DI ULTAH PRESIDEN TERINGAT JOKOWI-AHOK

MEJA HUJAN

segelas kopi di meja hujan
bagaimana menerjemahkan lautan?

Kemayoran, 23 04 2018 
#puisipendekindonesia
Dalam Sajak-Sajak Hujan
Gilang Teguh Pambudi
-------

Membaca judul tulisan ini pasti ada saja, bahkan banyak, yang memulainya dengan prasangka, apa maksudnya dalam Pilpres 2019 yang akan datang Jokowi sebagai calon dari petahana bakal berduet dengan Ahok? Lalu mulai memikirkan, bukankah Ahok sedang dipenjara? Bahkan bisa lebih jauh curiganya, apa penjara adalah syarat menggagalkan Ahok, agar tidak punya peluang jadi Cawapres?

Tapi saya pastikan tidak demikian juga. Tulisan ini justru bicara keberangkatan Jokowi dan Ahok yang khas dan populer. Bahkan bisa menjadi catatan sejarah yang bakal berumur panjang. Sebab kalau soal 'debat' yang pernah terjadi seputar peristiwa Ahok dipenjara itu, bisa 'berdialog' dengan waktu. Namanya juga fenomema komunikasi sosial. Sebab di situ, yang mencolok sebenarnya cuma tipikal Ahok yang 'kurang lembut'. Pembawaan yang lumayan kurang menguntungkan saat itu. Lalu malah disikapi muter-muter.

Kalau soal pembawaan kurang lembut dan kurang sabar, tokoh-tokoh lain pun ada yang begitu. Mungkin bisa disebut banyak. Tapi yang sial Ahok.

Begini. Tulisan ini justru saya tulis mulai dua hari lalu dalam rangka mengucapkan selamat ulang tahun kepada presiden kita, Joko Widodo. Yang namanya cara pengucapan kan banyak versinya. Ya termasuk yang model begini.

Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang tak akan ada ucapan-ucapan baik. Ya kan?

Saya mengucapkan selamat ulang tahun Jokowi karena, setidaknya secara informasi saya mengenalnya. Tentu dengan hati-hati. Bukan kultus individu karena dia presiden, atau dengan taklid buta karena dia penguasa.

Lagipula saya ini Wong Cilik, mau bikin pencitraan apa? Anak orang hutan.

Setidaknya sebagai penyair yang Santri Alam Semesta kan saya mengenal kalimat-kalimat kunci untuk tiap apa saja: Allah mengenalinya, malaikat mengenalinya, Nabi SAW mengenalinya dan kalian yang beriman mengenalinya. Demikian kata Yang Maha Mulia lagi Maha Mengenal. Meskipun saya tahu, di Indonesia kalimat-kalimat ini gak dibuka, bahkan untuk sarjana sekalipun. Kalau sebenar-benarnya dibuka pasti banyak yang sudah fasih maksudnya.

Saya mengenal Jokowi pada saat bukan sebagai pendukungnya secara langsung. Meskipun saya tetap pendukung beratnya secara konstitusional. Sebab waktu beliau maju di Pilgub DKI Jakarta berduet dengan Ahok, saya kan lagi di kubu lain. Yang tentu bersifat lebih langsung, meskipun cuma aktif di beberapa kegiatan di tengah masyarakat.

Justru setelah dia jadi gubernur DKI Jakarta secara mengejutkan itu, saya mulai ngintip sebanyak mungkin informasi tentang dia. Sebanding dengan rasa ingin tahu soal Ahok. Jangan salah, Ahok sangat punya daya pikat untuk rasa ingin tahu itu, daripada tokoh-tokoh 'seposisi' lainnya.

Yang menarik ketika itu tentu saja formasi Jokowi-Ahok. Sebenarnya sama saja dengan calon lain dan gubernur-gubernur sebelumnya di DKI maupun di tempat lain. Tetapi di propinsi yang notabene mayoritas muslim, ternyata Ahok bisa digandeng oleh Jokowi untuk memimpin Jakarta. Kalau kita buat perumpamaan kala itu, Jokowi seperti juga kalau menggandeng Ahok di pemilihan bupati maupun dalam pilpres. Secara konstitusional itu menarik. Sangat menarik. Saya sendiri untuk kondisi seperti Jakarta, lebih cenderung kepada formasi muslim + muslim atau muslim + non-muslim untuk jadi gubernur dan wakil.gubernur. Tidak memaksakan diri cenderung pada formasi non-muslim + muslim. Termasuk untuk pencalonan presiden RI. Meskipun secara konstitusional sah-sah saja. Oleh karena itu hadirnya pasangan Jokowi-Ahok ketika itu seperti sebuah pengalaman. Untuk kabupaten/kota, untuk propinsi dan untuk Indonesia. Daripada gelap tanpa pernah mengalami apa-apa.

Bahkan ketika ada kelompok masyarakat yang mengaku menolak Ahok sebagai wakil gubernur, apalagi sebagai gubernur menggantikan posisi Jokowi, serta membuat aksi menetapkan gubernur versi mereka, maka saya bilang, Ahok sebagai gubernur itu ada di dalam suatu sistem yang sudah kita kenali. Sistem ini dirintis sejak sebelum kemerdekaan dengan melibatkan keterwakilan mayoritas muslim Indonesia. Sistem ini bersifat mengikat kepada siapa saja, termasuk Ahok. Sehingga Ahok tidak mungkin sembarangan, tidak liar, kecuali kalau mau dicap melawan hukum.

Begitupun sikap Jokowi menerima Ahok sebagai pasangannya, adalah bagian dari penahaman sistem yang ada. Yang kita pahami dan sepakati secara wajar dan ksatria. Sekali lagi, PAHAMI lalu SEPAKATI.

Untuk urusan agama, khususnya agama Islam di DKI, lembaga keagamaan di DKI yang juga punya garis struktur ke kementrian Agama Indonesia tetap bisa bekerja optimal dan maksimal selama Ahok gubernur. Buktinya sebelum memasuki masa pencalonan gubernur situasinya baik-bak saja. Islam DKI tetap terdepan. Masyarakat kondusif. Pembangunan mesjid di tengah masyarakat tidak menurun atau mandeg. Majlis taklim dan mimbar dakwah tetap aktif.

Sekedar pengingat kecil. Atau ini kalimat nyata. Saya pernah ikut lomba menulis di Lapangan Banteng. Sengaja saya kasih judul AHOK. Kalaupun gak jadi pemberitaan di koran dan TV, kan masih bisa saya angkat di media sosial. Dan ternyata saya menang. Maka lumayan jadi sensasi kecil. Ketika itu AHOK adalah singkatan dari, Aku 'Hapuskan' Orang-Orang Korupsi. Ya, sekadar pengingat kerja Ahok sebagai gubernur itu kan banyak, semua ini-itu mesti sukses. Tidak cuma ngurus umat Islam, yang itu juga wajib diurus melalui sistem yang ada secara sukses juga.

Alhamdulillah, saya fikir, Jokowi membuka wacana diskusi besar di situ.

Ketika Jokowi jadi presiden, entahlah, angin besar berhembus kencang. Dia disebut-sebut, kecina-cinaan, kekiri-kirian, keasing-asingan, kekristen-kristenan, bahkan juga kekomunis-komunisan. Padahal sebagai muslim yang presiden, termasuk yang presiden hati-hati dalam kepemimpinan yang belum genap 5 tahun, dia punya pembawaan yang biasa-biasa saja, malah kurang ndeso dikit. Saya curiga ada orang-orang dekatnya yang berusaha membuang 'ndeso'-nya. Kebijakannya juga normal, seperti layaknya presiden Indonesia yang layak, yang parameternya konstitusi.

Kalaupun dia dicurigai tidak bisa menonjol ciri khas muslimnya, karena setahu saya, gaya dia adalah gaya lurah dan camat. Gaya Pak RT. Bukan gaya Kyai Pesantren yang tukang ceramah agama. Lagipula gestur Kyai kan hanya satu bentuk pembawaan manusia di muka bumi. Tidak semua mesti mirip begitu. Saya pun yang doyan bongkar-bongkar tafsir Al-Qur'an, gaya bicara panggungnya gaya penyair yang penyiar. Jauh dari Zainudin MZ atau Aa Gym atau Rhoma Irama.

Jokowi adalah pemimpin ndeso yang tenang. Intelektual yang sabar. Ketegasannya ada pada kualitas kebijakan yang konstitusional. Ada pada struktur dan garis koordinasi yang bekerja keras. Bukan pada teriakan di mulut, telapak tangan, atau gerakan tangan yang selalu ingin menembak. Kecuali pada hal pelanggaran dan kejahatan-kejahatan. Itupun dikuatkan oleh dalil penegakan hukum yang adil. Bukan bikin-bikin, asal terdengar mampu menggertak.

Otomatis saya makin tertarik. Makin lama tokoh-tokoh agama yang sangsi pun makin dekat padanya, apalagi yang sejak awal memang sudah dekat. Ini terbaca secara terbuka oleh masyarakat awam. Tentu, tentu selain yang bersebrangan niat politiknya.

Tetapi meskipun ada pesaing politiknya jelang Pilpres 2019, Jokowi masih diuntungkan. Sangat diuntungkan. Mengapa? Karena calon-calon yang akan muncul sudah terbaca ini-itunya oleh masyarakat. Sehingga dengan sangat mudah mereka berpendapat, "Mendingan Jokowi lanjut lagi". Kalau versi saya, saya tambahi dengan dalil, "Konstitusi telah mewajibkan Jokowi memimpin dua periode, dengan syarat harus menang dalam Pilpres 2019".

Saya coba nyium dari jauh wangi relijiusitasnya. Ketangkap. Relijius itu kan kepribadian orang yang ngerti agama yang bikin suasana tenang dan bisa bikin pembangunan maju? Apa ada yang nolak kode ini?

Bahkan sebagai otokritik. Dalam pidato-pidato, Jokowi dan tokoh nasional siapapun yang muslim sebenarnya cukup mengucapkan salam nasional, Assalamu Alaikum sebagai muslim, dan salam sejahtera sebagai pemimpin nasional. Itu cukup. Begitupun gubernur Bali yang Hindu, misalnya. Cukup mengucap salam khasnya lalu dilanjutkan salam sejahtera.

Selanjutnya. Dari wangi-wanginya, meskipun ini tidak terlalu mengemuka. Kepemimpinan Presiden SBY, meskipun peletak batu reformasi yang lebih tenang pasca uporia dan macam-macam konflik, dia lebih kental tercium Soeharto-nya. Apalagi saat berduet dengan Jusuf Kalla. Sedangkan kepemimpinan Jokowi punya kekentalan Soekarno-nya. Sekali lagi, hal ini tidak terlalu kentara karena keduanya sesungguhnya presiden yang independen dalam periode yang baru pula. Oleh sebab itu 10 tahun untuk SBY dan 10 tahun untuk Jokowi sungguhlah tepat dan Insya Allah nyaman. Sebab sebelum kedua tokoh ini naik, adalah era yang kurang mapan, masih hiruk-pikuk awal reformasi. Yaitu era Habibie, era Gusdur dan era Megawati. Pendeknya, era Jokowi masih satu aura dengan masa SBY dari sudut pandang ini. Meskipun diwarnai beda gaya dan kebijakannya.

Karena hembusan pihak-pihak tertentu terasa tidak nyaman untuk NKRI, ditambah lagi adanya isu presiden Jokowi kurang nasionalis, ini justru semakin mendidihkan air di tungku. Atau menghangatkan air matang. Maka dengan sematang-matangnya Jokowi mesti teriak-teriak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Merah Putih, Nasionalisme, Nusantara, anti-PKI yang telah bubar itu, dll. Bahkan saya puas ketika dia memanfaatkan momen 312. Sejarah 312. Yaitu momen Stadiun Pakansari ketika dia menggelorakan nasionalisme dengan hadir di tengah lapangan yang merah oleh suporter Timnas. Padahal ketika itu cuma babak semi final leg pertama. Sesuatu yang kurang lazim. Karena biasanya presiden itu muncul di saat pembukaan atau di puncak final. Inilah yang membuat saya teriak, "Pas! Jokowi presiden bola Indonesia". Sebab sepakbola adalah Pancasila, merah putih dan nasionalisme.

Kalau ada yang bilang, itu kan momen stadiun baru Pakansari. Oke. Tapi siapa bisa menghapus momen bicara serius dan besar soal bhineka tunggal ika? Apa di kompetisi bola sebelumnya seramai kali itu?

Secara khusus di tulisan sebelum ini di cannadrama.blogspot.com, saya telah berusaha mengingatkan presiden, agar kesejahteraan kaum pria muslim terus ditingkatkan. Terhapus penganggurannya. Sebab pria muslim (yang mayoritas itu) yang berdaya dan sejahtera adalah bukti kemenangan kemerdekaan NKRI yang telah diperjuangkan oleh mayoritas muslim bersama para putra bangsa lainnya. Sebab kewajiban pria muslim adalah menjadi tulang pungung keluarga, selain tulang punggung negara. Tentu dengan tidak mengesampingkan kemampuan dan semangat bekerja kaum wanita.

Sebenarnya saya mau cerita banyak tentang Jokowi, sebagai ucapan Selamat Ulang Tahun. Tetapi untuk tulisan kali ini nampaknya cukuplah dulu.

Apa harus membaca dari sudut pandang, Nama Satrio Piningit? Insya Allah, ntar di antologi puisi saya dkk. Itu universal saja. Kum.

Saya tahu, banyak yang telah bercepat-cepat mengucapkan selamat ulang tahun Pak Presiden, melahirkan momen, menciptakan kesemarakan. Tetapi saya sangat menikmati keterlambatan pengucapan ini. Sebab artinya memperpanjang gaungnya. Sesuatu yang bermanfaat dalam gotong-royong membangun bangsa hari ini dan era ke depan. Tidak cuma sekadar rame-rame, apalagi kultus.

Hidup NKRI. Jayalah Indonesiaku dalam naungan cinta kasih Allah Swt. Amin.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG