ISLAM MISKIN?

TEMPAT YANG BASAH

pada daun-daun terakhir 
yang sebagian kering dan gugur 
Tuhan menitipkan kalimatnya,
"Tempat yang basah untuk cinta".

Kemayoran, 18 07 2018
#puisipendekindonesia

Ditulis malam Jumat. Waduh! Seharusnya yang nulis begini ini jangan saya. Mestinya orang kaya, bahkan yang kekayaannya sampai 77 turunan. Sebab apa? Saya kan cuma kelas karyawan biasa, kelas buruh, yang kalau ketemu guru SD saya suka tersipu malu, apalagi profesor doktor di perguruan tinggi, haha ---sebenarnya gak begitu juga. Setidaknya mereka kan dihormati masyarakat, punya nama besar untuk negara, sementara yang namanya buruh kan dari dulu identik dengan kuli. Di kantor sekalipun nginepnya.

Lagipula kalau yang nulis orang kaya, dia bisa memberi paradigma miskin dengan mengabaikan kekayaannya. Apalagi kalau mereka pernah miskn. Tapi kalau orang miskin sering dicurigai tidak bisa meninggalkan realitas miskinnya untuk berparadigma kaya. Ujung-ujungnya malah dicibiri dengan kalimat, "Ngayal!" Atau, "Teori!"

Pernah dengar ada orang miskin bilang gini, "Kalau ibu atau tuan mau kaya, ini doanya". Lalu tuan dan nyonya yang kelas ekonominya lebih tinggi tetapi ngerasa belum kaya itu ketawa terkekeh-kekeh hingga ngakak terbahak-bahak 70 tahun. Sambil dalam hati berkata, "Sudahlah, Pak. Doa itu untuk bapak saja, biar kaya. Biar gak hidup susah seperti itu". Dan ajaib, akhirnya kondisi ekonomi tuan dan nyonya itu terus semakin buruk, bahkan sampai berbalik menyebut, "Orang miskin yang dulu ngasih doa itu lebih beruntung hidupnya dari kita".

Sebentar. Izinkan saya tersenyum bersyukur dulu. Tentu senyum yang dipahami Nabi. Senyum orang-orang miskin.

Orang Islam itu senang wewangian. Kalau perlu wewangian terbaik. Tetapi pasti nyari termurah. Kalau perlu mereknya sama persis dengan milik orang gedean, tapi belinya cukup di toko pinggir jalan yang harganya miring. Yang penting bukan barang tipuan. Tetap orisinil.

Orang Islam itu senang berpenampilan rapih atau menarik. Sebab rapih dan menarik tidak mendatangkan imej buruk atau melecehkan orang di depan kita. Justru menghiburnya. Ya, sebab tidak cuma dengan senyum dan tutur kata kita bisa menghibur, juga dengan penampilan. Tetapi biasanya dicarikan pakaian yang paling bagus tetapi paling murah. Soal model dan bentuk itu hanya kebutuhan ruang dan waktu. Itu berubah terus setiap waktu. Kalau sudah bosan bisa balik lagi ke model lama, lalu nanti balik lagi, terus saja begitu.

Sampai ada lelucon di kalangan tukang jahit. Seseorang bertanya, "Kok kamu beli pakaiannya di tempat yang harganya murah sih?" Atau dengan kalimat, "Kok milih yang gak punya merk sih meskipun bahanmu lumayan?" Kedua pertanyaan itu dijawab dengan kalimat sama, kurang lebihnya begini, "Tapi kan saya punya tujuh yang model begini. Yang sebahan dengan ini tapi beda model juga ada, atau beda warna. Anak dan istri saya pun punya cara memilih pakaian yang sama". Dia tidak mau disebut salah. Hanya ingin memastikan, satu baju mahal pada orang kaya bisa jadi tujuh baju bagi keluarganya. Dan itu lebih dari cukup.

Tapi tidak sedikit juga orang Islam yang sampai ke titik batas menyederhanakan bentuk. Serba praktis. Murah. Tidak terkesan menyolok apalagi mewah, alias yang penting nyaman untuk standar selera umum. Pakai gaun takwa dan jilbab terusan misalnya. Itu sebenarnya, dari cara pakai tidak jauh beda dengan laki-laki pakai kaos oblong sama ibu-ibu pakai daster. Serba gampang, sederhana, gak pakai ribet.

Mungkin saya termasuk yang 'berkelainan'. Sebab saya sering bilang, wanita pakai daster atau jilbab sederhana itu juga bisa sangat-sangat seksi. Disukai suami dan malaikat. Nyenengin warga sekampung. Karena menarik itu tidak selalu harus mewah.

Istilah Bunga Desa di kampung Jawa, juga tidak ditujukan kepada penampilan mewah dan anak Raja Kampung. Cuma ditujukan kepada gadis cantik yang beranjak dewasa, yang solehah dan selalu menarik, meskipun sederhana. Banyak yang mau. Ini bisa direnungkan.

Istilah kampung, Lanang Sejagad (lanange jagad) pun sesungguhnya bahkan tidak ditujukan kepada yang kaya. Tetapi kepada laki-laki menarik yang wibawa, berilmu, tidak selalu ganteng ---karena itu relatif---, bisa bawa diri, mandiri, dan amanah atau bertanggungjawab. Sikap amanahnya inilah yang kelak bisa membawanya ketemu judul 'dipercaya orang' atau menemukan takdir suksesnya. Berpeluang kaya raya.

Lelaki Islam yang mempesona tidak bisa dipastikan karena memakai kemeja rapih terus atau selalu sarungan terus. Tidak begitu. Tetapi kalau menarik meskipun sederhana, bagaimanapun wujud visualsasinya, itu ya! Memang harus demikian.

Saya merenung. Sesungguhnya, ajaran Islam itu justru menyederhanakan penampilan, yang penting menarik. Karena menarik itu menghibur. Menghibur itu menyenangkan hati siapapun yang melihat, terlebih-lebih teman bicara kita. Di manapun. Kapanpun. Gak penting kelihatan kaya meskipun seseorang itu memang kaya. Biasa saja. Pendeknya, dari prinsip glamoritas, Islam itu miskin. Setidaknya masabodoh kalau disebut miskin. Yang penting aman dan tentram.

Berkendaraan pun, baik kendaraan umum atau kendaraan pribadi, baik roda dua atau roda empat, prinsip dasarnya yang penting tentram hati dan bisa mengantarkan sampai tujuan dengan nyaman. Itu ijabah keselamatan namanya. Tidak neko-neko, kecuali dalam hal kreatifitas. Karena kreatifitas itu rasa seni yang tidak bisa ditolak. Naluriah sekali.

Tentu beda kalau Islam sudah berfikir tentang kendaraan tempur, kendaraan presiden dan para mentri, pejabat penting, dst. Mereka adalah orang-orang amanah yang mewakili rakyat banyak. Yang tugasnya mengurus masyarakat.  Harus terkawal, terjaga, dan terlindungi hidupnya dari kemungkinan orang-orang jahat yang ingin merusak tatanan sosial atau tatanan berbangsa bernegara. Islam tidak mungkin menyebut, seorang raja mestinya naik motor yang murah saja, atau mobil murah yang seken saja. Supaya terlihat soleh. Itu malah salah.

Presiden pakai kendaraan bagus bukan karena ingin terlihat mewah, tetapi semata kebutuhan kenyamanan dan keamanan. Selain itu harus menunjukkan tingkat kesejahteraan bangsa dan negara yang normal. Itu supremasi negara.

Dalam hal makan, Islam pun sederhana saja. Tidak jauh beda dengan prinsip empat sehat lima sempurna itu. Padahal kesederhanaan model begitu cerdas dan mewah. Seperti kaya yang diam. Belum lagi dilengkapi dengan pesan hikmah, jangan berpuas diri dengan banyak makan daging. Jangan makan haram. Jangan makan nyawa, kecuali daging binatang yang telah dikembalikan kepada Allah hidupnya. Jangan lupa bismillah-nya. Dst. Sempurna. 

Melihat pelajaran puasa Romadon, puasa-puasa sunah, inti berpakaian yang sesuai dengan prinsip Islam, solidaritas sosial dengan memahami wajib zakat dll, kita akan menemui keadaan kunci. Yaitu suatu kondisi masyarakat Islam yang sejahtera dan saling peduli. Sejahtera yang nampak sederhana itu. Tidak bermewah-mewah itu. Yang di balik itu, ternyata lebih menjamin banyak menyimpan energi 'kekayaan dan kekuasaan' untuk suatu kepentingan lain, apapun, jika Allah memintanya. Sebab 'ala-ala glamoritas' ternyata menumpulkan taji dan daya tahan masyarakat. Pada figur populer tertentu juga hanya ramai di pemberitaan sesaat saja. Tidak menjanjikan umur panjang. Meskipun di dunia gagap, glamoritas sesaat pada figur-figur tertentu, justru bisa jadi pemikat untuk terpilih jadi anggota legislatif atau kepala daerah. Ini lucu atau rancu? Sampai-sampai mereka pingin lebih glamor lagi setelah terpilih. Sampai korupsi segala macam.

Aneh memang. Kalau satu dua mobil sudah cukup, biarpun bukan mobil mewah, mengapa mereka selalu memaksakan diri harus punya tiga empat mobil mewah dari korupsi? Benar-benar jauh dari Islami. Mungkin karena sejak kecil sudah terbiasa memakai pakaian bermerek yang mahal, yang selalu dibangga-banggakan di depan teman-teman sekampungnya yang sederhana. Bahkan sedekah dan hadiah-hadiah ulang tahunnya untuk teman-temannya pun untuk menyibiri, "Kalian siapa?"

Hmm. Jadi muslim itu enak. Selalu siap disebut miskin meskipun tidak miskin. Biasa-biasa saja. Ibarat kereta, tetap sukses melaju nyaman di atas rel sampai ke akhiratnya.

Wangi parfumnya bahkan tercium oleh lautan padi di desa-desa itu. Senyum malamnya bulan terang. Senyum siangnya matahari yang menyenangkan. Bahkan lapar dan miskinnya orang Islam yang sesungguhmya lapar dan miskin, dia tetap tiang yang kokoh hari ini dan bagi generasi penebus di masa depan. Ketokohannya di dalam rumah tetaplah di kursi ulama.

Maka Islam punya dua kekayaan, potensi besar hari ini dan masa depan, yang lebih dasyat daripada bom ledakannya dilihat dari sudut pandang kemiskinan ini. Pertama, potensi orang kayanya yang selalu tampil sederhana dan ihlas disebut miskin. Sebab ia memperhitungkan kekuatan Islam yang lebih besar. Kecuali pada diri Nabi Sulaiman yang seperti terpaksa disebut-sebut kekayaannya, yang terkesan sebagai perlambang, jangan sampai ada umat Islam yang gagal paham. Malah senang melarat. Kedua, potensi orang miskin yang sanggup mencetak generasi tangguh dan generasi kaya masa depan. Pada mereka inilah suka kita dengar kalimatnya, "Kalau tuan dan nyonya pingin kaya, pakailah doa ini". Dia tentu disangka penipu besar. Padahal doa itu juga yang ia berikan kepada anak cucunya.

Maka sungguh, pesan terbaik bagi pemerintahan, penguasa yang terinspirasi oleh Islam, segera hapuskan kemiskinsn dari orang miskin yang soleh itu, sebab mereka sedang berjuang untuk segala kekuatan yang besar. Jangan rugi ketika itu bukan garis keturunan kalian atau bukan garis partai politik kalian.

Sesungguhnya orang-orang miskin yang soleh itu adalah tubuh kita. Dan zakat fitrah itu pada awalnya adalah bahasa kepada setiap pribadi yang amanah kepada dirinya sendiri. Jangan sampai kita miskin dan tidak bisa menenuhi kebutuhan makan kita sehari-hari. Karena itulah maka kita wajib memberinya nafkah harian. Sebab kalau orang soleh lapar, maka yang lapar adalah Allah semata. Setelah lepas dari memahami diri sendiri melalui paham zakat fitrah itulah, maka kemudian kita bisa merasakan kenestapaan fakir miskin di sekirar kita, sehingga turunlah zakat fitrah dan segala sedekah kita kepada mereka yang hakekatnya tubuh dan perut kita sendiri. Inilah ketahanan sosial Islam! Dengan keberuntungan adanya tokoh-tokoh hebat di setiap penjuru angin, dan adanya jaringan mesjid di setiap titik peta, yang jika ditarik garis-garisnya menjadi seperti jala spiderman (jaring laba-laba) penyelamat.

Terakhir saya mau bersaksi tentang beberapa ciri sikap tidak Islami yang menunjukkan kemiskinan yang tidak teruji.

Pertama, orang yang malas-malasan kerja dengan alasan upahnya kecil, tidak mungkin bisa membuatnya sejahtera apalagi kaya, padahal dia sudah ikrar janji atau teken kontrak siap melaksanakan suatu tugas sesuai dengan perjanjiannya itu dengan upah yang telah disepakati. Bahayanya orang yang tidak bersyukur ini, jika Allah mengujinya dengan kesepakatan kerja yang gajinya lebih kecil lagi. Orang seperti ini jelas merugikan anak, istri, famili dan Islam.

Ke dua, orang yang cuma menunggu-nunggu peluang baik, sampai kacau hidupnya, tanpa eksekusi segera atas peluang yang ada. Apalagi sampai menyusahkan orang tua dan saudara-saudaranya. Padahal suatu keadaan bisa menjadi batu loncatan bagi keadaan yang lebih baik berikutnya. Alasan dia bersikap begitu, karena ada pandangan buruk di masyarakat yang suka merendahkan suatu keadaan tertentu. Tentu suatu kondisi yang tidak Islami juga. Buruknya orang seperti ini, ketika Allah menyebutnya, "Dia telah meminta keadaan yang lebih buruk lagi".

Ke tiga, orang yang suka mencuri, merampas dan korupsi. Tidak bersyukur dengan peluang baik yang ada, dengan upah atau penghasilan normalnya. Apalagi korupsinya itu cuma untuk menunjukkan ia orang sejahtera, apalagi pingin disebut kaya. Itu jelas-jelas dekadensi moral. Menunjukkan tingkat kemelaratan yang akut. Maka lihatlah para anggota legislatif dan kepala daerah serta mentri yang korupsi itu, mereka adalah orang-orang yang kelewat miskin, yang berfikir untuk memiskinkan generasi bangsa. Bagaimana kalau Allah betkata, "Bahkan barang-barang di sorga akan menjatuhkanmu menjadi lebih miskin dan terhina lagi. Kecuali setelah sebenar-benarnya tobat".

Ke empat. Kemiskinan yang nyata dan hina itu adalah mereka yang membuang harta Allah, harta Islam,  ke tempat jahat dan maksiat. Bahkan secara logika saja umat Islam akan kompak berseru, "Seluruh hartamu sampai habisnya, bukan milik Islam. Karena kau telah menjualnya kepada syetan laknatullah. Maka kau adalah orang termiskin di tengah kami, tak punya apa-apa, tak bisa berzakat dan bersedekah, dan yang paling hina". Sampai Allah pun akan menjelaskan, "Bahkan kalau ada seorang muslim tertolong akibat pemberianmu, ingatlah, jangan angkuh dan sombong, dia tertolong karena Aku atas segala kebaikannya. Dan kamu tetap di dalam hisabku!"

Bahkan mungkin kita pernah mendengar kabar dari dunia kriminal. Ada seseorang telah dijahili oleh preman. Lalu sebagai ijabah doa, ternyata beberapa waktu kemudian si preman itu disiksa oleh para preman yang lain karena terlibat suatu percekcokan. Itu atas kuasa Allah. Tetapi para penyiksa itupun sedang dalam proses hukuman Allah. Tidak tiba-tiba dimuliakan karena telah menimpakan siksa kepada si preman yang menjahili orang soleh itu.

Ke lima, kemiskinan yang tidak teruji justru menyergap orang yang suka menguji-nguji orang miskin. Dia merasa terpuji ketika dengan kekayaannya merasa mampu menyelamatkan orang-orang miskin. Maka datanglah dia kepada Si Fulan. Menurut teorinya dia atau utusannya akan berpura-pura miskin dan dalam cobaan hidup yang sangat berat. Kalau perlu disorot kamera pula. Nah kalau Si Fulan sudi menolongnya meskipun tidak seberapa, berarti dia orang soleh yang pantas ditolong. Tetapi apa hasilnya? Si Fulan itu menjawab, "Maaf Pak, saya tidak bisa menolong samasekali, untuk makan hari ini saja pas-pasan. Kecuali kalau Bapak datang pada saat yang tepat menurut Allah". Demi mendengar itu, tidak jadilah ia menolong Si Fulan yang miskin itu. Maka sesungguhnya telah jatuh miskinlah derajat orang itu karena suka menguji-nguji. Bukan melihat fakta kemiskinan seseorang. Bukan merasakan kemiskinan seseorang dengan meninggalkan pura-pura miskinnya. Pertolongannya cuma seperti tebak-tebakan kuis. Apalagi di dalam kamera yang bisa diputar berulang-ulang, kemiskinan seseorang menjadi komoditi jual nama baik, sementara si miskin jadi bahan omongan. Sampai malaikat Allah berkata, ”Bagaimana jika waktu membalik keadaan itu?"

Ya. Tentu beda dengan program televisi bersponsor. Ketika seseorang memang diketahui miskin. Lalu dikabari akan mendapatkan bantuan minimal sekian. Lalu dengan siap tampil di suatu acara kuis atau tantangan tertentu ia punya peluang untuk dapat bantuan sekian sekian sekian. Setidaknya si peserta sudah tahu dan terhibur hatinya karena bakal dapat bantuan minimal, dan tidak perlu kecewa jika tidak mendapatkan tambahannya. Sebab itu cuma permainan. Dan secara psikologis diapun memang sudah menyatakan siap untuk mengikuti acara itu.

Itulah lima poin yang kita anggap penting. Untuk yang lain-lain, semoga bisa mempertemukan kita pada tulisan yang lain. Kebenaran tentu hanya milik Allah. Subhanallah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG