MASIH NYALA

KARENA CAHAYA

matamu naik kepada cahaya 
hatimu haru yang turun
telapak tangan terbuka
dan kaki yang berfikir selalu hadir

Kemayoran, 22 07 2018
#puisipendekindonesia 
--------

MASIH NYALA
Cerita Pendek: Gilang Teguh Pambudi

Ini Sabtu yang berat. Sebagai kuli di kota, pekerjaan seminggu terakhir ini termasuk paling berat. Selain itu pada pertengahan minggu sempat ada peristiwa mengenaskan sehingga mengganggu koordinasi, kontrol kerja lebih ketat, selain harus mengikuti beberapa kali rapat. Masalahnya ada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Untungnya tidak terlalu parah, meskipun sempat dilarikan ke rumah sakit dan dirawat.

Ya, setiap pekerjaan apapun memang punya resiko, apalagi untuk para kuli. Karena itu aku selau berdoa semoga selalu dalam lindungan Allah dan senantiasa bisa mengantisipasi setiap resiko sekecil apapun. Aku yakin, anak, istri dan keluarga besarku juga mendoakan.

Pekerjaan ini sudah lebih setahun aku tekuni karena selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga lumayan buat nambah modal warung istri. Supaya kelak ketika sudah berhenti kerja, warung itu sudah lumayan besar dan bisa menutup kebutuhan pokok keluarga.

Anak-anak sudah besar. Yang pertama, perempuan, sudah kelas tiga SMA. Adiknya yang laki-laki kelas dua SMP. Setidaknya tahun depan anak pertama lulus. Meskipun aku ingin dia langsung kuliah, tetapi kalau nyatanya dia mau kerja dulu, atau kuliahnya sambil kerja, aku pasti ngasih restu. Yang terbaik saja. Setidaknya tahun depan kami bisa menikmati kelulusannya dulu.

Anak ke dua. Si Jimat. Aku merasakan ini seperti menjadi pengalaman para orang tua. Ketika kakaknya sudah lulus sekolah, dan anak kedua tinggal satu yang butuh perhatian pendidikan, pasti selagi masih ada biaya minimal yang memadai, dia akan jadi penghibur hati orang tua.

Jangan salah. Dulu kita sering dengar istilah, masa indah masa sekolah. Sebagai kalimat para dewasa yang selalu mengenang masa lalunya sebagai keindahan semata. Tetapi rupanya bagi para orang tua, salah satu masa indahnya adalah ketika masih ada anaknya yang masih berseragam sekolah. Anak baik yang pergi dan pulang sekolah setiap hari. Sebab ketika seragam sekolahnya sudah lepas, alamat dia kerja, mulai mandiri, dan beberapa lama lagi persiapan nikah. Ah, saya tidak mau cengeng melepasnya mandiri. Justru itu yang utama. Tetapi, anak-anak berseragam sekolah itu lucu.

Aku paling senang setiap ketemu anak laki-lakiku lalu bisa mengecup keningnya. "Kamu anak kuli", gumamku dalam hati seperti Karna disebut Anak Kusir. Untungnya ini di negara yang lain. Dalam undang-undang di sini, anak SMP saya itu tercatat calon presiden juga. Tanpa harus menjadi Kurawa dan melawan Pandawa. Persoalannya justru pada pola hidup. Kadang yang jadi Pak Kepala Desa bukan yang terbaik, bahkan yang memilihnyapun tidak tahu standar kebaikan, atau memang tidak sedang mencari yang terbaik. Gak tahu lagi nyari apa?

Pada suatu pengajian di rumah tetangga dulu, seorang Ustad pernah berpesan, "Anak laki-laki itu sebaiknya pernah merasakan dimandikan ayahnya, meskipun tidak sering. Dan pastikan itu terjadi pada saat daya ingatnya sudah bagus. Sebab seorang ayah memandikan anak laki-lakinya adalah hikmah yang punya banyak keutamaan. Tetapi jangan lupa ajari dia meniadi jantan tanpa meremehkan derajat wanita". Pesan itu aku amini. Tetapi tidak dengan memandikannya. Karena bagiku, itu multi interpretasi. Ya, dengan cara apapun, yang penting punya hubungan emosional yang dekat.

Sungguh suatu kebetulan yang baik, aku punya satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Sepasang, orang bilang. Meskipun sebagai lelaki tamatan SMA, aku bisa memasuki ruang hikmah, meskipun anak kita cuma satu, perempuan misalnya, kita mesti merasa punya dua anak, sepasang. Pun sebaliknya. Begitupun ketika anak kita dua-duanya perempuan atau sebaliknya, sebab jatah keturunan dari Allah itu sudah sempurna. Tidak ada cacat pada ketetapan-Nya.

Pendeknya, mendidik seorang perempuan, mestilah dengan memahami laki-laki. Bukan mengalahkan laki-laki. Yang memaksa kita seolah-olah dua karakter itu ada di depan mata. Pun, mendidik seorang pejantan tangguh, harus bisa melihat kesempurnaan wanita, bukan mengalahkannya. Wanita bisa memuji dan memotivasi kesempurnaan pada laki-laki, demikian pula sebaliknya.

Soal kekurangan masing-masing, tergantung perkaranya. Kalau kekurangan itu berupa dosa, maka kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengingatkan atau minimal tidak menyukainya. Tetapi kalau kekurangan itu hanya soal kemampuan, tidak bisa begini dan begitu. itu berkah dan cinta Allah, agar manusia saling melengkapi dengan ilmunya.

Tapi jujur. Kelemahan ajaran jaman now. Tidak cuma di kota. Tetapi juga di kampung-kampung. Anak-anak kita, baik laki-laki maupun perempuan, sering dididik untuk menomorduakan orang lain. Ini jelas kemerosotan moral.  Termasuk di sebagian keluarga Cina yang masih menganggap pembantu seperti 'pribumi' yang budak, bahkan binatang. Tapi tentu tidak bisa dijeneralisasi. Harus dilihat kasus-perkasus. Sebab menurut versi ini, kebaikan dan hormat itu hanya kepada saudara sendiri, famili sendiri, atau atasan yang minimal uangnya melindungi.

Kalau ada yang tersinggung dengan amatan jujur ini, mengapa mereka diam untuk kejujuran yang lain? Misalnya ketika aku juga berpendapat, bahkan kadang paradigma naik haji pada sebagian orang tertentu pun melenceng jauh. Cuma sebagai pengangkat status sosial. Haji identik dengan popularitas dan 'kemampuan'. Sementara derajat kesalehan sosialnya sangat buruk. Pun pada anak-anak dan saudaranya.

Sepanjang perjalanan pulang di atas bis antar propinsi, wajahku dalam kotak kaca memandang suasana luar. Mulai dari masih terlihat terang, berlembayung senja, sampai mulai menggelap magrib. Aku menarik nafas. Sangat rindu rumah, sangat rindu langkah kaki yang damai dengan mata menatap lurus ke arah listrik tengah rumah yang masih menyala. Sebab aku memang selalu pesan kepada istri dan anak-anak, lewat jam 9-10 malam, biar ngirit, lampu ruang tamu matikan saja, sementara lampu luar rumah cukup nyala satu. Bahkan hal demikian seperti sudah jadi tradisi kampung sejak mulai ada listrik.

Kenangan tradisi yang lebih tua, dengan aroma atau sugesti serupa tentu terjadi pada masa dulu, masa lampu patromak dan lampu tempel. Itu kami sebut masa jaya-jayanya cahaya minyak tanah. Ke mana-mana kalau malam hari masih mengandalkan lampu senter bahkan obor, karena belum ada lampu jalanan.

Setiap dari manapun kami pulang, waktu itu kami selalu rindu cahaya lampu patromak  itu. Sebab lewat jam 9-10, hampir di seluruh rumah berubah redup, hanya menggunakan lampu tempel, itupun cuma di dalam rumah. Di halaman selalu gelap gulita. Suatu pemandangan yang sama sekali tidak akan pernah dijumpai oleh anak-anak saya, anak-anak jaman now.

Lalu saya teringat almarhum Bapak saya. Beberapa kali rumahnya didatangi rombongan tentara yang sedang latihan. Biarpun kedatangan mereka rata-rata sudah lewat jam 12 malam, dengan senang hati Bapak tiba-tiba menyalakan patromak dan menyuguhi mereka hidangan seadanya. Minimal menyediakan air putih, selain menawari kopi dan teh manis. Besok paginya, Bapak dengan senang hati menceritakan perbincangan semalam dengan tentara-tentara itu kepada kami.

Mengingat itu, saya yakin, pada hari ini para tentara itu akan terkenang masa-masa dalam perjalanan latihan melewati kampung dan gunung yang gelap gulita, lalu  disambut lampu tempel dan lampu patromak.

Dan ada lagi satu peristiwa yang aku malu mengingatnya. Sebab aku sudah punya istri dan anak yang mengagumkan. Kunikahi istriku setelah listrik masuk desanya, sampai kusebut pernikahan cahaya, jadi jelas dengan dia tidak teralami romantisme yang ini.

Ceritanya begini. Aku pernah punya kekasih satu kampung. Walaupun teman-teman bilang itu baru cinta setengah matang. Waktu itu masih sangat muda dan belum terfikirkan untuk menikah. Bahkan masih menganggur karena baru tamat sekolah. Hampir setiap saat aku ditemani seorang karib, paling senang bersengaja lewat depan rumahnya. Dengan harapan bisa ketemu dia di beranda rumah, meskipun cuma untuk ngobrol sebentar. Meskipun kadang kecewa kalau dia tidak ada, dan pintu depan tertutup rapat. Mendadak hati terasa lesu. Rasa-rasanya, menatap beranda rumahnya dengan sorot patromak dari ruang dalam melalui pintu yang sengaja dibuka lebar, dengan dia ada di beranda, adalah pemandangan paling sorga saat itu.

Atau kalau ada acara kampung kami biasa membaur. Ini wilayah pergaulan. Patromak dan obor minyak itu juga menyemarakkan halaman terbuka pada malam-malam Agustusan kalau ada lomba dan aksi seni yang tidak dilakukan siang hari. Seru. Banyak yang dapat jodoh di situ.

Tinggal di negri kecil tanpa lstrik seperti itu, radio kami dulu cuma bisa nyala pakai batu batre. Tapi itu sudah kemajuan teknologi yang sangat tinggi yang bisa kami syukuri. Dari situ kita bisa pesan lagu-lagu ke penyiar dengan terlebih dulu mengirim surat atau beli Kartu Pilihan Pendengar. Tentu, tentu, di dalamnya sapa salam terhangat untuk Sang Pacar itu, atau setidaknya untuk yang lagi diincar.

Tapi sayang. Ah, tak perlu disayangkan juga. Toh semua sudah sempurna. Akhirnya kami tidak jodoh. Saat itu aku mulai belajar kerja di kota, lalu mendengar kabar dia sudah dilamar orang. Memang, seperti romantisme yang hilang.

Sebagai buruh atau kuli di kota, aku mengalami berkali-kali pindah kerja. Kadang nyaman kadang tidak. Penuh suka duka. Tentu berbeda dengan nasib para pegawai negri itu. Yang sekali kerja nyaman selamanya. Tetapi meskipun demikian, aku merasakan cinta Allah yang besar. Apalagi melihat dua anakku tumbuh dalam hidup yang baik-baik saja. Sehat wal afiat. Alhamdulillah. Sehingga semua bisa dilewati dengan penuh besar hati.

Terakhir ini, sudah setahun lebih aku jadi kuli lagi di kota. Sebelum itu sempat menganggur meskipun cuma tiga bulan. Untungnya istri masih punya warung yang lumayan ramai dan aku masih punya tabungan. Setidaknya untuk kebutuhan pokok dan biaya sekolah anak masih lancar.

Tiba-tiba dari arah jok belakang ada teriakan setelah bis sempat berhenti menurunkan penumpang. "Copet-copet. Yang tadi turun itu copet. Bawa dompet saya", teriak seorang ibu.

Seorang kenek bus diikuti lelaki lain segera melompat turun, tetapi dalam kegelapan malam, mereka sudah tidak melihat lelaki yang turun tadi. Bis pun melaju lagi. Aku melihat si ibu menangis dan ditenangkan oleh beberapa penumpang lain. Sungguh biadab pencopet itu, gumamku. Semoga si ibu itu dapat kemudahan dalam perjalanan, doaku.

Aku dengar dia tinggal di kawasan pasar tak jauh dari terminal bis. Syukurlah, sebab dia tidak butuh ongkos lagi setelah bayar bis ini. Tapi kasihan, selain uang tunai beberapa surat pentingnya ikut hilang dicopet.

Tak berapa lama laju bis semakin mendekati tempat aku turun.

Ini Sabtu yang benar-benar sangat capek.

Dan, subhanallah. Lepas dari pintu bis kakiku langsung memburu angkutan kota. Tak lama kemudian ketika aku minta turun di pinggir jalan, dari kejauhan masih nampak lampu depan dua menyala, lampu ruang tengah masih menyala juga. Aku bahagia. Pasti kedua anakku dan ibunya masih di ruang tengah nonton TV. Ah, ada acara apa malam ini di TV?

Aku teriak dalam hati sambil membetulkan tas punggung dan tas jinjing sambil melangkah, "Wahai para malaikat dan anak-anak kuli, aku datang".

Kemayoran, 19 07 2018.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG