#JalanLurusJalanTerus

AIRMATA MENGALIR SAMPAI JAUH DITABURI BUNGA-BUNGA

di atas daun dan di atas angin
namamu air yang mengalir
kejernihan airmata abadi
yang ditaburi bunga-bunga

Kemayoran, 31 07 2018
#puisipendekindonesia 
------

Masalahnya Presiden dan wakil presiden itu cuma satu. Yang lain tidak bisa menempati posisi sebagai presiden dan wakil presiden kedua. Maka yang lain harus diberi kebebasan dan dibukakan jalan untuk mengambil posisi lain. Sebab presiden butuh dukungan mereka ini. Butuh 'memimpin bersama' juga. Seperti dalam perumpamaan, seorang Ketua Pendaki pun bisa bertindak sebagai 'presiden' yang tengah memimpin misi pendakian. Seorang 'presiden' juga tengah memimpin Kelompok Remaja Mesjd. Sedang jadi wasit bola.  Begitupun seorang pribadi soleh yang bersimpuh sendirian di atas sajadah, bisa bertindak sebagai 'presiden yang dimuliakan Allah' yang tengah memimpin 'manusia' dan 'kemanusiaannya'. Bahkan ada 'presiden' pada penyair yang sedang mengarahkan mata panah kata-katanya, termasuk berbalik ketika presidennya ngaco, yang sesungguhnya sedang menyebut 'kesemestian seorang presiden'. Tetapi sayang memang, tiap-tiap posisi apapun cuma terbatas daya tampungnya. 

Masalahnya Mentri itu cuma satu-satu di tiap lembaga kementrian. Yang lain tidak bisa menempati itu kedua. Maka yang lain harus diberi kebebasan dan dibukakan jalan untuk mengambil posisi lain. Sebab para mentri butuh dukungan mereka ini. Butuh 'memimpin bersama' juga. Tetapi sayang tiap-tiap posisi cuma terbatas daya tampungnya.

Masalahnya gubernur dan wakil gubernur itu cuma satu. Yang lain tidak bisa menempati pososi gubernur dan wakil gubernur kedua di satu daerah. Maka yang lain harus diberi kebebasan dan dibukakan jalan untuk mengambil posisi lain. Sebab gubernur dan wakil gubernur butuh dukungan mereka ini. Butuh 'memimpin bersama' juga. Tetapi sayang tiap-tiap posisi cuma terbatas daya tampungnya.

Masalahnya bupati/walikot dan wakil bupati/walikota itu cuma satu. Yang lain tidak bisa menempati pososi bupati/ walikota dan wakil bupati/walikora kedua di satu kabupaten/kota. Maka yang lain harus diberi kebebasan dan dibukakan jalan untuk mengambil posisi lain. Sebab bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota juga butuh dukungan kerja dari mereka ini. Butuh 'memimpin bersama' juga. Tetapi sayang tiap-tiap posisi cuma terbatas daya tampungnya.

Berilah semua orang posisi dan jalan untuk menuju ke arahnya, itu kesejahteraan namanya. Baik berupa posisi tanggungjawab atas bangsa dan negaranya di tempat masing-masing, maupun haknya untuk mencari nafkah agar menjadi generasi bangsa yang maju dan menyejahterakan keluarganya.

Tetapi semua itu hanya akan berjalan lancar jika yang terpilih adalah presiden dan wakil presiden, para mentri, pemimpin lembaga-lembaga tertentu, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati yang amanah, mampu bekerja optimal, dan percontohan. Jika tidak, mustahil itu terwujud.

Keterpilihan tokoh-tokoh baik, dari mulai orang nomor satu di negri ini, hingga orang-orang utama di setiap struktur kepemimpinan di bawahnya, juga di lembaga-lembaga negara lain, harus dimulai dengan prosedur memilh tokoh yang benar. Berarti harus ada sistem, mekanisne, yang mengatur itu secara sempurna.

Jika semua tokoh utama adalah orang-orang yang tepat, yang terawasi proses kerjanya secara tepat pula, maka tidak mustahil segala upaya menjadi mudah terwujud dengan tepat sasaran. Setiap warga bangsa ini akan menempati posisinya nasing-masing, bertanggungjawab dari posisinya masing-masing ---termasuk untuk kepentingan masyarakatnya/komunitasnya, serta dapat memenuhi hajat hidup keluarganya hingga mencapai kehidupan yang sejahtera lahir batin, selamat dunia akhirat.

Maka dari kacamata kekuasaan, setiap pribadi putra bangsa terbaik harus berkuasa atas potensi, ruang ekspresi, dan titik-titik yang ditempatinya, untuk sebaik-baiknya memberikan prestasi mulia ---baik secara pribadi maupun membawa kelompoknya---- kepada bangsa dan negara. Yang hakekatnya untuk Allah SWT.

Berkaitan dengan kesukacitaan dan 'kepuasan' yang normal dan mulia, ketika banyak simpul-simpul yang terpaksa seperti tertutup, terkunci rapat, karena tidak memungkinkan menampung seluruh peminatnya yang layak, bahkan yang sesungguhnya lebih layak, maka atas nama alternatif titik-titik yang dipilih atas dasar kesukacitaan dan peluang kepuasan tersebut, maka harus diberikan proporsionalitas perhatiannya. Biar anak-anak bangsa ini mampu bersyukur dan berbahagia di jalan yang lurus.

Jangan sekali-kali menipu anak bangsa ini dengan 'racun' yang memikat, melenakan dan mematikan. Tidak menjanjikan apa-apa. Kecuali cuma mengajak bergumul dan menikmati kepalsuan melalui propaganda pembangunan yang hebat. Bahkan untuk semua harapan ke depan, cuma bisa diparkir di andai-andai.

Jadikan negri ini serba-anti, sebab kebangkitan nasional itu juga serba anti. Anti maksiat, anti jahat, anti perusakan, anti pemiskinan, anti pembodohan, anti apapun. Seperti halnya senibudaya pun memakai prinsip halal, prinsip anti-haram. Asal tidak anti kebenaran dan kemuliaan. Yang artinya, tidak anti pada pilihan jalan mulia yang berbeda-beda. Berbhineka tunggal ika. Sehingga jangan sampai ada pihak yang berani-berani menggodok undang-undang atau aturan-aturan yang mengikat seluruh anak bangsa, atas tafsir pribadi atau kelompoknya yang mematikan jalan lurus yang beragam itu. Yang hakekatnya, yang beragam itu cuma satu jalan saja di hadapan Allah YME.

Sesungguhnya setiap tempat adalah tempat mulia. Kecuali jika dihitamkan. Sesungguhnya seluruh pekerjaan adalah pekerjaan mulia. Kecuali yang digelapkan. Sesungguhnya segenap tanggungjawab adalah tangungjawab mulia. Kecuali yang dibelokkan. Sesungguhnya seluruh hak adalah hak mulia. Kecuali yang menjemput kematian-kematian hati nurani yang mengerikan. 

Terang itu tidak gelap. Bahkan orang yang berjalan di tempat gelap dengan hati dan fikiran yang terang, ia selalu dapat melihat dengan cahaya ilmunya. Berkesadaran dan berkesaksian. Segenap hidupnya adalah hikmah mulia. Mencerahkan dan selalu membuka jalan. Maka ayo kita teriak, "Pendidikan itu harus cahaya keselamatan yang menyelamatkan!"  Tentu, tentu yang namanya pendidikan bukan cuma di institusi formal dan non formal saja. Yang sering kita sedihkan karena kacau itu. Harus juga banyak 'guru' di setiap belokan jalan, di bukit hijau, di lembah, dan di bawah temaram lampu kota, serta di daerah-daerah gelap. Kita juga rindu menyebut, harus ada guru yang semedi di dalam embun.

Ayo kita maju bersama. Berfikir, berbicara dan bekerja bersama. Di satu, dua, tiga atau di berapa tempatpun yang bisa kita pijak. Di sedikit atau di banyak tempat yang bisa kita beri pengaruh kebaikan. Di tempat yang membuat kita disukai oleh seorang anak kecil, dicatat oleh satu-dua orang, bahkan selalu dirindukan oleh seekor hewan peliharaan yang setia, atau di tempat yang membuat kita dikenali seluruh warga bangsa.

Sampai-sampai saya merasa perlu bilang untuk kondisi di Indonesia. Ini khas. Yaitu, meskipun seperti biasa terjadi, satu kubu koalisi bakal menang Pilpres, Pilgub, atau Pilbup, tetapi nampaknya tidak perlu memastikan oposisi permanen. Yang seolah-olah menjelaskan bahwa di Indonesia telah berlaku politik dua kubu, kubu penguasa dan kubu opososi. Apalagi pada dasarnya politik itu dinamis, selalu memberi respon untuk kebaikan-kebaikan berbangsa dan bernegara. Karena ketika ada yang menang Pilpres, meskipun secara logis akan menempatkan para mentri dari kelompok koalisi, dalam garis pembangunan nasional tetap akan mengayomi seluruh bangsa Indonesia. Dan pribadi-pribadi dari kelompok-kelompok koalisi yang kalah pun akan terus konsisten membangun Indonesia, bertanggungjawab atas keindonesiaannya. Yang artinya, etika politik selama kampanye pun mesti terjaga dengan baik. Ketika garis dua kubu yang pernah kita curigai bakal muncul selepas era reformasi, adalah garis Orde Lama dan pendukungnya serta garis Orde Baru dan pendukungnya --- bukan antara penguasa dan oposisi, nyatanya hal itu pun masih sepi, tidak nampak jelas dan kuat.  

Saya sendiri menyebut, era SBY jadi presiden dulu, sesungguhnya adalah era Biru-Merah. Maksudnya yang memerintah adalah kubu SBY (biru) sementara yang kalah Pemilu adalah kubu Megawati Soekarnoputri (merah). Sebab terlepas secara politik ada debat paniang antara koalisi partai pemerintah dengan koalisi yang kalah pemilu, tetapi masyarakatnya ---termasuk masyarakat merahnya---  sedang berproses dinamis mengikuti laju pembangunan Indonesia. Lalu saya berkhayal kreatif ketika itu depan TV, Mike dan Judika yang bertempur di puncak Indonesian Idol mestinya mengharmoniskan kostum biru dan merah.  Selain itu selama SBY memimpin semoga tidak alergi warna merah, sebab era Orde Baru alergi warna lain, sebab bagi orde ini 'hidup ini' hanyalah warna kuning. Untungnya lagi di masa SBY itu, saya ber-KTP Purwakarta yang bupatinya dijagokan PDI-P. 

Di awal Jokowi Presiden, saya pun berada di kubu pendukung Prabowo. Meskipun 100% sedih Prabowo kalah, tapi saya realistis, tidak cuma menang sesuai konstitusi, Jokowi juga pemimpin yang layak, dan selanjutnya saya sebut amanah. Insa Allah. Bahkan masih diwajibkan oleh konstitusi untuk memimpin Indonesia dua periode, dengan syarat menang Pilpres 2019. 

Kita mesti bergotong-royong sebagai hamba Allah yang setia memuliakan negrinya. Sehingga menyelamatkan segenap bangsa dan seluruh keturunannya. Sehingga menjadi percontohan, alif yang tegak dan terdepan di setiap diri pribadi, pribadi pembuka mata dunia yang buta. Sehingga membela kemuliaan sebuah negri di hadapan-Nya adalah jihad fi sabilillah. 

Kalau menabur kembang tujuh rupa di kali, biarlah kejernikan airmata kita yang terus mengalir. Sampai jauh.

Kita rindu merindukan nasib-nasib yang tertolong. Tidak dengan omong kosong!

Kemayoran, 31 07 2018

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG