POSISI PUISI DAN ISLAM NUSANTARA

MENEMUI PUISI

menemui puisi pada jejak kaki nabi
kalimat yang tercecer tidak percuma
kita menjadi pemungut hikmah
yang bijaksana
segala harum naik
segenap cinta terbuka
kalimat pada daun
rimbun
kita seperti bermain-main sekitar taman
berseluncur pada sulur-sulur hijau
yang menjuntai dari langit 
hati

Kemayoran, 20112018

------

Bulan November, 2016 saya pernah membuat tulisan status di media sosial facebook, begini:

POLITIK DAN PUISI?

Sederhananya, puisi itu, kalaupun tidak indah karena 'permainan' bahasanya, setidaknya bernilai indah karena nilai kemanusiaannya. 

Ukuran kemungkinan dimuat koran, diperdengarkan di radio, atau diterbitkan pada sebuah buku, adalah satu jalan menemui kualitas.

Mencapai pengalaman universal kemanusiaan, bukan kecenderungan pribadi, menjadi pertimbangan keumumannya.

Melahirkan puisi, kecerdasan yang bijak sangat dipertaruhkan. Kecuali kalau sebatas teriakan dipanggung tanpa kontrol yang terdengar seperti puisi.

Rugi kalau kita mematikan wajah kepenyairan yang agung pada diri kita  dengan memandulkan intuisi keumuman itu. Karena para pembaca (apalagi penyair-penyair yang kuat kepenyairannya) akan mencatat untuk kurun waktu seumur hidup. Bukan untuk kebutuhan politik praktis 5 tahun, misalnya.
------- 

Dalam tulisan itu saya bermasabodoh terhadap pilihan politik, sebab puisi juga memerankan politik kemanusiaannya sendiri. Politik kebudayaannya. Tetapi seperti yang selalu terjadi, gerak universal puisi itu juga bisa berkecenderungan pada pilihan-pilihan politik yang sudah diatur oleh negara perlima tahun. Pendeknya, pilihan politik terbuka, bukan yang diam-diam cuma bisa pecah telur dalam TPS, juga tidak perlu merusak puisi dan kepenyairannya. 

Anda mungkin pernah juga membaca catatan saya mengenai pragmatisme manusia politik di bawah garis kebodohan. Pada saat itu kita pasti terjebak, menganggap kalau di hari ini Chairil Anwar masih hidup lalu teriak-teriak mendukung tokoh A atau Partai A, maka semua puisi-puisinya sudah menjadi milik kubu A sepenuhnya. Haram bagi kubu lain. Bahkan kubu lain harus menjelek-jelekkan puisi itu. Ini lucu. Terlepas dari puisi Chairil akan banyak menginspirasi kubu A, dia toh tetap akan berdiri pada derajat keumumannya, universalitas kemanusiaannya. Tidak bisa secara seketika dihukum salah.

Dalam kontek saat itu, saya mengajak arif berfikir, bagaimana kalau Chairil masih hidup dan mendukung pasangan Ahok-Djarot? 

Kita harus ihlas dan jujur dalam pengandaian, jika toh kubu B pada waktunya bisa berkuasa, tetap saja puisi Chairil bertengger di tempatnya tanpa tergeming. Kecuali kalau yang terjadi adalah penggulingan kekuasaan dari kelompok alim oleh kelompok zalim. Itu soal lain.

Inilah yang saya maksud berulang-ulang, bahkan masih ada di hari ini penyair yang berpendapat, tidak memihak adalah kecerdasan sikap penyair. Alasannya, netralitasnya menaungi semua suara kemanusiaan. Padahal, yang berani memberi dukungan secara terbuka pun sudah ngaji netralitas kepenyairan itu.

Sudjiwo Tedjo pernah berkata di acara ILC TvOne, tafsirnya tidak membuat takut untuk anti SBY ketika SBY berkuasa. Tapi di mana posisi tafsir Sudjiwo Tedjo? Samakah dengan tafsir Musa atas Firaun? Kalau tidak sama, itu biasa. Karena sederhana dan mesra, kita kan cuma sedang berfikir, bagaimana pembangunan bisa lebih baik di negri ini. Atau bagaimana bisa dipercepat lebih baiknya itu. Bukan sedang menggulingkan kekuasaan syetan atau iblis yang sudah dicoret oleh spiritualitas kemanusiaan, kemanusiaan beragama yang universal, berketuhanan yang maha esa. 

Lalu saya mencatat perdebatan seputar Islam Nusantara yang sampai-sampai dibawa ke ranah politik praktis untuk dukung-mendukung. Ada pihak yang beranggapan, Islam Nusantara itu keliru. Dan kekeliruan itu disebabkan oleh pemerintahan saat ini yang telah memungkinkannya menjadi wacana besar di negri ini. Oleh sebab itu pihak ini merasa perlu anti calon presiden petahana.

Saya fikir itu terlalu jauh, tanpa bermaksud menyalahkan dan mengganggu haknya atas pilihan politiknya. Sebab melalui wacana Islam Nusantara itu sama saja kita sedang mengingat kembali secara beradab keNusantaraan kita sebagai Islam dari masa-masa silam. Dari masa dan pengalaman yang sudah lama, bukan baru tumbuh kemarin sore. Dari jaman para wali. 

Sebab melalui perjalanan panjang hingga Indonesia merdeka dan Indonesia mengisi kemerdekaannya, ternyata keNusantaraan di kalangan umat Islam di Indonesia memiliki khas yang arif, yang tidak menolak syariat Islam. Justru menguatkan. Meskipun ada banyak tafsir-tafsir di situ. Tetapi perbedaan yang baik adalah rahmat. Berkah Allah. Seperti satu contoh, di kalangan muslimah yang baik, kita tidak terlalu memperdebatkan antara muslimah yang berjilbab lebar, berjilbab gaul, berkerudung, bahkan yang tidak berkerudung. Dan kita tidak memperdebatkan itu hingga meruncing jadi pertikaian. Begitulah keNusantaraan kita. Semua harus menjadi hamba Allah yang berserah diri secara total dan ihlas.

Tidak ada undang-undamg yang menyebut, seorang mentri wanita di Indonesia wajib berjilbab model begini atau begitu. Artinya, semua wanita Islam punya hak sama. Tidak ada pemilahan yang tidak berjilbab Muslimah Nusantara, yang berjilbab muslimah yang sesungguhnya. 

Lalu ada lagi yang mempersoalkan, pilih Islam Nusantara atau Islam Universal? Waduh. Islam Nusantara itu universal. Ketika eksistensinya dilihat dari wilayah dan pesan keNusantaraan, maka akan terlihat wacana keIslamannya yang menembus jantung kemanusiaan secara universal. Menyelamatkan umat Adam secara menyeluruh, tanpa kecuali. Ketika posisi keNusantaraan itu bagian dari umat manusia sedunia, keNusantaraan itu satu inspirasi, atau menginspirasi kehidupan umat Islam di muka bumi yang sejahtera lahir batin dan selamat dunia akhirat. Lalu di mana letak pertentangannya?

Dalam proses kreatif berkesenian, apapun, universalitas adalah bagian integral yang kuat.

Memang saya sempat gregetan. Marah. Ketika bersaksi, demi fikiran pluralisme maka segala yang buruk dan jahat pun bisa masuk, yang penting bersikap plural. Keberagaman apapun harus diterima. Ini bisa bikin senang orang jahat. Padahal istilah pluralisme dalam kemanusiasn itu sudah benar. Sebab ukurannya pasti kamusiaan, kemanusiaan yang berketuhanan. Setidaknya selalu dibutuhkan parameter pengingat, pluralisme bukanlah mengakomodasi kejahatan kepada kemanusiaan. Itu sebabnya dalam banyak tulisan, saya merasa nyaman bicara soal universalitas. Rasa prikemanusiaan yang luas dan terbuka.

Puisi dan penyair bisa ditarik-tarik secara paksa, bahkan oleh yang mengaku-ngaku paling penyair, ke wilayah yang sama sekali tidak menarik. Seperti halnya wacana normal soal Islam Nusantara sebagai kesadaran umat Islam yang hidup dalam iklim Nusantara, pun terus diseret-seret ke wilayah haramnya wacana Islam Nusantara, yang ujung-ujungnya dipergunakan untuk menuding salah sikap penguasa hari ini yang presidennya 'nyapres' lagi untuk periode yang akan datang.

Kita harus dewasa, atau terus mendewasakan bangsa ini. Sebab perjalanan panjang kita sudah banyak cobaan-cobaan beratnya yang mengganggu. Kita harus percaya, Allah beserta hambanya yang terus berjuang, selalu berserah diri.

Karena tulisan ini dibuat di hari libur Maulid Nabi SAW 2018, maka melanjutkan tulisan ini dengan merenungi suritauladan Nabi SAW, berarti kita memahami kelahiran kita di muka bumi ini. Subhanallah. Bahkan untuk menjawab pertanyaan, untuk apa kita berpuisi?

Kemayoran, 20112018 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG