MEMBELA RAJA

KEPADA YANG MERASA JADI

ya, karena urusannya
melulu soal siapa jadi
bukan mencintai hati

Kemayoran, 25 07 2018
#puisipendekindonesia 
------

MEMBELA RAJA
(ini awalnya bukan cerpen, tapi akhirnya saya sebut cerpen juga, karena Cannadrama ngajarin bebas nulis bener)

Suatu hari seperti janji yang sedang ditepati. Aku bertemu matahari. Matahati. Pagi-pagi sambil berolah raga, dilanjutkan siang hingga sorenya, ia sarungan di beranda. 

Hawa kami bikin sejuk. Tidak membenturkan selera. Aku ngopi dia minum teh tubruk. Cemilannya, pagi keripik singkong, sore goreng dan rebus singkong yang super empuk. Lebih dasyat dari singkong keju. Sebab dihidangkan oleh rindu. 

Mengapa serba singkong? Karena ini urusan PAS, Partai Anak Singkong. Sujud sedalam bumi, mumbul setinggi langit, menjadi manfaat-manfaat.  

Rindu berkebaya, menemani kami. Jadi pendengar yang baik. Tentu seksi untuk setiap laki-laki, tapi ia berkerudung salehah. Lumayan. Senyum dan suaranya menghibur, sekaligus meluruskan kalimat-kalimat biar tidak ngawur.

Jam dinding biarpun sudah tua, tidak pernah salah batuk untuk menunjukkan ketepatan waktu. Buktinya kami berjamaah tepat waktu untuk sholat zuhur dan asar. Kecuali kalau hidup kita ditemani jam rusak. Maka sungguh benar kata pepatah, jangan merusak pertemanan, dan jangan berteman dengan orang rusak.

Karena itu Matahari yang salut sesekali mengangguk ke arah jam itu dan menyapa, "Om". Padahal gak tahu siapa yang lebih tua di antara berdua? Dan aku mengangguk kepada Rindu. Dia memberi senyum setengah matang, dan aku mematangkannya. Sampai diketahui juga oleh Matahari kerjasama itu.

Karena cemburu Matahari membakar diri. Berharap panasnya masuk ke tubuhku dan tubuh Rindu. Kami menyatu sebagai hangat sampai panasnya yang membara, satu tubuh, satu cinta. Ah, ada-ada saja permainan mulia dunia.

Setelah minggu pagi  ini tujuh kali mengelilingi Lapang Merdeka dengan kecepatan sedang, kami berjalan santai. Relaksasi. Aku berdampingan dengan Matahari. Rindu mengiringi. Dan jam djnding di atas awan menunjukkan pukul 08:30.

"Aku mau nanya untuk yang mau tahu. Gimana kesetiaanmu mengawal Raja?" tanya Matahari.

"Ya, karena kau sudah tahu. Seminggu ini bagian di Istana Malam", jawabku.

"Apa enaknya?"

"Seperti penyair, Bang. Menjaga cahaya".

Lalu kami duduk di bawah pohon rindang. Pohon yang umurnya sudah tiga turunan. Sehingga wajar kalau kepada dia banyak yang nanya soal masa lalu yang sembunyi di belakang waktu.

"Sehat, Om?" tanya matahari sambil duduk di atas batu taman yang besar.

"Sehat juga, Omat", jawab pohon itu sambil membetulkan sarungnya. Dia pake sarung bagus yang bermerek di Indonesia. Biarpun tua tapi dia necis dan wangi. Maklum, tinggal di lapangan utama yang pinggirnya Taman Terbuka Hijau. Dia memang sudah biasa manggil Omat untuk Matahari.

"Sudah lama ya gak turun hujan?"

"Tetapi di sini selalu hujan berkah dari Raja kita yang bijaksana. Soal minum aku tidak pernah kekurangan. Itupun masih sering aku marahi, jangan sampai aku biasa minum enak, sedangkan musafir dan miskin-duafa di balik gunung sana kehausan-kelaparan. Eh, apa kau mau minum?" Pohon itu menjelaskan sambil mengedip ke arah Rindu. Aku nyantai saja, harus banyak maklum kepada kakek-kakek. Jangankan lagi Rindu yang jarang ke sini, sedangkan ibu-ibu penjual lontong sayur di sebrang jalan itupun sering digodain. Kata Kakek Pohon, cuma hiburan harian biar awet muda.

Ya, Raja kami memang bijaksana. Penuh cinta dan perhatian. Tetapi dia cuma manusia biasa, meskipun ilmu mulianya oleh sebagian orang suka disebut, Titisan Dewa. Oleh sebagian yang lain disebut, dapat semburat dari Imam Mahdi. Menjadi lentera kehidupan.

Pohon tiga turunan itu dan kawan-kawannya adalah juga para pengawal Raja. Sebab pengawal itu terbagi duabelas. Empat di antaranya: ada pengawal pribadi yang menjaga siang malam dari dekat, ada pengawal istana tempat Raja berdiam dan bekerja, ada pengawal yang siap datang bila dipanggil dalam jumlah ribuan orang, ada pengawal yang menguasai daerah-daerah tertentu, dan seterusnya. Kakek Pohon itu termasuk pengawal yang menguasai daerah tertentu. Dia puas dengan itu. Lihat saja, suaranya besar dan penuh wibawa, tertawanya lepas.

Bahkan ibu-ibu yang jual lontong sayur itu, adalah pelayan Raja jika Raja sedang olahraga di Lapang Merdeka. Sebagai pelayan, dia punya tugas pengawalan juga. Ada kode khusus di lengan kanannya. Yang harus menjaga kenyamanan dan keamanan Raja. 

Bahkan lagi, semut-semut di pokok kayu itu, adalah cicit dari semut yang pernah ketemu Raja Sulaeman di masa lampau. Dia pengawal juga. Sangat setia. Menemani Kakek Pohon menguasai suatu tempat tertentu.

Tapi secara prinsip dari duabelas pengawal Raja itu sama saja tanggungjawabnya. Cuma soal pembagian tugas belaka.

"Sebagai pengawal di Istana Malam, kamu tidak bersenjata". Matahari menatapku. Mulutnya mulai menikmati lontong sayur yang diantar ibu-ibu itu.

Kujawab setelah menelan sesendok lontong sayur juga. "Namanya juga penjaga cahaya, Bang".

"Ngomong-ngomong apa saja sih hobi Rajamu?"

"Tak terhitung. Sungkem di kaki orang tua. Baca buku. Menyantuni kaum duafa dan mengelus rambut anak yatim. Main catur. Menjenguk orang sakit. Baca koran. Menerima undangan rakyat. Lari pagi. Memperbaiki jalan dan jembatan rusak. Nonton malam sastra dan baca puisi. Membuat taman kota. Main bola. Memeriksa aliran sungai. Nonton teater dan pertunjukan tari. Menghitung jumlah anggrek, kupu-kupu dan kinjeng di hutan. Membuka pameran lukisan. Menemani petani saat musim tanam dan panen. Jalan sehat sore-sore. Ke pasar-pasar ngecek harga sembako dan mengukur daya beli masyarakat. Makan lontong sayur. Ke Posyandu ikut nimbang balita. Naik sepeda. Ke sekolah-sekolah mengikuti proses belajar mrngajar. Bikin Puskesmas dan Rumah Sakit. Ngelayat orang meninggal. Memelihara ayam dan burung-burung.  Ziarah kubur. Ngedongeng depan anak-anak. Safari mesjd. Main ular tangga dan congklak. Bersih-bersih trotoar. Nyiram tanaman hias dan pohon-pohon. Nonton film kartun. Ngontrol lampu-lampu taman. Gabung senam massal sama ibu-ibu. Memeriksa kelayakan angkutan umum. Ngedengerin atau siaran di radio dan TV. Ke perusahaan-perusahaan menanyakan nasib para pekerja. Memancing. Ikut memeriksa PR anak-anak. Memberi penghargaan kepada Kaum Teladan. Mengondisikan korban bencana. Bersih-bersih selokan. Bikin komen penting di akun sosial. Melaut bersama nelayan. Bikin gapura dan pos ronda. Memeriksa latihan perang".

"Ah, sudah-sudah. Kebanyakan. Ayo kita habiskan rejeki minggu ini", Matahari merasa jawabanku bakal lebih panjang dari itu. Aku senyum lebar ke arah Rindu.

Agak siang kami menuju rumah Matahari. Lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah minum kopi hitam dan cemilannya kripik singkong. Dia memang rajin mengeringkan kripik singkong. Namanya juga matahari. Kalau gak gitu gak seru. Mangkanya jangan heran, orang-orang yang kerja kepanasan kadang bajunya seperti ada aroma singkongnya. Haha!

Zuhur dan asar, kami sholat berjamaah di mesjid tak jauh dari rumah. Ini akhir pekan yang paling berkesan. 

"Masih rajin baca puisi, Mas Bro?" tanya mesjid jami itu kepadaku.

"Itu kamar kerja. Untuk menyelesaikan semuanya", tukasku.

"Itu kan kewajiban Raja?"

"Benar. Tapi Rajaku adalah tanganku. Justru aku dan ibu-ibu tukang lontong sayur itu orangtua Rajaku".

Mesjid yang teduh dan fenomenal itupun tersenyum sangat-sangat indah. Sebab mesjid itu memang begitu. Nyenengin semua orang. Kubahnya tinggi. Tiang-tiangmya kokoh dan megah. Lantainya seperti selalu mengucap, selamat datang. Pintunya pintu-pintu sorga. Bagian luarnya lapang, tempat melapangkan hati dan melepas lelah. Menjadi rumah singgah yang penuh berkah. Rumah kebanggaan bersama. Itu sebabnya para miskin pun akan merasa berumah pada mesjid. Mereka bangga mengelus satu buah tehel di situ sambil berkata, "Milikku. Tempatku". Mereka akan marah besar kalau anak-anaknya bercanda dan mengotorinya. Itu sebabnya sebuah mesjid banyak yang menjaga dan banyak yang menikmatinya.

Gerbangnya tempat wisata berfoto bersama, dan arena selfi yang mengagumkan. Di sebelah luarnya sejumat sekali banyak penjaja kulinernya. Sungguh obyek wisata reliji yang menpesona.

"Kamu tidak takut Rajamu salah arah? Menghianati? Ingkar sunah?" Tanya Matahari. Kali ini sambil menyodorkan singkong rebus yang baru saja diantarkan Rindu dari dapur. Lengkap dengan sambelnya segala. Setelah itu menyusul singkong gorengnya.

Aku tersenyum. Itu jelas-jelas pertanyaan yang mengarahkan buat siapapun. Pasti menjebak membuat sukses. Lalu jelasku, "Rajaku berilmu tinggi. Ngaji kitab suci setiap hari. Zikirnya zikir abadi. Humanis-universal. Nasionalis-relijius. Maka kalau dia berbuat mulia, itulah perbuatanku. Berkah sorga".

"Kalau dia berdosa?" Matahari seperti terpaksa menanyakan itu. Pasti alasannya sama, selalu untuk orang yang mau tahu.

"Yang begitu itu bukan Rajaku. Bahkan kalau dia berbuat kriminal, melacur, atau korupsi uang rakyat, aku tidak ikut. Tetap tidak bergeser dari tempatku berjaga. Sebab aku tidak mengawal itu. Aku hanya wajib mengawal sisi muliannya saja. Dan tidak mau disuruh berbuat hianat begitu. Kecuali untuk seluruh kebaikannya, bahkan untuk gerak jari kelingkingnya, aku ikut bergerak. Tapi, bukti-bukti konkritnya telah membuat aku dan siapapun husnuzon, dia istikomah. Kami setia di jalan lurus. Percaya kepada hisab Allah. Kecuali menurut ahli fitnah".  

Sore ini sepenuhnya menjadi milik Rindu, aku dan Matahari. Kami begitu dekat, begitu saling mengerti. Juga milik jam dinding yang detaknya adalah suara kesaksian, atas nama waktu, atas nama dinding luas.

Tiba-tiba, matahari lewat pori-pori masuk menjadi hangat tubuhku. Rindu menguasai hati. Detak jam dinding berubah jadi detak jantungku. Rumah kami menjadi istana besar yang bersebelahan dengan mesjid yang megah. Dan akulah Raja. Alhamdulillah. 

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG