PENYAIR KOK MENTRI?

DIA SEMATKAN SELENGKAP SIMBUL

dia membatik puisi
di kain seluas Indonesia
tulisannya jelas terbaca
dari seluruh pelosok dunia
dia susun bait demi bait puisi
mengikuti lengkung-lengkung keris
menembus seluruh jalan kampung
terekam bangsa-bangsa jejaknya
dia sematkan selengkap simbul 
di seluruh halaman Mesjid
sehingga dia sendiri termangu 
dan terharu

Kemayoran, 19112018
#puisipendekindonesia
-------

Kan sudah saya bilang. Ini bukan zaman Orde Baru yang sentralistik dan banyak organisasi yang dianggap paling sah, tapi tanpa rujukan undang-undang. Melainkan atas dasar kalimat pemerintah yang sepihak. Kalau sekarang di era reformasi Presiden Jokowi, tentu sudah banyak perubahan. Meskipun belum sempurna. Bahkan sebenarnya sudah terasa sejak era presiden Megawati dulu. Sampai saya bilang saat itu, Mega sangat baik. Pada hal tertentu terlalu baik bahkan. 

Penyair dan sastrawan pada umumnya pada hari ini, terutama setelah memasuki era reformasi 1998, punya keberangkatan yang beragam. Tapi lebih kuat. Dari daerah dan komunitas yang beragam. Berasal dari berbagai profesi. Dari media yang berbeda-beda. Dst. Meskipun kadang masih diwarnai oleh arogansi dari yang merasa garis pemerintahnya lebih tegas. Misalnya karena dia PNS, digaji negara, atau berada di suatu organisasi yang merasa tangan kanan pemerintah. Bahkan ada yang merasa 'paling', karena aktif di lingkaran (termasuk media) tertentu. Oke, sebutlah saja itu oknum. Sebab merasa posisinya menjadi legitimasi bagi sahihnya kepenyairan atau kesastrawanannya. Sayang sekali. Berarti dia habis kalau di posisi lain. 

Saya tahu, peran Allah sangat besar dalam menentukan eksistemsi dan garis kerja yang tegas dari seseorang melalui ruang puisi atau sastra pada umumnya. Itu sebabnya saya sering membela, profesi sebagai tukang bskso atau tukang bubur keliling bagi seorang penyair janganlah dihina dengan kalimat, "Dia cuma seorang ini dan itu". Sebab bukan semata urusan gaya tampilan/ pembawaan yang suka diramaikan orang itu, kepenyairan adalah hidup sejatinya. Bukan pula sekadar tempat pelarian dari kondisi-kondisi. 

Dia kuat bicara apa saja melalui sastra, tanpa harus jatuh karena tahu bulat dan peralatan rumah tangga yang dijajakannya. Tanpa harus jatuh karena dia petani, nelayan, pegawai bengkel, atau buruh pabrik. Apa urusannya?

Oleh karena itu para penyair paling cuma diam tanpa reaksi apapun di depan siaran TV yang menayangkan kalimat komentator, "Hebat, padahal dulu kamu cuma tukang roti keliling, sekarang sudah penyanyi terkenal!" Apa sebab? Karena kalimat itu cuma berlaku untuk si tukang roti keliling itu, bahkan diamini juga. Sementara bagi penyair atau sastrawan non-komersil, teorinya jauh beda. Dia belum tentu meraih materi besar dari pembacaan puisi atau dari penerbitan buku sastranya. Tidak seperti yang menyanyi dangdut dan laris albumnya. 

Tetapi mengapa penyair berani konsisten? Sebab kalau garis tangannya memungkinkan, dia bisa jadi pengusaha sukses atau jadi pegawai tinggi, atau sekelas mentri, untuk mendapatkan penghasilan atau gaji besar. Dan itu, dari profesi apapun, akan selalu disebutnya uang puisi.  Tetapi ketika Allah kasih duit harian dari menjadi tukang martabak atau supir taksi saja, maka para penyair itu akan berkata, "Sempurna!" Sambil menunggu peluang uang yang lebih sempurna lagi kalau sudah terlihat jalannya. 

Maka tipe penyair yang percontohan itu tetap saja bukan tipe pengangguran dan pemalas. Meskipun masih sangat bisa dihargai kata-kata benarnya selama masa kebetulan dia masih menganggur. Sebelum dapat kerja atau usaha yang pas. Sebab syair dan sastra itu sesungguhnya mengisyaratkan manusia pekerja keras yang mencintai keluarga dan anak keturunannya. Selalu begitu.

Dan tidak perlu silau, dengan menganggap seseorang adalah penyair paling jadi, paling penyair, karena kepemilikan rumah dan kendaraannya. Posisinya yang tinggi di pemerintahan. Dst. Sebab bahasa penyair dan sastrawan akan berkesaksian dengan caranya sendiri. Oleh karena itu kita persilahkan, pemerintah akan cenderung pada keberpihakan yang mana, dalam mendengar dan mengangkat kalimat-kalimat?

Persoalannya, persis seperti di era Orde Baru, saat ini pun kita bisa mengalami booming penyair/ sastrawan. Terutama melalui tiga garis kemunculan yang menonjol yaitu melalui buku, panggung sastra (termasuk melalui ruang sastra di radio dan TV), dan media sosial/ internet.

Kita ingat di era Orde Baru. Para penulis sastra itu sangat banyak. Termasuk yang berbentuk 'novel picisan' menurut istilah pada saat itu. Yaitu novel-novel pinggir jalan yang dibuat dalam bahasa pop yang sangat komersil.

Saya mengalami hampir setiap hari meminjam novel-novel pinggir jalan itu sekedar untuk menikmati 'sisi enak' gaya popnya. Beberapa penulis yang saya ingat misalnya Fredy Siswanto, Edy D.Islandar, Mira W, Abdullah Harahap, Hilman Lupus, Kho Ping Ho, Bastian Tito, dll. Soal pemanfaatannya akan kembali kepada proses kreatif saya. Toh di koran Sentana dan Inti Jaya sayapun bikin cerpen-cerpen pop. Di drama radio yang pendengarnya pencinta lagu-lagu pop dan dangdut, saya pun bertahun-tahun mesti bikin naskah yang nge-pop. Yang bahasanya tidak cuma cair dan gaul, bahkan diurai, dicair-cairkan agar seluruh lapisan masyarakat mudah menangkap maksudnya.

Di era seperti itulah, bumi ini akan membiarkan para penulis bermunculan. Sebanyak apapun. Meskipun soal popularitas akan memiliki rumusnya sendiri. Dari garis pop, Edy D.Iskandar, Hilman Lupus dan Motinggo Busye buktinya punya garis populer tersendiri. Sementara dari wilayah sastra yang memiliki bahasa sastra yang lebih rumit, karena memiliki kepadatan maksud di situ, sehingga memiliki banyak simbol-simbul, juga memunculkan tokoh populernya secara khas. Masyarakat awam biasa menjulukinya sebagai penyair atau sastrawan serius.

Kalau kita bandingkan hari ini, apalagi ketika jumlah koran yang memiliki rubrik sastra kian sedikit, terbukti sangat banyak para penulis yang seperti berlomba-lomba menerbitkan buku. Tulisan, ulasan dan promosinya juga sering muncul di media sosial. Ini kondisi yang sama saja. Nanti pun akan memunculkan figur-figur populer, baik secara pop maupun secara eklusif. Keduanya punya tempat.

Itu sebabnya saya pernah menulis status di facebook, biar saja ribuan-jutaan buku terbit setiap hari. Bahkan biarlah para penulis itu muncul persekian detik sekali. Kalau itu menunjukkan daya membaca dan menulis dari bangsa ini yang semakin membanggakan. Dan biarkan pula seleksi alam akan menemaninya.

Untuk setiap kali mendengar teman-teman di media sosial berkabar tentang bukunya yang terbit, saya biasa berkomentar, "Bagus! Selamat! Atau, hebat!" Selanjutnya saya pasti menuntut, atau mengingatkan, kerja puisi dan kerja sastra itu serius dan berat. Sangat jauh lebih berat dari sekadar menemui penerbit dan meminta buku kita diterbitkan. 

Sehingga saking beratnya kerja puisi, kerja sastra, saya bisa memberikan ucapan selamat berlipat-lipat kepada komunitas yang bisa menerbitkan buku antologi puisi komunitas, meskipun dicetak terbatas dan tidak ber ISBN. Sebab itu juga bagian dari gerakan sastra, gerakan senibudaya. Sebab selain kegiatan-kegiatan harian, para penggiat sastra di komunitas itu juga perlu meninggalkan jejak sastra berupa buku. Seperti apapun bentuknya. Bahkan setelah ditemukan oleh pihak-pihak yang 'ngerti', tidak mustahil buku itu justru jauh lebih berkualitas dan bisa lebih bekerja daripada ribuan buku yang telah terbit di pasaran. Minimal sudah terbukti berpengaruh serius pada seluruh anggota komunitas dan masyarakat di sekitar aktivitas sosial mereka.

Paragraf terakhir tersebut kian mematangkan keyakinan kita, bahwa suatu buku bisa menjadi wajib hadir, wajib terbit, meskipun tidak komersil. Ia akan merekam gerak komunitas itu secara tertulis. Terbaca dari tema dan kalimat-kalimatnya. Sebab para penulisnya memang tidak mempersoalkan urusan tidak komersil itu. Sebab mereka sudah beli beras dan lauk-pauk dari berjualan, menjadi buruh, petani, nelayan, manajer, mandor harian pengusaha, direktur, mentri, wartawan, anggota DPR,  supir, PNS, guru swasta, penyiar, dlsb.

Lalu soal komunitas atau organisasi-organisasi itu. Benar, dulu di era Orde Baru sangat jelas, mana yang dimiliki pemerintah dan mana yang bukan. Mana yang sah versi pemerintah dan mana yang bukan. Bahkan sangat terbaca, maunya pemerintah kemana? Sehingga disebut sangat otoriter dan menghambat kebebasan.

Di era sekarang pemerintah dituntut untuk lebih terbuka membaca kreatifitas anak bangsa. Bahwa semua pergerakan senibudaya yang konstruktif, adalah aset pembangunan bangsa ini. Didanai ataupun tidak oleh pemerintah. Yang biasa vokal, harus didebgar arah kalimatnya. Suara hatinya akan memenangkan pembangunan ini ke arah mana? Harus begitu. Dewan Kesenian yang sering disebut-sebut sebagai lembaga independen tetapi tangan kanan pemerintah daerah, tidak boleh cuma pasang telapak tangan siap jadi EO. Itu kerdil. Tetapi wajib sensitif membaca dan menemani gerak masyarakat.

Saya tiba-tiba teringat satu jenis kegiatan yang biasa dikasih dana oleh pemda sekali-dua kali dalam setahun. Yaitu Lomba Baca Puisi dan Malam Puisi. Bayangkan, di kabupaten atau kota itu ada berapa banyak komunitas sastranya? Kalau makin banyak, itu makin maju atau makin mundur? Berapa jumlah penyair dan penulis sastranya yang konsisten dan menonjol? Lalu siapakah yang kecipratan dana dalam satu event lomba baca puisi? Mungkin cuma beberapa panitia, MC, tiga orang juri, dan tiga orang pemenang. Sementara untuk di malam puisi, mungkin beberapa penyair unggulan yang diundang secara khusus untuk baca puisi yang bisa dapat amplop, selebihnya jadi penggembira karena tanggungjawab moralnya. Sebandingkah uang tahunan itu disebut sebagai pemberian atau penghargaan atas kerja keras para penggiat sastra di kabupaten/kota itu? Tentu tidak. Tapi bisa dimengerti, itu keterbatasan pemerintah namanya. Sayapun dkk, sudah iklas ketika bertahun-tahun mengadakan event baca puisi mingguan. Untuk memotivasi masyarakat agar melek bahasa, melek tafsir bahasa, melek kasus-kasus sosial yang diteriakkan melalui bahasa dan event-event sastra itu. Berupa proses penyadaran, kesaksian, dan pencerahan.

Saya bersyukur kalau pemerintahan Presiden Jokowi saat ini bisa mengerti. Ini ruang sepi yang sangat sibuk dan ramai. Termasuk munculnya tulisan-tulisan saya ini. 

Komunitas-komunitas sastra, yang asyik memahami pesan bahasa, yang mencintai keberadaban itu, tentu akan terus tumbuh. Tidak harus disebut liar karena terukur oleh adab ke Indonesiaan kita yang nasionalis relijius. Justru yang mengaku 'liar' harus dipertanyakan. Kecuali liar untuk pembebasan dari suatu keterkungkungan yang parah.

Saya juga sering menjelaskan di berbagai silaturahmi seniman dan di radio-radio, termasuk melaui cannadrama.blogspot.com, setidaknya komunitas-komunitas sastra itu, termasuk komunitas sastra di tiap sekolah yang biasa dipimpin oleh para guru sastra, minimal bisa mengantarkan anggotanya untuk tidak gagap sastra. Untuk bisa baca buku secara cerdas dan bijak. Sehingga mendatangkan manfaat-manfaat. Sehingga sastra telah bekerja dan berpengaruh melalui tata sosial yang ada menuju ke tata sosial yang lebih baik. Menuju kesejahteraan lahir batin, dunia akhirat. Sukses pembangunan bangsa dan negara.

Akhirnya wajar kalau ada mertua bertanya kepada seorang penyair penggiat komunitas sastra, "Sering naik panggung baca puisi? Aktif di komunitas mana? Sudah berapa lama menggeluti dunia sastra? Di koran mana puisi-puisinya pernah dimuat? Berapa antologi yang sudah diterbitkan?" Begitulah, dia sangat baik karena tidak mengaitkan dengan harta. Lalu pertanyaannya yang terakhir, "Penghasilan hariannya dari mana?" Saya sangat terhibur kalau penyair itu menjawab, "Saya Mentri Pendidikan Pak". Haha!

Lalu selaku Mentri Pendidikan, disela-sela rebutan singkong rebus dengan calon mertuanya di beranda rumah suatu sore, ia menjelaskan sebuah hukum kuno, "Salahsatu anggaran terbesar dari kementrian saya untuk dunia sastra adalah menggaji para guru sastra dan membiayai seluruh pengadaan buku, fasilitas, dan berbagai kegiatan sastra sekolah. Dari Sabang sampai Merauke".

Lalu sang mertua itu berwasiat sambil ingin dianggap lebih pintar dari calon menantunya, "Tapi masyarakat lulusan sekolah-sekolah harus makin bersastra. Harus melek karya sastra. Menggilai buku antologi puisi. Harus lebih beradab. Sebab itu artinya pendidikan sastranya berhasil. Bukan cuma buang-buang anggaran".

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG