INDONESIA SAYA

PUISI SERAK

sini, Nak
aku bacakan sajak
tapi maaf, suaraku lagi serak

Kemayoran 17 07 2018
#puisipendekindonesia

Kalau kampung-kampung sudah penuh sesak oleh penguasanya, baiklah saya pergi saja. Pergi ke Indonesia Saya. Suatu tempat yang tidak berpenguasa. Kecuali saya dan Allah. Siapa yang tertarik ke sini?

Bener itu Slank. Bicara Jakarta memang boleh berkata, tempatku (kita) bukan di sini. Otokritik namanya. Baik Jakarta dalam kapasitas ibu kota negara, atau sebuah kota saja. Sebab kalau Jakarta kumuh, siapa mau berkata, akulah pendamba, pencinta dan penghuni kekumuhan? Kalau di Jakarta ada ketidakadilan, siapa mau teriak-teriak, yang model begini rumahku? Maka orang-orang suci dan orang-orang baik mesti minggat, hijrah ke Jakarta Baru. Tapi mungkin sekaligus bernama Jakarta Asli.

Di Indonesia Saya, hanya Allah saja penguasa tunggalnya. Pemelihara tanah dan air siang malam. Penjaga nyawa-nyawa dan hargadiri. Dia maha adil dan bijaksana. Menguasai segenap ilmu yang sanggup memahami apapun dengan penciptaan kedamaian dan kesejahteraan manusia. Lahir batin. Dunia akhirat. Hari ini dan nanti.

KTP terakhir saya sudah diambil angin. Diterbangkan ke selokan di bawah beton-beton, terbawa air. Saat itu saya sedang menarik surat penting yang sedang diurus. Angin di situ seperti bilang, "Pergilah! Pergi ke mana kau bilang?"

Saya jawab, "Ke Indonesia Saya".

Dia pun menyahut, " Ya ke situ. Tapi aku ikut".

Kalau kerajaan-kerajaan senibudaya sudah dihuni para raja dan para penjaganya yang kuat, baiklah saya kabur. Sebab dituding bukan penjaga yang sesungguhnya.

Sekuat tenaga saya pergi ke Indonesia Saya. Sebab kadang dalih berkuasa untuk menyelamatkan senibudaya, memang mudah berbalik menjadi penguasaan kesenian atas maunya sendiri.

Di Indonesia Saya yang luas, banyak sekali kampung-kampungnya. Ada yang bernama Kemayoran, Bandung, Sukabumi, Purwakarta, Indramayu, Semarang, Kendal, Banyumas, Surabaya, Banyuwangi, dll. Ada pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll. Di situ udaranya enak. Sejuk dan hangat. Tak ada penguasanya. Kecuali Allah. Maka saya senang berjalan-jalan sendirian. Sebentar mengangguk kepada air kali dan pepohonan. Sebentar duduk di atas bangku taman atau masuk warung bikin kopi. Dilayani sendiri. Meskipun saya dengar suara hati saya, "Kopi hari ini, Bang?" Dan nyatanya saya terangsang mulia oleh suara dan tubuh wanita itu dan mengangguk.

Saya merdeka di sini. Air mata boleh mengalir sampai laut. Seperti menggambar Bengawan Solo atau Citarum baru. Pasti para penguasa itu sudah lama tidak percaya. Karena kalimatnya, "Bagaimana bisa preman menangis?"

Merekalah yang pernah memaki saya supaya pergi transmigrasi. Transmigrasi ke ahirat. Karena di sini bakal melarat.

Di dalam jiwa raja bijaksana. Pada presiden yang menyelamatkan dan menyejahterakan rakyat. sultan terpercaya. Saya merasakan keberadaan saya pada dirinya yang sedang bekerja di Indonesia Saya. Mungkin ini tempatmu juga, para pelarian. Para pengungsi ke tempat sejati. Sampai ada yang seperti saya, pernah tidak punya sendal untuk menempuh perjalanan jauh. Tentu membuat para penguasa itu berteriak, "Miskinlah kau! Tobatlah!"

Sementara sebagian masuk ke kalimat sensitif. "Hai, naik onta dan tanam korma kau!" Suatu sindiran yang pedas supaya saya tidak menikmati segala karunia di sini. Sampai saya berfikir, apa pohon korma pada mereka tidak bisa menjadi semisal sekadar idiom dalam puisi? Ah, tapi itu terlalu jauh. Malah saya yang tiba-tiba ingin ketemu Isa, mau bicara, katanya sama-sama lahir Selasa dengan lambang api, tidak jauh dari pohon korma. Saya mau bicara itu sambil menikmati bukitnya.

Di Indonesia Saya buku-buku jelas dibaca. Dicerna. Bermanfaat isinya. Sebagian dilemparkan ke pembakaran karena tidak berguna. Atau disimpan beberapa sekedar bukti, kejahatan huruf-huruf itu nyata. Puisi-puisi tegak berdiri seperti tonggak Petugas Jaga di setiap penjuru, atau seperti melati yang bersaksi, menulis di seluas taman hati. Juga seperi nyanyian seluruh lembah, dan nyanyian seluruh perjalanan antar kota.

Di Indonesia Saya yang namanya kerja itu amanah suci untuk harga diri. Bahkan tempat pengajian harian. Bukan untuk mengangkangi kemanusiasn dengan keserakahan.

Itulah alasannya mengapa saya pergi dari seluruh kampung. Menggenapi kalimat Koesplus, Kembali Ke Jakarta. Dengan KTP yang sudah diambil angin.

Maka kalau kaki saya menginjak tanah Kemayoran, Curug Sewu atau tanah Jampang, saya selalu merasa di dalam Indonesia Saya. Negri yang rahmatan lil alamin. Kaya raya. Penuh pesona. Sebab saya di dalam saya.

Di Indonesia Saya, burung Garuda tidak kudisan. Pancasila dan kalimat Bhineka Tunggal Ika menghampar di seluas lapangan bola, jadi tontonan, jadi kajian, dielu-elukan bersama. Jadi sikap hidup berkemanusiaan, berketuhanan.

Ke sinilah rupanya para pengabdi itu berlindung setelah melarikan diri dari kampung-kampung dan dari sergapan penguasa besar yang berusaha mengalahkan Tuhan. Bahkan dari sebuah pohon di sini, saya bisa membaca tulisan daun tentang siapa-siapa mereka? Dengan sedikit mengetuk tiang listrik atau tembok jembatan seperti petugas ronda, bisa dinikmati sakit hati mereka, sampai kita kolaps, kehabisan apa-apa, kecuali airmata.

Menemui diri sendiri menemui tanah air tercinta di sini.

Ibu kota di kepala. Sangsaka menyembul ke angkasa. Kekuasaan dikendalikan panca indra. Hati nurani presidennya. Ini sungguh-sungguh negara anti penjajahan dengan supremasi perang kemerdekaan. Maju tak gentar hingga hari ini, menyelamatkan lahir batin anak manusia. Anak pertama. Anak yatim kekasih bunda. Anak idul adha. Anak mesjid. Anak yang dilarung ke sungai dipungut oleh tangan Dewa. Kelak membelahdiri, menjadi seluruh tubuh yang rebah dan berserah. Menyembah.

Ah, tak perlulah kau sungkan memaksakan diri datang begitu ke tempatku. Yang terlihat jelas tulisannya, Indonesia Saya. Sebab tempatku adalah juga tempatmu. Maka langsung masuk dan duduklah sebagai diri sendiri di tempat sendiri.  Langsung saja tarik laci meja, ambil komik atau antologi cerpen, lalu baca sambil ongkang-ongkang kaki. Itu bacaan kacang goreng yang murah, tapi sering dicuri orang, termasuk penguasa sana. Padahal bumbu-bumbu moralitas sangat cair di situ.

Atau lekas putar lagu apa saja yang sejiwa. Boleh dengar sambil jungkir balik di meja. Suka-suka. Sebab segembira-gembiranya kamu, tetap saja seperti saya, terlihat nestapa. Tak apa. Jangan hina. Bahkan Rosul meninggal sambil bertanya dalam wajah duka, "Apakah akan ada yang menjaga kaum duafa dan anak-anak yatim?". Dan ini selalu membuat laki-laki berdiri. Tetapi malah sering dikebiri kejantanannya oleh saudaranya sebangsa yang merasa punya kuasa.

Waktu kamu datang, mungkin aku lagi memasak nasi. Dan kau tak perlu tersiksa menunggu santapan hari-hari, karena hanya dengan mengetukkan pulpen di meja, pesananmu sudah kaudatangkan sendiri. Siapa sih aku bagi sebuah pelayanan yang sempurna?

Kita dulu kan pernah cerita juga soal bidadari-bidadari halal yang rambutnya lebar terurai, bersanggul, ada yang berkerudung, dan bahkan setengah telanjang. Menawarkan hidangan langit tanpa basa-basi memenuhi maumu. Ya, bidadari yang tidak mau zina, selingkuh dan berdosa itu.

Tapi hal yang selalu menentramkan. Di sini saya dipanggil ada. Disambut matahari, pohon, desau angin, kibaran merah putih, nyanyian burung dan suara kaki berlari saya yang banyak. Puluhan, ratusan, puluhan ribu, berjuta-juta.

Tentu. Dipanggil untuk bekerja atas nama cinta. Sebab hanya dengan itu Allah tidak akan membangun kekuasaan baru yang lain.

Dan hasilnya, parutan luka seperti tercecer di sepanjang perjalanan hidup. Tempat para pecundang menemukan mainan dan tempat olok-oloknya. Dalam bahasa besar biasa disebut, menginspirasi lahirnya kalimat-kalimat politik. Garis strategis kekuasaan.

Kadang saya betfikir jahat, apa artinya tangan bidadari menyusut darah pada tangan, kaki dan wajah yang luka, kalau kehadirannya kepedihan baru. Menjadi marah airmata. Mendidihkan darah, bahkan yang sudah disusut oleh kain dan kapas-kapas itu.

Tetapi lagi-lagi, Indonesia Saya menjadi tubuh saya yang luas. Selalu tempat pulang, ketika itu lebih mesra daripada tempat datang.

Suatu hari saya menelpon saya, "Halo, selamat pagi?" Maka gemuruh suaranya. Seperti semua telpon menjawab, "Selamat pagi'. Saya yakin setelah kalimat Selamat Pagi yang menyelamatkan itu banyak yang akan mengerti kesunyian-kesunyian di tempat keramaian. Yang bisa menghingarkan musik, atau membuatnya senyap. Yang memperlihatkan 'puisi-puisi' pada kerja petani, buruh dan pedagang.

Di sini, di Indonesia Saya, frekuensi dan antena radio bisa saya tarik turun. Saya bisiki Kitab Suci. Sehingga waktu Indonesia Raya atau Rayuan Pulau Kelapa terdengar pada suatu waktu tertentu, di situ malaikat termangu. 

Malaikat itu juga yang setia menemani seorang ayah mengajari lelaki balitanya menendang bola dengan memakai kaos bergambar Cristiano Ronaldo. Meskipun malaikat itu tahu, ayahnya tidak akan pernah memaksa anaknya masuk klub sepakbola atau Tim Nasional. Sebab baginya itu cuma olahraga dan senang-senang.

Dan hidup melulu tamasya. Wisata Sastra. Tempat suka dan duka diadabkan. Malamnya malam panjang. Malam Puisi tak berkesudahan. Menari siang, menari malam. Dalam cahaya. Menggambar tanda tangan.

Lalu sering saya parau menyanyi, "Kuingin tamasya bersama .... Jauh jauh jauh. Melihat pemandangan alam ..... Indah indah indah". Kadang seperti seorang aktor besar, yang tampil di selebar kaca bis antar kota, antar propinsi. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG