LAUTAN AIR MATA DAN SUKACITA TAHUN BARU

LIBUR TAHUN BARU 

ayo Nak, kita ke pantai
dan memang harus ke pantai 
memburu kenanganmu
sebab bosan melayari airmata
penuhi saja bola matamu
dengan kebahagiaan pasir
di sini Allah kasih murah
angin dan pemandangan laut
batu karang kita lompati dengan perkasa
melepas senyum langit sebisa-bisa 
ayo kita bisiki malaikat
tentang tahun baru persegi empat

Kemayoran, 13112018
#puisipendekindonesia
------

Desember selangkah lagi. Berarti tahun  baru datang lagi. Sudah punya event tahun baru? Atau sudah punya rencana acara apa? Mungkin karena sejak awal tahun 90-an saya sudah kerja di Radio, jadi biasa sensitif pada momen-momen tahunan apapun. Biasanya setiap pemrograman acara mulai saya rencanakan sebulan sebelum hari H, kecuali siaran langsung panggung besar di atas 10.000 penonton yang diselenggarakan sendiri, bukan kerjasama dengan panitia lain. Bisa 3 bulan sebelumnya.

Tapi seingat saya, waktu kecil dulu tidak terlalu terasa tahun baru di perkebunan. Tidak ada deretan pohon kopi, pohon cengkeh, bahkan pohon jeruk yang digundahkan oleh peristiwa persiapan tahun baru. Begitupun gambar-gambar hasil pertanian dan perkebunan yang saya baca di Majalah Trubus. Entahlah buat yang diam di kota. Apalagi waktu itu kami tidak termasuk keluarga yang nunggu-nunggu tanggal 1 awal tahun. Kalau tanggal Natal, 25 Desember, itu malah selalu terasa beritanya. Orang-orang Islam biasa menyebut, itu lebarannya orang Kristen.

Ini jujur. Sampai-sampai kalau anda bertanya kepada saya, "Kenangan apa yang paling saya rasakan di tahun baru waktu umur SD sampai SMA?" Saya pasti jawab, "Gak punya". Kecuali menonton semarak pergantian tahun di TVRI sebelum ada TV lain. Itupun saya anggap seperti acara hiburan biasa. Mungkin karena saya gunung. Saya udik. Meskipun bapak saya lahir di Bogor, pernah tinggal di kota Bandung, pernah kerja di Jakarta, yang terkenal sebagai kota maju ketika itu, terutama Jakarta. Sebelum akhirnya lebih menikmati semedi tanaman. Kedamaian yamg sejuk segar.

Jangan bilang, kasihan. Saat itu saya biasa-biasa saja. Sangat menikmati semuanya. Dua hari raya terbesar buat anak-anak di kampung saya saat itu adalah, Lebaran Idul Fitri dan Perayaan 17 Agustus. Kalau lebaran pasti makan enak dan pergi ke tempat wisata, kalau Agustusan ikut atau lihat pawai. Anak kecil mana yang tidak senang? Bukankah bahagia itu sederhana? Dan saya kira teman saya yang Kristen dan satu kelas saat itu pun begitu. Kebahagiaannya kalau Natal tiba dan Agustusan. Oleh karena itu saya heran kalau masih ada yang sulit nerima 17 Agustus sebagai hari besar bangsa Indonesia.

Kalau saja ada, ingin rasanya sekarang saya membaca amatan sastra yang mencatat kenangan tahun baru dalam sastra Indonesia, terutama era 1990 ke belakang. Sampai saat saya menulis ini, saya belum pernah baca itu.

Tapi anak-anak saya, sejak umur kelas 1 SD sudah melihat kembang api warna-warni di langit.

Kenapa selanjutnya tahun baru kian semarak? Entahlah. Apakah karena tingkat pendidikan masyarakat yang cenderung meningkat? Apakah karena kesejahteraan yang terus meningkat sehingga bisa pesta? Apakah karena kota-kota makin luas dan banyak, sebab pusat kecamatan pun sudah jadi kota-kota kecil? Atau cuma karena intensitas pergaulan internasional, meskipun melalui media, yang semakin tinggi? Silahkan anda jawab.

Saya jadi tertarik untuk cerita laut, air mata dan tahun baru.

Ternyata sedih itu tidak harus karena musibah, penyesalan atas dosa, atau miskin. Sebab hidup memang lautan air mata. Bayangkan, muda-mudi yang sampai umur 25-30 tahun belum nikah, apalagi belum punya pacar, biasanya cenderung dianggap bersalah. Padahal sejak kapan hal itu dikatagorikan berdosa? Tentu bikin sedih yang mengalaminya. Meskipun kita juga tahu ketakutan orang tua, saudara dan masyarakat. Jangan-jangan punya orientasi seks yang lain.

Itu satu analogi saja, analogi yang familiar dengan rasa muda, untuk menggambarkan bahwa dalam hidup ini ada ketersiksaan justru karena kebenaran dan kemuliaannya. Dan itu airmata.

Air mata yang paling nikmat adalah air mata pada saat kita bersyukur, memuji Allah, atau bersholawat Nabi. 

Bagi yang pernah membaca sejarah Nabi SAW, pasti bisa menemukan airmata Nabi di situ. Kebenaran dan kemuliaannya dianggap kekafiran. Bahkan sunahnya yang bernilai luas dianggap sempit, atau malah dipahami secara sempit, atau sengaja terus disempit-sempitkan. Sampai ukurannya cuma sebatas seorang Nabi yang otoriter dengan aturan-aturannya. Dan celakanya, beberapa pihak yang bermaksud membela Nabi, karena keterbatasan ilmunya, malah secara tidak sengaja mempersempit sunah Nabi. Sehingga menimbulkan fitnah. Seolah-olah Rasulullah SAW yang salah. Padahal ada keterbatasan pada tokoh-tokoh tertentu.

Tulisan ini saya buat empat hari menjelang peringatan Maulid Nabi SAW, 2018. Meremang airmata saya setiap sampai di titik air mata Nabi.

Ketika di satu sisi kita melihat, orang baik-baik bisa disalahkan dan sering kena fitnah dalam hidup ini. Kita juga melihat sisi lain, orang-orang berbahaya yang gemar menumpuk dosa justru dianggap benar. Dielu-elukan. Akibatnya di mata orang yang ngaji hikmah, keduanya adalah kedukaan-kedukaan. Air mata untuk kebenaran dan kemuliaan, dan air mata untuk terus-menerus menyesalkan suatu kedaan manusia.

Tentu menyesakkan kalau ada orang baik, yang memahami dan menjalankan kemuliaan agama secara kusyu dan istikomah, dihakimi karena dianggap berbeda. Padahal semestinya sudah tidak demikian, sebab pemahaman masyarakat terus maju. Bukan cuma tahun saja yang terus bertambah angkanya. Sebab sungguh sangat jauh jaraknya, bertolak belakang posisinya, antara yang paham agama dan yang melecehkan agama atau menyesatkan.

Sementara pada orang-orang yang suka mendulang dosa. Semakin besar saja dukungannya kepada mereka. Padahal bisa membuat suatu kampung makin tinggi maksiatnya. Berjalan perlahan atau cepat menuju kecelakaan sosial yang parah. Seperti pada kecelakaan kereta api, kapal laut atau pesawat terbang. Korbannya mayat-mayat bergelimpangan. Tetapi dalam hal ini mayat-mayat hidup yang selain mati hatinya juga berdampak mematikan para manusia, terlebih-lebih generasi baru yang masih lugu. Tentu menjadi bah airmata kita. Menjadi samudra.

Tetapi mengapa kita malah doyan debat kusir, mana sumber malapetaka dan mana bukan? Sebagai analogi, qosidahan yang sarat pesan moral itu dulu dicacimaki, semakin dibenci karena dianggap pinggul biduannya yang berjilbab itu sudah semakin bergoyang. Ditambah lagi sering disebut musik kampungan. Akhirnya terbantai. Tetapi setelah qosidahan punah, kita tak punya gantinya yang memenuhi daya pikat. Yang punya 'genit' sebagai pertunjukan di 'gerbang masuk sebelah luar'. Malah memanggil yang lebih parah dalam hajatan di rumah-rumah atau di panggung-panggung promosi. Kita serba terlambat. Nanti pun begitu. Ketika tari tradisi yang arif itu diusik, dangdutan rakyat yang punya goyang sekadarnya saja diribut-ributkan, nanti malah hilang goyang lembutnya yang eksotik. Tapi segera datang yang lebih parah. Misalnya 'diskotik liar' naik panggung hajatan, yang lebih berani buka-bukaan, bahkan melakukan adegan yang tidak senonoh. Penyebabnya karena kita sudah terbiasa berteriak-teriak tanpa punya gerakan sosial dan aksi seni yang menyelamatkan. Kalaupun ada upaya, hanya sebentuk ujicoba. Mungkin begini, mungkin begitu. Mungkin dengan ini, dengan itu. Berharap suatu saat pasti ketemu. Harus sabar. Sampai akhirnya kita telat lagi.

Dalam hal tafsir, kita terjebak tidak bisa memaklumi ini dan itu yang masih baik untuk masyarakat. Padahal dalam permakluman itu, kita toh tetap bisa khas sebagai pribadi atau kelompok dengan pilihan dan cara tertentu.

Ya, seni dan hiburan perlu saya bahas kali ini karena sudah dekat perayaan tahun baru. Buat para EO, masih ada waktu sebulan lebih.

Kemanakah semestinya airmata harian kita labuhkan? Tentu ke dalam keimanan. Ke dalam keyakinan. Bahwa kebaikan ini terus bekerja bersama Allah yang tak pernah tidur.

Berhibur yang baik dalam kedamaian itu pun ada rasa syukurnya, ada pesan nilainya, ada kegembiraannya, dan ada air matanya. Semua. Yang bentuknya bagaimanapun. Penggiat seni, masyarakat pencinta seni dan aparat hukum mesti tahu ini. Jangan gagap ilmu dan rasa manusia.

Bahkan negara harus fasih. Jangan sampai pada waktunya terjadi kesimpulan, kalau negara ini bisa terbebas dari nilai-nilai agama, semua bisa bebas merdeka, sebab nilai-nilai agama itu serba menghambat. Untuk itu agama perlu masuk ke dalam hati pribadi-pribadi saja. Jangan dipakai ngomong negara. Waduh. Ini tanda-tanda bahaya. Sebab ruh manusia, ruh masyarakat, jiwa bangsa, pasti lekat dengan spiritualitas.

Jangan sampai pula terjadi kesimpulan yang lain. Negara merasa telah mengakomodasi nilai-nilai agama. Tetapi ternyata salah tafsir. Atau cuma tersejak tafsir sepihak. Akibatnya masyarakat terpecah dan tersiksa. Digiring paksa ke alamat baru yang tidak dikenali sama sekali. 

Pernah saya dengar ada aparat bilang, mungkin karena dia sedang sok tinggi, dangdut rok pendek sumber malapetaka. Padahal mestinya dia mencerahkan dengan penjelasannya, rok pada penyanyi yang mana, yang bagaimana? Buktinya seni tari Dolalak yang pakai celana sangat pendek itu menurut saya asal terukur tidak masalah. Lagipula aparat negara tidak punya tugas ngompori apresiasi masyarakat. Karena toh nanti yang preman-premanan dengan lagak membela kebenaran justru orang yang gak ngerti hakekat agama. Jadi susah semua.

Sementara di tempat lain kita juga mendengar keluhan masyarakat ketika aparat terlalu permisif terhadap menggejalanya hiburan-hiburan tertentu yang berbau mesum. Ini masalah.

Ya, air mata tidak selalu datang karena musibah, penyesalan atas dosa, atau karena kemiskinan, tetapi karena kita melihat ketidakjelasan manusia membawa peristiwa-peristiwa. Yang benar menjadi salah. Yang salah dipuja-puja. Ditambah lagi, ada yang merasa benar ternyata salah.

Yang sebenar-benarnya penyair tentu berkesadaran dan berkesaksian.

Setelah bicara lautan air mata dan liku-likunya, kita kembali ke soal tahun baru dan laut. Kalau umat Islam melewati tahun baru Hijriah dengan semangat berhijrah, semestinya umat Islam setiap harinya memahami spirit hijrah itu. Apa sebab? Sebab setiap hari yang kita lewati sesungguhnya tahun baru, kalau kita mau menganggapnya tanggal 1 awal tahun. Baik 1 Muharom atapun 1 Januari. Bahkan saya pernah menulis, lupa di hari apa, saya sebut saat itu tanggal 1 awal tahun menurut Tahun Gilang. Dihitung sejak saya mulai menginginkannya. Tidak harus dimulai dari tanggal kelahiran atau kematian saya kelak. Menarik bukan?

Jadi, sesungguhnya umat Islam di tahun baru Masehi pun sedang bertahun baru. Pertama, karena Nabi Isa AS adalah Nabinya umat Islam. Kedua, rasa semangat hijrahnya pasti terbawa pada seluruh putaran waktu, ternasuk di awal Januari itu. Dan ketiga, dalam kalender administrasi (nasional), itu memang tahun baru di negara kita yang nyata-nyata disyukuri dan dimintakan berkahnya kepada Allah Swt.

Tetapi lagi-lagi, syukur nikmat kita, dan bahagia kita di momen pergantian tahun, dengan membawa optimisme dan sukacita ke depan, tetap saja akan diiringi airmata pengingat. Bahwa sesungguhnya kita selalu hidup mengarungi air mata itu.

Jangan takut, kata Ksatria.

Maka pergi ke laut, adalah hiburan alam yang terbuka. Bukan cuma hiburan kemiskinan. Itu sebabnya orang-orang kaya pun suka laut. Suka keindahan pantai yang menakjubkan, mulai dari matahari terbenam yang mempesona hingga tengah malam pergantian tahun. Tetapi tentu yang jauh lebih utama dari itu, bersimpuh di laut diri, diam yang bergerak dinamis, berombak bergelombang, dalam dan tenang, luas dan mencerahkan, karena kita memahami kehidupan. Yang tidak cuma kita pandangi seperti langit, tetapi kita alami dan selami setiap hari.

Dan ke laut tenang pun, tetap menyaksikan lautan airmata, harapan-harapan mulia manusia. Maka kita duduk dan merenung jauh.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG