BATU DIAM

008

lampu-lampu
menaik
terang
langit

cahayanya menyelisik
trotoar

tubuhku angin
merapat sepertiga malam
musyafir sepi
pencatat jejak nabi: 
hanya dia
dan Tuhan
di jantungnya

Kemayoran, 2017
Dari Malam Keajaiban Airmata 
#puisipendekindonesia
------

Sebelum memulai tulisan ini saya sempat mikir, mau nulis remeh-temeh soal batu dan sedikit pengalaman pribadi yang sederhana sebagai perasaan sebagian orang? Rasanya bukan tema segar apalagi mendesak untuk diketahui. Tetapi siapa bilang, ada banyak hal yang hidup manusia hari ini sudah terdesak, kepepet logika dangkal era milenia. Karena untuk berfikir lurus hal yang dianggap remeh pun sudah tidak sanggup. Kesasar-sasar. Sementara untuk banyak hal serius, sering terdesak sampai jadi sesat. Ditambah lagi, kalau kita lihat debat-debat di TV tentang banyak persoalan, sering muter-muter tidak jelas, yang lama-lama malah dimaklumi sebagai tradisi berwacana yang khas hari ini. Semakin ngaco kadang malah semakin populer dan anehnya banyak yang dukung. Sampai kita rindu, kapan ada obrolan pribadi yang nyantai dan dekat, dan kesiapan membuka wacana besar yang mencerahkan, yang berdampak pengentasan berbagai problem secara segera dan cemerlang.  

Sebaiknya saya mulai saja.

Ada yang selalu menikmati batu seperti saya? Setiap melihat batu-batu besar di bukit atau di tepian kali, selalu ada sukacita yang besar. Dan berdiri di atasnya, merentangkan tangan sambil membiarkan rambut direbut angin, jauh sebelum adegan Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet dalam film Titanic, saya sudah merasa sebagai manusia batu. Penikmat dan penguasa batu tak bertuan. Pasti berangkat juga dari kenyataan bahwa sesungguhnya manusia adalah mahluk penghayal. Positifnya, berkhayal mampu melahirkan manusia kreaatif.

Sejak SD kami berumah di atas bukit ketika bapak masih menjadi Sinder Perkebunan. Sebelah sini dan sebelah sananya sungai besar. Tentu berbatu-batu besar dan kecil. Bahkan di beberapa bukitnya ada beberapa batu besar juga. Dan sensasi yang tak pernah bisa dilupakan, ini sedikit berbahaya, senang saya berdiri di atas batu yang berada di atas air terjun. Berfoto-foto di situ.

Bapak-bapak kami di perkebunan selalu sibuk dengan tanaman dan pergudangan hasil perkebunan. Mereka tidak seperti kami, anak-anaknya yang bisa bebas menelusuri sungai dan duduk-duduk menikmati angin di atas batu. Terlebih-lebih kalau akhir pekan. Tetapi masih ada sedikit waktu buat bapak saya menikmatinya, kalau sekali-kali ngajak kami naik motor keliling perkebunan lalu berhenti mancing di suatu tempat sebagai hiburan sebelum sore. Lalu pulang bawa beberapa ikan lele dll. 

Jalan-jalan sore dibonceng motor bapak juga sangat mengesankan kalau sudah berdiri di atas jembatan yang sekaligus pintu air. Sejauh mata memandang kanan kiri sungainya adalah permadani berupa batu-batu. Besar dan kecil. Tempat biasa kami mencari batu-batu halus, mengkilat, atau cuma menumpuk-numpuk batu. 

Ohya, bicara numpuk-numpuk batu, ada yang tidak cuma main-main batu, waktu umur kelas tiga SD di Curug Sewu saya dan teman-teman yang lebih besar sudah biasa menumpuk batu untuk perangkap ikan. Kalau ini benar-benar ketrampilan pinggir kali. 

Ketika pindah ke SD Tegalega di Sukabumi, juga tidak jauh dari sungai. Sehingga suatu ketika, kami beramai-ramai mengangkati batu kali secara estapet untuk membantu pembangunan sekolah. Suatu pengalaman yang menyenangkan yang tak akan pernah dialami oleh sekolah yang jauh dari sungai. Apalagi yang di kota-kota.

Dan yang menarik, sejak kecil kuping saya sudah dijejali informasi dari guru dan para ustad di mesjid bahwa sholat malam (taraweh) itu sholat istirahat. Yang harus dilakukan dengan kusyu tetapi dalam suasana hati yang tentram. Pertama, menikmati nikmat berdiam di mesjid secara berjamaah, dan kedua, menikmati indahnya nilai-nilai sholat yang kita pahami untuk melapangkan hidup sehari-hari. Tetapi sayang, bagi saya ketika beranjak remaja, sholat taraweh yang panjang itu bisa mendatangkan capek bahkan rasa kantuk. Untungnya lama-lama saya bisa ngerti, bahwa menjalani hidup sehari-hari, jihad di jalan Allahpun capek bukan main, banyak tantangan dan persoalannya. Dan baru akan terasa beda kalau kita menjalaninya secara ihlas, 'menikmati diam' di atas aktivitas (kerja), atau merasa-rasa seperti berwisata saja. Ini jelas ada kaitannya dengan sholat malam itu. Tentang bagaimana memahami hikmah hidup.

Kaitannya dengan batu? Begini. Setelah saya kenal cerita wayang, saya menemukan kisah-kisah batu gilang. Banyak ceritanya. Salahsatunya adalah kisah Raja Wayang yang beristirahat di atas batu besar datar yang membuat nyaman. Konon tokoh wayang Parikesit, leluhur raja-raja Jawa yang membuat peninggalan batu gilang itu. Sampai tiba-tiba membuat otak 'penghayal' saya muter. Apa ada hubungannya dengan beristirahat di atas sibuk, bahkan beristirahat di dalam sholat? Apalagi wayang di Indonesia identik dengan istilah wayang wali, yang berisi dakwah para wali. Lalu saya teringat juga istilah bertapa di atas api. Yang di film-film atau dalam berbagai cerita bisa diilustrasikan, orang sakti yang duduk sila di atas api. Dalam perang senjata, tentu ini bertapanya panglima perang dan pasukannya selama dalam pergolakan. Bahkan dalam lagu Sunda disebut, sampai 'lali rabi'. Belum bisa menikah sampai bisa lupa pada kebutuhan menikah. Atau dalam pengertian sudah menikah, tetapi telah dibuat lupa apa nikmat-bahagianya menikah? Dalam perang melawan hawa nafsu, dalam puasa, ini bertapanya manusia beriman dari serangan nafsu jahat dan segala angin buruk.

Dan kebetulan nama batu besar tempat istirahat raja wayang itu adalah Batu Gilang, sama dengan nama siaran saya di radio-radio. Yang otomatis sudah bikin saya banyak merenungi hakekat manusia dan kemanusiaannya.

Kalau dikaitkan dengan batu gilang di Jogja? Ya, saya bersyukur ketika mendengar batu itu adalah batu persegi yang memiliki kisah baik. Sebagai tempat beristirahat. Tetapi ada yang dikisahkan sebagai singgasana pendiri Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati. (Entahlah kalau ada yang mengabarkan berita buruk sekitar batu gilang sebagaimana setiap patilasan yang sudah kuno suka ada yang diceritakan buruknya oleh pihak tertentu, meskipun kadang sulit dipercaya). Dan bagi saya secara pribadi, keberadaan batu gilang itu baik-baik saja, untuk sekadar mengingatkan bahwa ibu kandung saya kelahiran Jogja meskipun sejak kecil bersama keluarga sudah pindah ke Banyumas, lalu melahirkan saya di sebuah Perkebunan di Kendal. Yang artinya secara universal, ibu yang lahir di Jogja itu di titik bumi, di suatu pusat dunia, tempat batu gilang. Tempat manusia beristirahat dengan cara tidak pernah meninggalkan jihad fi sabilillah 24 jam penuh setiap sehari semalam. Sebab cerita batu gilang singgasana raja konon juga ada di daerah lain.

Kalau bapak saya keluarga besarnya Banyumas, tetapi kelahiran Bogor waktu kakek lama berdinas di kota hujan itu. 

Bagi syair, puisi, sastra, batu adalah idiom yang banyak dipakai. Seperti dalam drama, bulan terbelah. Dua kalimat Allah yang berujung pada maksud tunggal, memuliakannya. Yaitu ketika di satu sisi batu adalah keteguhan hati, pantang menyerah, dan keperkasaan. Sementara rapuhnya adalah daya tahan manusia yang lemah. Di sisi lain batu adalah perlambang keras kepala, keangkuhan, kesombongan, dan laknat jahat.

Kejahatan dalam keras kepala adalah pintu neraka untuk menjatuhkan manusia, agar terhukum dalam kesaksian anak cucu manusia yang berserah. Agar takut pada hisabnya. Ini jawaban atas pertanyaan, mengapa Allah menciptakan kejahatan sebagai kecenderungan sebagian anak msnusia. Yang hakekatnya justru kita sedang bertanya, mengapa dalam takdir cinta manusia, ada yang tega menciptakan dan memilih jalan kejahatan? Sedangkan Allah telah selesai berkalimat, bercinta dalam kemuliaan itu nikmat dan indah? Jihadnya terjunjung tinggi. Lalu siapa yang mencari-cari kebutuhan batu sial?

Keteguhan dalam kemanusiaan yang beradap adalah penyerahan suci. Ketika rasa manusia bertemu rasa manusia. Fikiran dan pertimbangan bisa berbagi di jalan lurus. Sebab diamnya nama baik Rosulullah SAW ada dalam rasa kemanusiasn itu. Lalu siapa yang ingkar sunah? Menolak pesan hajar aswad? Batu hitam yang bermakna?  

Pada diri pribadi keteguhan pada kebaikan adalah sukacita yang menentramkan. Setidaknya membuat kita tak pernah jatuh meskipun angin dasyat berhembus berganti-ganti. Sedangkan kerasnya kecerobohan kita yang cenderung pada dosa adalah kejatuhan-kejatuhan. Dan Allah yang dutuding telah rido pada dua ciptaanya, kebaikan dan kejahatan justru berseru, "Siapa suruh mengambil kejatuhan yang sakit, celaka yang menyiksa, ketika kebangkitan-kebangkitan yang mulia itu lebih membahagiakan dan dipahlawankan?"

Ya, saya juga dulu sering tertegun manakala berhenti di depan kisah penghayatan hajar aswad. Serta memikirkan juga lempar batu (kerikil) pada tahapan lempar jumroh dalam proses berhaji. Pada lempar jumroh ini, seperti layaknya teori dan prinsip memanfaatkan berjuta senjata. Batu adalah keteguhan yang kita miliki untuk melawan kejahatan syetan dari seluruh pintu celakanya. Ya. Keteguhan tak perlu berubah menjadi ketidakteguhan. Dan biarlah kerikil (batu kecil) itu bicara dengan caranya tanpa diganti oleh benda selain kerikil.

Mengapa harus kerikil? Sebuah batu kecil? Sebab hakekatnya kekuatan seorang diri manusia, apalagi dalam sekali serang, tak ubahya cuma batu-batu kerikil bagi Allah. Sehingga terusirnya syetan dan kejahatan-kejahatan di muka bumi, sesungguhnya bukan karena kekuatan kita yang terbatas, tetapi karena maha kuasanya Allah Swt. Kita seperti cuma berperan menunjukkan permintaan-permintaan. 

Lebih ke belakang lagi kita tentu akan teringat kisah tentara bergajah yang akan menghancurkan Ka'bah, yang akhirnya kalah oleh serangan kerikil yang dilempatkan oleh burung ababil. Ketika menulis bagian paragraf ini, saya sambil memandangi seekor anak burung Sriwiti yang terjatuh di samping kanan saya, nampaknya nabrak tembok alukubon atau tali sling baja entah dari lantai berapa, sedangkan saya sedang duduk di lantai dua. Yang lalu saya pungut, saya biarkan menguasai diri dulu di dalam sebuah botol plastik ukuran besar yang diberi banyak lubang angin. Meskipun saya sangsi, kalau benturannya keras apa dia bisa bertahan hidup? Dan saya berdoa, kalaupun mati, semoga pulang dengan lapang.

Di Indonesia, siapapun kenal kisah Malin Kundang. Anak durhaka yang dikutuk jadi batu itu. Saya sendiri menonton pentas teaternya untuk pertama kali di kelas 5 SD. Saat perpisahan kelas 6. Acara 'samen', waktu itu disebutnya. Mereka bikin pertunjukan teater yang dusutradarai Pak Yono. 

Belakangan ini kisah Malin Kundang juga muncul dalam anekdot iklan di TV. Tetapi seperti disertai pesan, ibu jangan mengutuk atau terlalu mengutuki anaknya. Yang tentu saja mendatangkan rasa sangsi, apakah generasi muda kita hari ini hanya bisa melek dari sebelah logika. Sedangkan hikmah yang lainnya dibuang? Padahal di jaman dulu lebih kontemplatif dan menguasai semuanya?

Bahkan ketika ada yang nyeletuk, Rosulullah terlalu buru-buru mengaku Rosul, padahal dia belum kenal kemajuan-kemajuan yang lain. Mungkin oleh anak nakal bisa dirambahi kalimat, Rosul belum kenal komputer. Mereka ini jelas-jelas melupakan dua hal. Pertama, Rosul kenal api dan besi sebagai sesuatu dengan hukum dan angka-angkanya. Api dan besi itu menurutnya berkalimat seperti benda-benda lain yang juga berkalimat. Kedua, mereka ingkar, bahwa kerosulan itu menguasai zaman. Ketika hari ini ada yang menguasai komputer, bagaimana Rosulullah tidak? Dia justru selamat di atas penguasa-penguasa komputer yang sesat. 

Begitulah hikmah yang terputus. Samudra keharuan. Begitupun kita bisa lupa pada isi pesan Malin Kundang. Disangka-sangka pakai logika sederhana, ibunya tukang mengutuk. Sehingga membuat cerita itu cerita rakyat yang tidak bijak. Tidak Islami. Harus masuk box, MENOLAK TRADISI. Ada yang berpendapat, padahal mestinya anaknya didoakan siang malam supaya kembali ke jalan lurus. Lalu siapakah yang membutakan hikmah di sebelah kanannya, sehingga mereka cuma mengambil yang di kiri saja?

Padahal semua ibu yang dimuliakan Allah seperti ibunda Malin Kundang, beserta para pengagum kisah ini, pasti akan selalu berdoa siang malam untuk anak-anaknya. Agar selalu selamat dan sudi memilih jalan pulang. Meskipun anaknya melawan, jahat dan malah meninggalkan. Memang itulah yang terjadi. Tetapi para soleh telah sepakat dengan seluruh Nabi dan Malaikat, bersatu kalimat, "Jika kamu (anak manusia) tidak taat kepada Allah dan tak mau kembali ke jalan lurus, maka akan tiba saatnya kamu menyesal seumur hidup". Dan itulah makna berubah jadi batu. Keras dan sombong dalam durhaka sampai celaka dan matinya. Kalimat para Nabi dan Malaikat itu pula yang disebut sebagai kutukan. Bukan sembarang umpatan. Padahal sampai detik terakhir kematian anaknya, seorang ibu pasti menunggu anak-anaknya pulang sebagai hamba Allah penuh cinta.

Tetapi untunglah, anekdot iklan itu terhenti pada momen ibunya diminta untuk rileks. Jangan emosional dan stres. Yang artinya, memang harus begitu, meskipun kutukan waktu tak pernah mau menunggu. Tak bisa dicegah. Karena itu kalimat Allah, jauh sebelum si ibu mengetahuinya. Dalam dunia pewayangan kutukan itu juga berlaku pada Aswatama yang dalam perang membunuh orang Pandawa yang sedang tidur. Sebuah kelicikan yang jauh dari Ksatria.

Singkatnya. Ketika ada seorang perampok yang bengis jatuh binasa dalam suatu kecelakan mobil, dalam suatu aksi kejar-kejaran dengan petugas. Maka sesungguhnya kalimat kutukannya berbunyi, "Telah terkutuk kamu, sejak perencanaan kejahatan hingga binasa dalam kecelakaan setelah perampokan yang bengis karena kamu tidak mau kembali". Padahal seluruh hamba Allah, termasuk aparat itu, selalu berharap jauh-jauh hari agar dia kembali ke jalan lurus. Lalu siapa yang mengeluarkan kutukan itu? Itu kalimat Allah yang teramini. Dalam kalimat kutukan yang lain, "Maka kamu (dan pengikutmu yang sejahat denganmu, sebagai umurmu), akan melayang-layang sengsara ruhnya sebagai ruh yang tidak diterima karena berat beban dosanya".

Dalam kisah hikmah, di atas sebuah makam keramat, ketika melintas binatang terbang, dia bisa jatuh dan binasa. Setidaknya menurut saksi mata pernah beberapa kali hal itu terjadi. Dalam kisah lain pernah ditemui ular mati. Tentu untuk makam-makam yang terawat baik, matinya binatang itu bisa berjarak beberapa meter dari titik makam utamanya. Dalam kisah itu terkandung juga pesan, kesombongan binatang dan sikap masabodoh seseorang yang anti prikemanusiasn, akan menjatuhkan dan membinasakan dirinya karena dosa-dosanya. Itu kutukan siapa? Masihkah kita akan mengatakan salah kepada Ibunda Malin Kundang dan para pengagum kisah itu? Kisah yang justru mengandung kearifan dan kecerdasan lokal itu? Sementara Allah meminta agar kita mengambil hikmah dari setiap perumpamaan-perumpamaan. Lalu di mana posisi Dinas Pendidikan sebagai pencerah di depan bacaan anak-anak yang demikian?

Dari sudut pandang lain, dalam rangka melewati semua gambaran, soal burung jatuh ini juga berlaku garis lurus. Penyuka dan pemelihara burung yang lurus akan melihat ciri-ciri penyuka dan pemelihara burung yang jatuh binasa. Penyuka dan pemelihara binatang (apapun) yang lurus akan melihat ciri-ciri penyuka dan pemelihara binatang yang khianat dan jatuh binasa. 

Dalam tulisan pendek ini kita sudah mengelana singkat pada perjalanan memahami batu. Kode pada batu. 

Pengalaman saya dan banyak orang yang sering wisata ke pantai Palabuhan Ratu dan Pantai Minajaya, tentu selalu menikmati berfoto-foto di atas batu karang dan berjalan-jalan di laut dangkal yang di bawahnya batu-batu karang dengan banyak ikan-ikan kecilnya. Sampai suatu ketika, saking asyiknya menikmati macam-macam ikan di sini dan di sana, saya terpeleset dan celana lebaran pun robek oleh batu karang.  Rasanya hati kita bukan tambah keras, tetapi tambah lembut di situ. Sebab laut senantiasa megajari nenek moyang kita, nenek moyang Nusantara, dan nenek moyang manusia di bumi, menjadi manusia karang yang budiman. 

Dulu di tahun 89, waktu masih berseragam putih-abu, saya menulis cerpen pop di koran Inti Jaya. Judulnya Karang Kurang Kering. Terinspirasi, setegar dan sekering karang pun, pada waktunya akan kita sebut serba kurang. Yang sesungguhnya cuma cerita sikap manusia (pemuda) yang kurang teguh pada keyakinannya, sehingga mudah goyah atau terlambat bersikap, meskipun lebih baik terlambat daripada tersesat. Tentu, itu cerpen percintaan seperti yang juga banyak ditemui di majalah Anita Cemerlang dulu. 

Maka diam-diam, setiap bicara batu, kita nampaknya sedang bicara rumah. Rumah diam. Rumah diri pribadi. Tempat istirahat dalam pergolakan hidup siang malam. Ya, rumah kita. Tempat tafakur. Bahkan sampai ketemu pada nilai-nilai batu nisan, nilai batu makamnya. Yang pada suatu ketika pernah menginspirasi saya menulis puisi pendek: kematian siapa/ kembang tujuh rupa?//

Maka menziarahi makam Rosul dan Makam Wali, juga makam hamba-hamba Allah yang soleh, tentu harus  dengan tidak mengabaikan pesan-pesan mulianya pada apa dan siapapun di situ. Termasuk pada batu makamnya. Seperti kita juga bicara keramat sendal dan pedang Nabi. Asalkan tidak bersikap melebihi dari kehendak yang diridoi Allah. 

Burung yang tadi menabrak tembok alukubon atau tali sling baja itu ternyata mati. Atau sudah sampai di alamat matinya. Sedangkan menabrak tembok alukubon atau tali sling cuma jalan cerita hidupnya. Ya. Selamat jalan, sahabat kehidupan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG