SHOLAWATAN DAN SATRIO PININGIT

MERAYU MEREKA

aku cerita kepada Jalak, 
"Orang-orang pergi setelah tanah ini tandus
padahal dulu kakek-nenek kita
menikmati hutan, menikmati sungai"
lalu dia membubung tinggi dan kembali
bercerita, "Kulihat di sana hutan dan sungai itu 
aku yakin kakek-nenek kita masih menikmatinya" 
maka dia pun mengajakku ke sana
ke tempat orang-orang yang pergi
meninggalkan tanah gersang ini
maka kubikin janji, "Asal kau rayu mereka 
untuk bikin tanah ini seperti di sana"

Kemayoran, 24112018
#puisipendekindonesia 
------

Sebagai anak Indonesia, anak dunia, yang lahir di tengah perkebunan kopi. Bisa juga dijuluki anak kopi. Saya sudah 100% suka tanaman. Suka pepohonan. Suka pemandangan hutan. Bahkan bicara syair-syair Wali Songo saya suka lirik, "cah angon cah angon penekno blimbing kui", atau "turi-turi putih ditandur ning kebon agung". Dll.

Bahkan kalau saya ditawari, mau di ajak ke luar negri gratis detik ini, saya punya dua permintaan, itupun kalau dikabulkan. Pertama, ajak saya ziarah ke Makam Rosulullah SAW. Kedua, ajak saya ke bukit Amerika, tempat si kecil jatuh di rumput, dalam film TV kesukaan saya waktu masih kecil, Litle House On The Prairie. Lagi-lagi karena sebagai manusia yang hidup dari spiritualitasnya, saya juga terinspirasi oleh bukit, rerumputan dan pepohonan di manapun, melalui media apapun.

Maka dalam tulisan ini saya mau bicara nikmatnya sholawat Nabi dan kesaksian Turi dalam puisi Satrio Piningit.

Nonton siaran tunda Kemayoran Bersholawat di NewsTV, 25112018 rasanya nikmat luar biasa. Mengikuti sholawatnya, mengikuti musiknya, mengikuti semangat masyarakatnya yang hadir, bahkan menikmati pengambilan gambar oleh kameramen-nya. Subhanallah.

Ya, dalam kegiatan serupa ini kita memang bisa menikmati keduanya secara berbeda. Ibarat dua karunia besar. Pertama, nikmat kalau bisa hadir langsung di lokasi acara dan terlibat bersholawat. Kedua, nikmat menyaksikan tayangan rekamannya baik di TV maupun di video yang khas karena menggunakan multi-teknologi pengambilan gambar dan proses editing.

Apalagi pada pembukaan Kemayoran Bersholawat itu saya juga sempat mendengar syair para wali, Turi Putih, yang sarat pesan dakwah itu. "Sungguh nikmat mana lagikah yang kita dustakan?"

Dari nikmat di layar TV itu saya jadi teringat puisi saya yang termuat dalam antologi puisi Satrio Piningit yang diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka, Jogja (2018). Inilah puisinya:

SATRIO PININGIT

kamu cari-cari
sampai ke dalam suara Kenari
masih setia curi-curi
pesan lagu Turi
tidak habis cara-cara
mahkota bersuara depan rumah raja

dia cari-cari
juga lewat suara Kenari
masih soal curi-curi
langit menaungi Turi
tak putus cara-cara
ke rumah raja menjual mahkota

di sebelah mana titik temu, katamu
tempat pertemuan para tamu
yang merunduk di tujuh pintu
pada waktu yang tak mau menunggu

di mata terbuka hidayah raja
di bumi terluka langit pun murka
dari tujuh pintu memancar cahaya
api keadilan mengangkat senjata

kau sibuk mencari ratu
saat dia menjadi kamu
kecuali kalau kamu hantu
tidak tahu arah menuju

Kemayoran, 24 Juli 2018 
--------

Dalam buku yang berisi puisi-puisi yang ditulis tangan oleh para prnyairnya itu bisa kita dapati berbagai tema seputar Satrio Piningit. Saya sendiri setiap merenungi istilah Satrio Piningit, justru ingin segera bersenandung saja. Setidaknya seperti bersenandung atau ber-nasyid. Rasanya senandung akan terasa sangat bijak, dan renang. Tapi bersenandung apa? Ber-nasyid yang bagaimana? Yang jelas yang bisa menyampaikan eksistensi dan posisi Satrio Piningit yang di tanah Nusantara dipercaya sebagai karunia Allah yang akan memimpin negri ini untuk kesejahteraan bangsa dan negara, bahkan dunia. Bagi umat Islam, ini adalah bagian dari rasa bersholawat itu.

Tulisan ini terssa benar sholawatnya, apalagi ditulis dalam suasana masih marak peringatan Maulid Nabi SAW di mana-mana.

Lalu saya teringat syair Turi Putih dari para wali penebar agama Islam itu. Yang terdengar singkat, sederhana, diulang-ulang, tapi selalu segar, semarak, dan meruntuhkan keangkuhan manusia. Ini jelas inspirasi besar. Maka lahirlah puisi Satrio Piningit itu.

Pada bait pertama saya menulis: "kamu cari-cari/ sampai ke dalam suara Kenari/ masih setia curi-curi/ pesan lagu Turi/ tidak habis cara-cara/ mahkota bersuara depan rumah raja"//.

Seperti pada bait pertama itu kita selalu tersadar bahwa bangsa ini penasaran. Selalu penasaran. Siapakah Satrio Piningit itu? Dan ini mudah membuktikannya. Siapapun yang berminat membeli dan membaca buku Satrio Piningit adalah mereka, orang-orang yang penasaran. Tentu mereka bertanya kepada kehidupan ini yang maksudnya ingin sampai kepada Yang Maha Hidup. Dan bagi bangsa Indonesia yang relijius, mau gak mau, romantisme proses pencariannya pasti tidak jauh dari tokoh-tokoh spiritual yang pernah membuat negri ini tentram damai. "Masih setia curi-curi/ pesan lagu Turi".

Kenapa dideskripsilan mencuri? Karena kaum intelektual di era milenial pasti memulai proses berfikirnya dari kesadaran dirinya, dari kemampuan dan sepenuh percayadirinya, lalu meminjam-minjam kenyataan masa lalu. Itulah romantisme yang abadi. Sebab setelah sampai di sana kita bisa merasa habis. Apalagi ketika sampai pada sejarah kelahiran dan dakwah Nabi SAW. Kita ada pada dia.

Dan kita tak habis bertanya, mengapa ada siloka, ada yang setia menjual mahkota di depan raja? Apa menurutnya mahkotanya lebih pantas untuk seorang raja? Apa mahkota raja bersuara tak sedap? Atau terus bersuara mencari hakekat kemuliaan mahkota? Apa parameternya?

Lalu pada bait kedua saya menulis: "dia cari-cari/ juga lewat suara Kenari/ 
masih soal curi-curi/ langit menaungi Turi/ tak putus cara-cara/ ke rumah raja menjual mahkota"//.

Di bait kedua kita menemui peristiwa mulia yang selalu dinaungi cahaya langit, cahaya kebenaran. Yaitu ketika Satrio Piningit turun ke bumi. Sebab di situ terjadinya jual-beli yang tidak menipu. Dan rupanya, itu tempat amanat yang kuat untuk kekuasasn.

Rasanya saya telah bersenandung. Tentang penasaran kita. Tentang cahaya langit. Tentang jual beli dengan Allah. Dan tentang hakekat kekuasaan dunia. Tentang alam Kenari dan Turi. 

Lalu kita masuk bait ketiga: "di sebelah mana titik temu, katamu/ tempat pertemuan para tamu/ yang merunduk di tujuh pintu/ pada waktu yang tak mau menunggu"//. Sebab kesepahaman itu datang dari seluruh penjuru mata angin, menuju ke tujuh pintu.

Memasuki bait keempat saya menulis: "di mata terbuka hidayah raja/ di bumi terluka langit pun murka/ dari tujuh pintu memancar cahaya/ api keadilan mengangkat senjata"//. Sebab siapa tak rindu kepemimpinan langit? Kepemimpinan cahaya di bumi?

Begitulah, kita akhirnya harus bersenandung peradaban dan berhitung. Memasuki romantisme dan menjalani angka-angka. Sambil terus menertawakan dan memaki diri-sendiri: "kau sibuk mencari ratu/ saat dia menjadi kamu/ kecuali kalau kamu hantu/ tidak tahu arah menuju"//.

Itu sebabnya puisi yang saya tulis di awal pendaftaran capres dan cawapres Indonesia untuk Pilpres 2019 itu bisa memberikan banyak motivasi yang terbaca. Semoga. Agar bangsa, negara dan dunia ini selalu dirahmati Allah SWT. Amin ya robbal alamin.

Kemayoran, 25112018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG