INI SELOROH, SENIMAN KOK NETRAL?

TAHUN POLITIK

mumpung tahun politik
aku sudah mengantongi nama
bahkan di pangung pun berani teriak terbuka
segera kirimi aku lagu damai tanah air
untuk menikmati Indonesia
yang merdeka berbuat baik apa saja
merdeka membangun kebaikan apa saja
merdeka membenci kebohongan apa saja 
sebab aku rakyat Indonesia
yang sedang menikmati tahun politik
waktunya berpesta demokrasi 
karena aku sebuah nama

Kemayoran, 12102018
#puisipendekindonesia 
-------

Beri saya lagu ini:

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Lalu saya akan teringat romantisme masa lalu yamg saya andaikan peristiwa hari ini. Jujur, saya pernah tidak tahu-menahu siapa pencipta lagu Tanah Airku itu. Yang jelas saya dengar sejak era Orde Baru. Dan saya juga tidak tahu menahu, penciptanya atau penyanyinya di TV dan radio itu pro ke partai mana? Mungkin cenderung ke Golkar. Rasanya agak mustahil kalau ke PPP atau ke PDI. Atau netral karena dia seniman? Tapi apa seniman wajib selalu netral? Atau, seberapa netralkah seniman? Sebab sikap-sikap manusia itu selalu punya kecenderungan. Meskipun bisa juga cenderung pada impian politiknya sendiri karena belum percaya kepada yang ada. Kecuali setelah muncul di belakang hari.

Ilustrasi itu mengisyaratkan, bahwa psikologis saya masih bisa dibeli oleh rasa kemanusiaan dan rasa kebangsaan yang normal meskipun sedang hidup di tengah suasana tahun politik. Baik dulu maupun hari ini.

Saya akan masa bodoh kalau lagu Tanah Airku itu diumpamakan lagu baru dan diciptakan dan dinyanyikan oleh pendukung capres Jokowi maupun capres Prabowo. Sebab saya sedang menikmati enaknya dan pesan lagu itu. Bukan mengikuti kecenderungan politik pencipta dan penyanyinya. Bahkan saya sendiri pada saat itu bisa jadi sedang bersebrangan kecenderungan politiknya.

Bahkan kalau setelah peristiwa tahun 1965 pemerintah Orde Baru tidak senang lagu Genjer-Genjer yang konon identik dengan PKI. Saya masih bisa diam dulu. Memaklumi situasi yang berkembang saat itu. Sampai waktunya tiba, saya akan menyukai lagu itu sebagai sebuah lagu saja. Lagu tradisi-pop rakyat yang enak didengar, bertemakan kehidupan rakyat sehari-hari di zaman sulit. Di masa penjajahan.

Dan untuk setiap ketidaktahuan saya atas nama dan kencenderungan politik pencipta dan penyanyi dari suatu lagu seperti di era Orde Baru dulu, saya akan lebih masabodoh, lebih leluasa lagi bahkan. Yang penting lagu itu sanggup meruntuhkan keangkuhan saya untuk teduh hati dan membara cinta Allah dan cinta tanah airnya. Subhanallah.

Jadi siapa yang benci Prabowo atau benci Jokowi? Ya, saya di tahun 2018 memang sangat mendukung capres petahana, Jokowi untuk terpilih lagi. Pertimbangannya logis dan strategis. Tanpa harus mengumbar kebencian pada lawan politiknya yang serba tidak perlu. Apalagi saya konsisten pada keputusan konstituai, bahwa semua calon sah adalah yang terbaik untuk bangsa ini hari ini.

Bahkan saya berani berseru di tulisan ini kepada pembaca, "Ntar di TPS pilih Jokowi ya!" Saya tidak sinis apalagi sadis. Seruan model ini justru saya buat sambil senyum manis.

Apakah saya perlu takut, nanti kalau Prabowo yang terpilih saya bisa 'dihabisi'? Itu urusan Prabowo jika saat seperti itu tiba. Tapi kita kan percaya negara ini negara hukum. Dan Prabowo justru maju 'nyapres' secara konstitusional. Yang artinya, tidak ada yang perlu ditakuti.

Tetapi saya harus yakin, Jokowi bisa menang lagi.

Ketika ada seorang teman berseloroh di media sosial, "Kenapa tidak dukung Prabowo?" Saya jawab, "Saya pernah dua kali mendukungnya. Saat jadi cawapres Megawati, dan saat nyapres berpasangan demgan Hata Rajasa. Salahnya, kenapa dia gak terpilih sampai dua kali? Berarti saya boleh berfikir, masa memberi kesempatan itu sudah cukup. Dan saya tetap hormat dan mencintainya. Tetapi akhirnya, Jokowilah yang lebih menjanjikan untuk negri ini hari ini.

Tetapi kalau saya tidak pernah mendukung dia di dua pemilihan sebelumnya, saya pasti akan menjawab, "Saya sudah menerimanya secara konstitusional sebagai cawapres maupun capres. Sehingga kalau waktu itu dia terpilih, saya akan sangat bersyukur meskipun saya tidak pernah mencoblos namanya di TPS".

Begitulah etika demokrasi saya. Sehingga waktu pertama kali SBY terpilih jadi presiden, saya pun sedang mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Saya bukan kubu pemenang. Dan tak ada rasa bersalah pada diri saya. Bahkan ketika ada yang berbisik, "Ada Imam Mahdi pada figur SBY'. Saya tersenyum.

Kalah menang dalam pesta demokrasi itu wajar. Bahkan semestinya kita selalu merasa menang, sebab kita sudah sepakat atas konstitusi kita. Ya, seperti di hari ini. Maka saya bilang, "Jokowi harus menang". Ini cerdas dan terbuka. Bukan karena saya mustahil bisa belajar naik motor kalau tidak ada tril. Maklum, bapak saya sebagai sinder perkebunan kalau gak pakai tril ya pasti selip. Lalu sekarang saya milih Jokowi yang doyan naik tril. Tentu tidak sepragmatis itu. Meskipun saya dan Jokowi sama-sama tukang nge-tril dari kecil.

Yuk kedua kubu, kita nyanyi bersama, meskipun sudah tahu dukungan saya:

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG