

JAM SIANG WAKTU HARI BERDUKA

kalau airmatanya sudah tumpah
dan kau terusir sebagai orang-orang kalah
maka tangisilah segala kesia-siaan
sebab tandanya telah datang kemenangan

Kemayoran,  17 04 2018
#puisipendekindonesia 
------

Baik.  Karena syair tidak pernah lepas dari kemanusiaan dan kehidupan manusia,  maka mengawali tulisan ini kita mulai dari cerita bidadari. Sebab semua kisah bidadari sesungguhnya bermula dari pengajian kemanusiaan itu oleh kehidupan manusia. Hadirnya berupa ilham. Kearifan dalam kisah-kisah.

Kita mulai dari kisah fenomenal Jaka Tarub.  Dia selalu memperhatikan 7 bidadari mandi di tempat yang sama setiap saat. Ini bukan soal ngintip yang haram,  yang dibenci oleh yang diintipnya itu. Ini beda. Apalagi mandinya di tempat terbuka. Sampai mendesir hatinya untuk memiliki salahsatunya. Maka diambilah satu selendang.  Sampai satu bidadari tak bisa pulang. Dijadikanlah istrinya. Dan kelak pulang ketika telah menemukan selendangnya.

Mandi di tempat yang sama memiliki interpretasi mandi di bumi.  Sebab permukaan bumilah tempat yang sama bagi seluruh penduduk Langit yang datang. Ini untuk mematahkan fantasi-fantasi, tetapi tetap menikmati dunia imajiner yang seru.

Istilah 7 bidadari sesungguhnya berangkat dari kebiasaan penduduk Arab memberi citra pada angka tuju sebagai penunjuk tujuan dan kesungguh-sungguhan.  Yang artinya, tujuh bidadari itu lengkap.  Tidak kurang, tidak lebih. Berarti ya semuanya.

Meskipun kisah bidadari ada di mana-mana, sering disebut sebagai bagian dari kisah Dewa-Dewi, tetapi kisah 7 bidadari sangat dekat dengan masyarakat Islam. Yang menunjukkan, kehadiran mereka mandi di bumi adalah perintah langit.  Menuruti takdirnya. Sebab ia harus menarik-mempesona bagi bumi, bahkan menjadi kebutuhan dunia. Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Jaka Tarub.  Kisah pencurian selendangnya pun tidak berada dalam konteks perbuatan kriminal, tetapi semacam persyaratan jika ingin menahan dan memiliki bidadari. Yang sesungguhnya dalam percintaan, yang dicuri justru hatinya. Dan sampai kapanpun sulit menyebut mencuri hati Sang Kekasih Pujaan Hati sebagai tindak kriminal.

Maka siapapun sekarang boleh datang ke kantor polisi Indonesia dan bilang,  "Maaf Pak,  melalui kisah Jaka Tarub ini kami tidak bermaksud menghalalkan perbuatan curi-mencuri".  Insya Allah beres.

Kisah yang sedikit mirip peristiwa Jaka Tarub dan 7 bidadari adalah pertunjukan tari Tayub. Di situ semua penari yang serba cantik dan seksi itu memakai selendang atau sampur. Lalu para lelaki,  sebut saja Jaka Tarub yang membelahdiri jadi 7 seperti Raden Kian Santang itu,  maksudnya dalam jumlah yang banyak dan lengkap,  selaksa mengucapkan SAMPURASUN.  Lalu siapa yang berhasil mendapati satu selendang/sampur dari seorang penari wanita, maka dengan dialah akan berlama-lama menari. Dalam konsep tari, ini termasuk jenis TARI PERGAULAN NUSANTARA. Berdua-dua,  atau bermuka-muka antara pria dan wanita.  Meskipun ada juga konsep tari pergaulan lain,  yaitu pria berhadapan dengan pria dan wanita berhadapan dengan wanita, bisa di panggung yang sama atau berbeda.

Lalu kita tengok lagi kisah bidadari di balik puisi saya, MEMECAH RIMBUN. Bahwa sesungguhnya kitalah yang selalu ditemui dan menemui bidadari-bidadari yang cantik dan lurus tanpa cela di ketinggian langit hati kita. Jelas pertemuannya di bumi. Di lahir batin manusia, atau di lingkungan tubuh yang berpijak di bumi.

Bidadari-bidadari suci itu hanya dimiliki oleh setiap orang yang mencintai kesucian Allah.  Ada yang ramping tinggi, ada yang padat berisi,  ada yang legam mempesona,  ada yang putih berkilau,  imut lucu,  dst.  Semua lengkap. Lalu melalui perantara selendang,  atau kalimat,  atau kata-kata, doa-doa, nyanyian,  mantra,  atau melalui puisi,  kita mewujudkannya.  Hadir di bumi. Kita menikahi seorang istri yang tak bisa kembali ke langit sampai waktunya tiba.

Maka bersungguh-sungguhlah di hadapan Allah, jangan bercanda, bahwa istri adalah bidadari yang kita minta. Kekurangannya adalah gangguan dunia.  Maka harus diajak ke jalan terang. Maka suami wajib seorang imam.  Sehingga berhukum seimbang.  Seorang wanita pun mesti mempunyai parameter seorang imam supaya tidak salah jodoh. Inilah gunanya pendidikan. Inilah yang sesungguhnya diminta Raden Ajeng Kartini,  Ibu Dewi Sartika,  dll.

Istri sebagai bidadari yang terpilih adalah ruang imajinasi dari seluruh bidadari sempurna,  dari seluruh wajah wanita dunia. Maka bersama tubuhnya, kita berada di hadapan seluruh tubuh wanita.  Klimaknya bersama 7 bidadari. Demikian pun akan berhukum seimbang. Tubuh wanita yang berpredikat agung pun apa bedanya dengan tubuh Adam?  Maka ia pasti akan mencintai kesempurnaan ruhaniahnya (hawa-nya). Maka di situ ia menemui pula  7 pelayan-pelayan yang tidak ingkar. Sesuai dengan jalan lurus yang memuaskan. Ada yang gagah perkasa,  atletis dan santun,  lembut berwibawa, dst. Lalu diwujudkanlah dalam satu fantasi dari dirinya sendiri,  seorang suami yang terpilih di muka bumi.

Sebagai muslim,  pasti mengenal kalimat,  seorang pria Islam telah menikahi seorang wanita Islam. Atau seorang pria Islam telah menikahi Ahli Kitab (orang yang mengaji kitab suci). Sah. Maka telah halal pula hubungan seks di antara seorang pria Islam dengan seorang  wanita Islam/ahli kitab sebagai akibat pernikahannya yang suci dan tersaksikan itu. Kelak berketurunan ataupun tidak.  Yang sesungguhnya tetap sama saja, berada dalam khidmad berketurunan. Sebab bukan nikah atau hubungan sejenis.

Di sini kita percaya,  melahirkan anak memamg tidak bisa dipaksakan pada seorang wanita. Tetapi kita juga percaya Isa AS yang menyebut,  ummatnya tidak ada yang mandul. Yang artinya,  semua anak manusia adalah anaknya. Anak dari semua yang berkhidmad kepada pernikahan. Kepada fungsi rahim ibu. Sebab tidak mungkin beranak bagi yang memuja-muja hubungan sejenis yang tidak ada garisnya di dalam setiap peta.

Selanjutnya mari kita tengok seorang lelaki nakal di pusat pelacuran. Kisah semacam inilah yang memulai peristiwa pemlintiran syair. Sehingga kita bisa menemukan syair penyair yang diplintir di mana-mana. Bahkan bukan cuma syair penyair,  hadis nabi maupun dalil Al-Qur'an pun bisa diplintir.

Lelaki ini jelas bukan Jaka Tarub di depan 7 bidadari yang dengan sukaria mandi telanjang setiap hari di matanya. Bukan pula 7 Kian Santang di depan 70 wanita syurga.

Tetapi sombongnya lelaki ini telah merasa seperti mereka.  Ngaji mereka.  Bahkan sambil 'mencuri topeng Kalijaga' merasa berbuat seperti di depan penari Tayub. Ada banyak wanita di tempat pelacuran itu, beragam bentuk dan daya pikatnya, lalu ia ambil satu 'selendangnya',  dia tahan di kamarnya, lantas  berlama-lama. Maksudnya,  setiap saat dia pilih satu pelacur untuk melayani syahwat.

Sampai suatu saat dia ditanya oleh seorang pelacur yang cemburu karena lelaki itu belakangan lebih memilih satu pelacur. "Kenapa Om selalu memilih dia,  tidak pernah yang lain?"  Dijawab pongah dengan melantunkan potongan lagu yang konon ciptaan Sunan Kalijaga,  Lingsir Wengi: "... Kawitane mung sembrono njur kulino". Yang diartikannya, semula kan cuma iseng, asal pilih seperti kepada pelacur yang lain, tetapi lama-lama jadi terbiasa dengan yang satu ini. Padahal terjemah lurusnya dari lirik itu adalah,  awalnya tak sengaja berjumpa lama-lama terbiasa ingin ketemu. Begitulah cinta.

Dari bagian lain (macapat)  dari lirik itu pula ternyata lelaki ini seorang preman yang punya terjemahan, siapapun boleh berbuat apa saja di muka bumi ini asalkan tidak mengakibatkan celaka atau kematian.  Yang maksudnya, pelacuran bahkan pencurian, bagi dia adalah kemuliaan juga,  asalkan tidak mendatangkan celaka dan kematian pada para pelacur dan korban pencuriannya.

Bagi pelacurnya,  prinsip penghalalan juga ditujukan untuk mengatasi daya tahan hidup daripada mati, padahal daya tahan dengan cara lain yang jauh lebih baik dan terhormat tidak diambilnya.  Bahkan kenyataannya bagi yang sudah menjalaninya itu menjadi cara pintas yang terus dipertahankan. Bukan cuma dalam keadaan tertentu.  Seperti kelak juga terjadi pada artis porno Jepang dan Amerika,  sampai kayaraya pun tetap melacur.

Padahal pasti maksud Kanjeng Sunan, yang disebut tidak mendatangkan celaka dan kematian itu jangan sampai mendatangkan kejadian maksiat dan jahat. Seperti kita mafhum, kematian itu ada dua. Kematian jasad ketika ditinggalkan nyawa, dan kematian kemanusiaan karena ditinggalkan peradaban baik, mulia, adil dan benar. Dalam versi penjelasan yang lain,  justru kematian kemanusiaanlah yang akan terjadi kalau jin syetan bangun dan menguasai. Sebab mereka ini pembunuh. 

Inilah yang telah ditafsirkan oleh sebagian orang.  Pemahaman atas syair yang diplintir inilah yang justru memanggil Kuntilanak. Ruh maksiat dan jahat. Padahal semestinya lirik lagu ini justru berkekuatan tolak bala. Mengusir jin dan syetan.

Yang kasihan kalau ada tokoh masyarakat,  bahkan tokoh agama, atau seorang bupati,  gubernur atau raja yang telah dengan sukahati menyanyikan lagu ini di panggung wayang,  misalnya. Alih-alih diartikan sebagai tolak bala, oleh aktivis pelacuran dan pelaku kriminal malah diterjemahkan,  para tokoh itulah beking mereka. Sungguh gila!

Tapi bagaimana kalau ada muka dua yang ironis?  Misalnya di suatu tahun politik.  Seorang calon kepala daerah dengan sengaja menyanyikan lagu Lingsir Wengi (Menjelang Tengah Malam) di mana-mana.  Suatu lagu yang populer dan enak di kuping. Sudah tertradisikan dengan sukses.  Tetapi diketahui oleh calon kepala daerah itu dan para aktivis pelacuran,  bahwa isi lagu itu sekarang sudah berubah menjadi kontrak politik.  Kepada para ulama dan orang baik-baik biarlah lagu itu dipahami sebagai lirik populer dari Kanjeng Sunan Kalijaga,  tetapi bagi para aktivis pelacuran lagu itu berarti bahwa kegiatan pelacuran akan tetap dihalalkan oleh si calon asalkan didukung dan dimenangkannya.

Inilah satu contoh saja soal syair yang diplintir itu.  Apakah demi meninggalkan kegaduhan dan bahayanya kita sebaiknya meninggalkan lagu itu?  Menghapusnya sama sekali dari dunia masyarakat?  Tentu tidak bisa demikian. Sebab peristiwa pemlintiran itu bisa terjadi pada semua kalimat,  setiap kata-kata, pada semua hadis, dan bahkan seluruh ayat Al-Qur'an. Apakah kita pun mesti meninggalkan hadis dan ayat yang diplintir-plintir sesuka hati oleh orang maksiat dan jahat? Tentu tidak.

Maka biasanya setiap kita ketemu dengan lirik atau syair, ketika mulai menemukan multi interpretasi yang berbahaya,  kita akan selalu berusaha mencari tahu siapa penciptanya. Setelah pencipta atau penyairnya diketahui benar,  barulah kita bisa bersikap. Seperti halnya pada lirik Sunan Kalijaga itu.  Kalau benar itu karya Kanjeng Sunan yang soleh,  maka menjadi sangat mustahillah tafsir yang jahat itu, yang juga tersebar di tengah masyarakat.  Pasti ada pihak-pihak yang tidak jujur atas makna sesungguhnya dari lirik itu.

Alinea terakhir tersebut menjadikan saya ingin mengulang-ulang penjelasan saya,  bahwa penyair dan syairnya harus selalu satu tubuh.  Tidak bertolak belakang. Penyair bisa menelan syairnya,  dan syairnya tidak akan muntah dan teracuni ketika menelan penyairnya. Kecuali kalau dia cuma tukang rekayasa bahasa. Tukang bikin-bikin kalimat. Sehingga puisinya dibiarkannya mulia,  jauh dari perbuatannya. Atau,  puisinya memang propaganda jahat yang dibelanya mati-matian sebagai kemuliaan dan kebebasan. Inilah puisi yang bukan puisi.

Padahal bagi penyair,  kata-kata adalah juga bidadari. Yang mandi telanjang secara halal dan dipersunting oleh yang telah melihatnya secara halal pula. Bukan dipersunting oleh tukang ngintip yang dibenci oleh yang diintipnya.  Apalagi ngintipnya pakai kamera lalu disebarluaskan aib seseorang itu kepada orang banyak. Melalui media sosial,  misalnya. Padahal hukum itu ada tempat dan prosedurnya.

Tulisan ini terinspirasi oleh pertanyaan seorang SATPAM kepada saya di depan lif di Jakarta kemarin, "Pak, apa benar lagu Lingsir Wengi bisa mendatangkan Kuntilanak?"

Ini lirik lengkap lagunya:

Lingsir wengi
Sepi durung biso nendro
Kagodho mring wewayang
Kang ngreridhu ati
Kawitane
Mung sembrono njur kulino
Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno
Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi
Nandang bronto
Kadung loro
Sambat-sambat sopo
Rino wengi
Sing tak puji ojo lali
Janjine mugo biso tak ugemi
---

Bagian macapatnya yang populer di film Kuntilanak begini:

Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet 
---

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG