SAYAP KANAN

GOYANG DAYUNG*)

mendayung perahu
menemui pulau-pulau

seperti melingkari bola
di setiap persegi mata siapa?

Kemayoran, 13 09 2018
#puisipendekindonesia
------ 

SAYAP KANAN
Cerpen: Gilang Teguh Pambudi

Sore pulang latihan, langit yang berkeringat turun di beranda sebelum mandi. Jingga dan indah. Sepasang sepatu dan beberapa perlengkapan tergolek lemas pada ubin di sampingnya. 

"Dua minggu lagi", kata sepatu kiri. Memecah bahu Septa yang seperti mendadak disentuh angin yang berhembus sedikit lebih cepat. Angin yang sudah lebih dulu berkostum Tim Nasional.

"Ya, laga persahabatan penting melawan tim kuat dari Afrika", Septa menyentuh sepatu itu. Pertama lembut, berikutnya seperti mencengkram. Sebab sudah sangat lama ia merindukan terpilih dalam skuad Tim Merah Putih. Tidak cuma sampai batas ikut seleksi.

Seperti yang sangat tahu, tas bahu di samping sepasang sepatu itu ikut menimpali, "Sebenarnya, meskipun kita belum sempat lolos, bisa dua kali dipanggil ikut seleksi Timnas Garuda sungguh suatu prestasi yang luarbiasa. Bayangkan, berapa banyak pesepakbola lain yang ngantri pingin dipanggil ikut seleksi? Apalagi ini negara besar dengan lebih dari 250 juta jumlah penduduknya".

Bagi Septa yang sudah merasa diajar sekaligus dihajar waktu, untuk mengerti apa arti potensi dan kualitas diri, sepakbola adalah ruang prestasi sekaligus profesi. Melalui pergulatan di lapangan hijau, dia telah beberapa kali menjadi juara bersama tim lokal di daerahnya. Meskipun secara kebetulan belum pernah merasakan juara nasional setelah gabung di Liga Utama. Tetapi setidaknya, sebagai kondisi sementara, itu prestasi yang bagus buat dirinya. Sebab dari situ namanya mulai populer dan dielu-elukan suporter.

Sebagai profesi, tentu ia telah menikmati hasilnya. Bola terbukti bisa menghidupi diri dan keluarganya. Sebab ia pemuda yang tahu, kekhawatiran orang tua yang terbesar adalah ketika anaknya terlanjur menggeluti sesuatu yang seolah-olah melemparkan diri dari peluang lain yang semestinya dipilih. 

Di usia anak-anak ia masuk dunia bola dengan rasa sukacita, sebagaimana layaknya anak-anak seusianya yang hobi main bola. Ini argumentasi awal yang universal, sebab siapapun penduduk bumi ini sangat halal punya hobi main bola. Apalagi sepakbola adalah jenis olahraga yang baik, sekaligus permainan yang merakyat dan menyenangkan. 

Garis mudanya telah menulis pada jam-jam latihan dan kompetisi antar kampung, bahwa dia selalu menonjol. Padahal bukan penyerang utama dan tidak banyak mencetak gol. Ia hanya sayap kanan yang gembira dan gagah perkasa. Bertanggungjawab pada posisinya. Seperti tengah membenarkan falsafah hidup, posisi adalah panggilan hidup siapapun. Dan dari titik itu setiap orang akan bermanfaat apa saja, bahkan boleh tebar pesona untuk kebaikan di bumi Allah. 

Lalu seorang pemandu bakat menyarankannya untuk lebih intensif ngaji kemampuan melalui sekolah bola meskipun sedikit telat. Tidak dari awal. Tentu, dia seseorang yang sensitif, yang tahu persis kegunaan seorang pemain, bahkan tahu gunanya sayap kanan. Lebih jauh dari itu, dia merekomendasikan untuk dikenali oleh tim lokal di daerahnya. Itulah awal yang menggembirakan. 

Sebagai generasi sepakbola modern, sesungguhnya Septa sejak mulai tanding bola di usia anak-anak sudah biasa berposisi di manapun. Bahkan pernah mengalami menjadi penjaga gawang. Sebab baginya segala posisi itu baik-baik saja. Sama saja. Tetapi kecepatan waktu melipat kain sajadah selalu jauh lebih cepat daripada seseorang yang setiap hari mendirikan sholat. Begitu pula waktu telah mengambilnya untuk menonjol di tampuk kekuasaan kanan.

Setelah libur lebaran kemarin, hari ini adalah hari pertama ia berlatih lagi bersama tim lokalnya karena Liga Utama akan segera bergulir lagi. Tetapi dia sudah pasti gak akan ada disitu sementara. Besok harus sudah terbang ke Jakarta memenuhi panggilan untuk pemusatan latihan Timnas yang akan segera mengumumkan skuad utamanya. Sebelum laga ujicoba pertama lawan tim dari Afrika.

Maka malam ini adalah malam penuh impian, meskipun ia nampak tidak terlalu emosional, meskipun wajar punya ambisi prestasi. Ia ihlaskan semuanya kepada Allah. Bahkan masih ada doa lapis dua selain harapan pertama, seperti pertahanan di lapangan saja. Kalaupun belum lolos seleksi untuk keduakalinya di tahun ini, ia masih berharap bisa terpangggil pada momen-momen penting berikutnya.

Belum juga sempurna mengatupkan mata, tiba-tiba Septa seperti mendengar suara gorden jendela kamar yang bergoyang. "Ibumu memanggil, Septa". Maka ia pun bergegas bangun. Benar saja tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh ibunya. "Septa, kita harus antar Bapak ke rumah sakit sekarang juga. Bapak butuh penanganan segera". 

Tanpa banyak cakap Septa, ibunya dan adik perempuannya pun segera ke rumah sakit dengan naik taksi. Ini adalah kali kedua dalam sebulan terakhir bapaknya dibawa ke rumah sakit. Dia memang sedang sakit serius.  

Setelah melewati jam tiga dini hari kondisi bapaknya mulai sedikit membaik. Meskipun dokter menyebut, tetap harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Itu jelas membuat Septa semakin ingin dekat dengan bapak yang sangat dicntainya. Buktinya dalam duduk pun ia memilih sangat dekat dengan wajah bapaknya, sesekali turun ke kakinya untuk memberikan pijitan-pijitan yang diharapkan bisa mendatangkan ketentraman hati. 

"Septa, ibu sampai lupa. Kamu kan besok ke Jakarta. Itu sangat serius. Urusan Tim Nasional. Kamu pulang dan istirahat saja di rumah, biar ibu sama adikmu yang menunggui bapak. Selain itu, nanti ibu bisa menelpon famili kita yang lain untuk menemani jaga", Ibunya Septa tiba-tiba teringat agenda anak laki-lakinya.

"Gak Bu. Saya harus ikut jaga malm ini. Soal tidur, yang penting bisa merem sebentar sambil duduk", Septa berusaha meyakinkan ibunya.

Sebenarnya ibunya ingin memaksanya pulang, tetapi dia tidak tega juga. Bagaimanapun dia sangat tahu kedekatan Septa dengan bapaknya yang juga suka mengajaknya main bola sejak kecil. Dan terus memberikan motivasi selama Septa menunjukkan tanda-tanda positif di dunia sepakbola. 

Sehabis subuh adalah waktu yang sangat berat. Jam tangan pun seperti sakit dan diinfus. Sampai dinding mushola rumah sakit harus menenangkan hati Septa, "Ini cobaan yang berat. Tetapi kamu anak laki-laki yang baik, yang sangat dipercaya bapakmu. Dengar juga nasehat ibumu".

Lorong rumah sakit seperti melebar ketika Septa melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit setelah mengecup kening bapaknya dan mendengarnya berpesan lirih, "Langkahmu langkah bapakmu, Septa. Jangan takut gagal".

"Benar. Selalu laki-laki. Jangan takut gagal", ibunya menegaskan sekali lagi kalimat suaminya yang mulai bisa bicara meskipun lirih.

Beberapa jam kemudian dia sudah di Jakarta menjalani pemusatan latihan sambil menunggu pengumuman hasil seleksi. Proses yang terus diikutinya dengan sangat serius. Selalu dengan salahsatu spiritnya, demi bapak tercinta yang sedang sakit.

Di hari ketiga, ia menemui detik-detik yang menentukan, udara Jakarta bergetar di atas Monas. Seekor burung dara warna putih hinggap di kursi stadiun. Tiba-tiba air mata runtuh di kedua pipi Septa, sebab berbeda dengan seleksi dua tahun lalu, kali ini dia lolos masuk dalam skuad Tim Nasional Indonesia. Sesuatu yang sangat luarbiasa dalam hidupnya. Sejarah yang mustahil dihapus dan dilupakan.

Kabar kesuksesan menembus tim nasional ini pun segera diberitahukannya kepada ibunya yang masih di rumah sakit. Tentu mendapat sambutan sukacita luarbiasa. Terlebih-lebih ibunya juga punya kabar gembira, bapaknya besok sudah bisa pulang ke rumah karena kondusinya terus membaik.

"Trimakasih, Bu. Tolong sampaikan juga trimakasih buat bapak. Salam cinta buat adik", Septa terbata dalam mata berkaca-kaca.

Tiba-tiba terbayang segala kenangan indah di masa kecilnya. Ketika bapaknya selalu mengajaknya main bola plastik di pekarangan rumah. Lalu mengikutkannya dalam kompetisi sepakbola Agustusan di lingkungan RW untuk anak-anak di bawah umur 10 tahun.

"Bapak gak maksa kamu jadi pemain bola. Itu soal lain. Ini kan cuma kegiatan olahraga yang menyenangkan. Itu saja. Tapi kelak setelah kamu dewasa, Bapak akan sangat senang kalau kamu bisa menemani anak-anak kampung bikin kompetisi seperti ini". Begitu nasehat bapaknya ketika Septa mengikuti pertandingan sepakbola antar kampung kelompok usia SMP.

"Nampaknya semakin hari sepakbolamu semakin menonjol saja. Teruslah berlatih dan berharap. Itu garis tangan namanya. Tetapi terus nomor satukan urusan belajar", begitu nasehat bapaknya setelah dia dkk mulai menjuarai beberapa kompetisi antar kampung (tarkam), lalu masuk sekolah bola dan menjuarai beberapa kompetisi juga. Bahkan tembus jadi pemain profesional kebanggaan daerahnya. 

Sampai tibalah di titik dunia yang serba pertama. Seminggu kemudian setelah pengumuman resmi lolos seleksi. Untuk pertamakalinya Septa memakai kostum tim nasional Indonesia. Untuk pertama kalinya dia akan menjadi sayap kanan Garuda. Dan untuk pertama kalinya menyanyikan lagu Indonesia Raya, meskipun di laga persahabatan melawan tim dari Afrika.

Tiba-tiba muncul rasa malu yang besar dalam dirinya, malu gagal. Betapapun harus tegar menghadapi setiap kegagalan. Mungkin sebagai kesan pertama.

"Kata ibu, simpan 'bismillahmu' satu jari di atas kepala", lengan kiri kaosnya mengingatkan.

"Teman-teman di kampung kelahiranmu mengadakan nonton bareng, Bro", kata logo Garuda di dadanya.

"Selalu laki-laki yang tegak kata bapak", merpati putih itu seperti sudah seminggu ada di stadiun, terus mengawasi dan banyak berpesan.

Lalu melajulah menit-menit awal yang kejam. Berlari dari daerah tertekan, menyusuri kekuasaan kanan, berjibaku sampai rubuh, melesak sampai ke ruang tembak terakhir atau mengoper teman, adalah keperkasaan pengembara Sabang-Merauke Indonesia. Septa seperti menggenapkan telapak kaki ke Indonesiaannya.

Stadiun naik tujuh meter, gemuruhnya menimbulkan getaran dasyat. Langit seperti cermin raksasa yang memantulkan lautan merah suporter. Matahari sore bergoyang dan meneteskan keringat. Dan drainase di sudut stadiun pun tak perduli warna coklatnya, dia terus saja berteriak-teriak merasa merah Indonesia juga. 

Dan menit ke tujuhpuluh datang seperti tiga orang berjubah membunyikan lonceng raksasa yang menggantung dari langit. Stadiun senyap dalam satu-dua detik.

Septa berteriak, "Ini untukmu, Kawan!" Dia melambungkan bola ke arah striker di sudut kanan gawang lawan. Dan malaikat bergegas membuat garis lurus ke arah gawang sampai buku tebal di tangan kirinya terpental karena terlalu semangat. Gol pun tercipta dari tendangan kaki yang paling sempurna.

Dan garis lapangan berubah merah sampai selesai. Para suporter itu seperti membentuk puzzle pulau-pulau dari seluruh Indonesia. Bhineka tunggal ika. 1-0 untuk kemenangan Indonesia.

Di kamar ganti Septa melepas kaosnya. Sampai kaos itu berteriak, "Keringat yang sempurna, Beb". Dan cepat-cepat ia menyentuh layar HP. HP itupun sempat menyapa, "Hey, tanganmu segar bau rumput". Ditemuinya wajah keluarganya. Diciumnya wajah bapak, ibu dan adik perempyannya. Hatinya menggelora Indonesia Raya. Sementara di luar sana masih terus bergemuruh.

Sebelum kembali ke basecamp, untuk membangun semangat baru menjemput ujicoba kedua nanti, Septa sengaja berdiri di tengah bis dan berseru dalam hati, "Tidak ada coba-ciba untuk Indonesia, meskipun dalam partai ujicoba!"

Lelaki kampung itu memandangi satu persatu wajah teman-temannya. Wajah para petarung yang hebat. Ditatapnya seksama sang pencetak gol satu-satunya. Dihampiri dan dirangkulnya sekali lagi. Lalu berbalik melihat kapten timnya. Bergenggaman tangan erat-erat. Lalu pergi ke tempat duduknya sambil menyapa teman di sebelahnya, "Kamu bikin aku gila, di luar lapangan tapi nyawamu di tengah lapangan". Dia tahu, yang duduk di sebelahnya adalah pemain pengganti yang tidak sempat diturunkan.

"Melihatmu mengoper bola tadi, kakiku yang merasakan surga semuanya", balas temannya.

Malam pun datang. Waktunya tidur. Septa seperti merebahkan diri di tengah stadiun yang sudah ditutup bendera merah putih. Langit kamar seperti langit luas, dengan gambar peta Indonesia yang membentangkan juga seluruh gambar video keluarga, peristiwa kanak-kanak, cerita kampung, dan luasnya daratan serta lautan Nusantara.

Besoknya seluruh koran, majalah, TV, radio, dan media internet memberitakan kemenangan tim nasional. Dan itu artinya untuk pertama kalinya namanya muncul dalam pemberitaan Timnas seperti itu.

Singkat kisah. Pada laga ujicoba kedua melawan tim Asia dan ujicoba ketiga melawan tim dari Eropa, Septa dkk memetik hasil yang tidak buruk, menang dan seri. Tentu menjadi motivasi besar untuk memasuki perhelatan Piala Utama Asia Tenggara yang ditunggu-tunggu.

Dan benar saja. Pada laga pertama fase grup, Tim Nasional berhasil menumbangkan lawan dengan skor meyakinkan, 3-1. Bahkan Septa ikut menyumbang satu gol yang ditendangnya dari sudut sempit sebelah kanan, di dalam kotak finalti. Maka tak ayal lagi banjir pujian melalui media sosial pun tidak pernah kering sampai menemui laga ke dua fase grup. Tetapi Septa selalu mencoba bersikap tenang dan fokus. Ditambah lagi pelatihnya adalah seorang yang mampu meredam emosi para pemain sehingga tetap berada pada tingkat konsentrasi yang tinggi.

Hasil dari beberapa laga di fase grup, akhirnya menempatkan Tim Garuda pada puncak grup. Otomatis tembus ke semifinal. Ini termasuk laju yang mulus tentu saja.

Tetapi apa arti gulita? Siapa bisa menerjemahkannya? Jelang babak semifinal itu Septa mendapat kabar bapaknya meninggal dunia. Padahal kali ini tidak ada tanda-tanda kesehatannya memburuk. Dia sempat terpukul luar biasa dan langsung bertukar fikiran dengan pelatihnya soal rencananya untuk segera pulang. Ia sangat ingin melihat jasad terakhir bapaknya, atau ikut menguburkanya, atau setidaknya berada di tengah ibu dan adiknya yang berduka di hari kepergian bapak.

"Kami mengerti, pilihan terbaik bagimu adalah pulang", begitu nasehat asisten pelatih. "Kecuali, jika kamu merasa kuat dan yakin, bahwa doa ayahmu yang akan memberikan kekuatan padamu untuk Indonesia. Sebab peristiwa seperti ini jelas jarang terjadi pada pemain tim nasional yang sedang menjalani kompetisi penting. Ini sungguh-sungguh peristiwa luarbiasa. Berfikirlah dan ambil keputusan setenang mungkin".

Dari seberang telpon ibu dan adiknya terus memotivasi Septa agar jangan panik di saat-saat seperti itu. Di sela-sela pembicaraan itu, ibu dan adiknya juga mengirim video dan foto saat-saat terakhir kondisi bapaknya. Bahkan proses penanganan jenazahnya di hari-hari terakhir itu. Sehingga meskipun berjarak jauh, Septa merasa seperti berada di tengah-tengah mereka. Meskipun hal itu belumlah cukup untuk mengatasi kesedihan hatinya.

"Bagaimana?" tanya pelatih, menjelang sore sehari sebelum puncak semifinal. "Menurut strategi yang sudah final, kamu tetap berpeluang besar untuk diturunkan di semifinal, bahkan mungkin tetap akan begitu jika masuk final nanti. Tetapi tentu kamu yang lebih tahu suasana kesiapanmu sendiri akhirnya. Bukan tim pelatih. Ini soal kemanusiaan. Perlu kami bicarakan. Betapapun di medan peperangan setiap prajurit pasti berprinsip menuntaskan tugasnya".

Septa tertunduk, matanya masih berkaca-kaca. Lalu ia memejamkan mata sejenak dan menarik nafas agak dalam. Pemandangan stadiun dalam benaknya, dirasakannya sebagai hamparan pemakaman umum dengan kemboja-kemboja putih yang tumbuh dan gugur dalam ketenangan yang menyedihkan.

Penuh perasaan keduanya bicara. Seperti adik kakak saja. Bahkan ketika Septa pamit sholat magrib dulu, sang pelatih yang beda agama itu setia menunggu. 

"Aku siap bermain demi Indonesia", tegasnya kemudian. Membuat seluruh lampu stadiun jam tujuh malam yang hening itu seperti tiba-tiba menyala lebih terang. Bahkan di seluruh stadiun yang ada di seluas Indonesia. Meskipun senandung pemakaman itu akan menggemuruh menggelombang sangat kuat. 

"Dan kalaupun keadaanmu seperti dimanfaatkan, karena bisa mendapat motivasi tinggi di saat yang justru kurang tepat, rasa-rasanya itu akan terkesan pemaksaan dari kami", Asisten pelatih Timnas sangat khawatir. Wajar ingin terlepas dari beban kesalahan.

"Masalahnya sekarang, saya yang tidak mau kalah. Bukan sekadar persembahan untuk bapak di surga, bukan semata terbakar itu, tetapi ini adalah momen yang sudah diihlaskan oleh bapak saya kalau saja dia bisa bicara dari langit". Septa nampak sudah mulai bisa menguasai diri. Apalagi adik dan ibunya juga mendukung penuh. Mereka malah akan tambah sedih kalau Septa terombang-ambing perasaannya. Menjadi bukan laki-laki.

"Bapak saya sempat bernasehat kepada adik dan ibu saya sehari sebelum meninggal. Dia akan sangat bangga kepada saya, ketika tetap berada di tengah lapangan bersama timnas kali ini, meskipun pada partai kemenangan puncak nanti tidak dimainkan oleh pelatih". Septa terdiam sejenak. Lalu menatap ke arah asisten pelatih, "Saya bertahan karena wajib bertanggungjawab. Itu saja. Bukan karena dimainkan atau meminta untuk dimainkan. Soal termotivasi oleh kematian bapak, itu akan dirasakan oleh siapapun. Bukan keadaan yang wajib dibeli".

Sang asisten pun menepuk-nepuk bahu Septa. "Padahal kamu belum nikah. Tapi kamu sempurna bicara nilai-nilai hidup kepada kami yang lebih tua. Subhanallah. Tetaplah gagah Orang Muda!"

Hingga sampailah di hari gemuruh nasional itu. Sebelum laga semifinal dimulai, di kamar ganti terdengar suara dari dalam tas. "Hei hei hei, susah payah bapak membeli aku untukmu!" Ternyata suara minyak rambut yang sengaja jarang dipakainya biar awet. Tetapi kali ini adalah waktu yang paling spesial karena itu adalah hadiah ulang tahun dari bapak setahun lalu. Apalagi pelatih meyakinkan, seperti biasanya, dia diturunkan dari menit pertama sebagai sayap kanan Garuda.

Memasuki stadiun, dalam seremoni menuntun anak kecil, Septa merasakan seperti bapaknya ketika menuntun dirinya di pekarangan rumah dulu, sebelum main bola plastik seperti tergambar dalam foto-foto kenangan itu. Dan gemuruh ribuan suporter kali ini mungkin adalah keheningan yang telah meledak dari bunga-bunga dan pepohonan, juga barisan kemboja. ***** 

Kemayoran, 13 09 2018

*) Terinspirasi goyang dayung Presiden Jokowi

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG