TEMA CINTA DAN PERCERAIAN

CANTIK DI LANGIT

bagaimana mungkin kulupa
tubuh yang kujagai dari muda, beranak
keriput 
lalu pulang

suami mana yang tak menggilai 
tubuh istrinya?

di pemakaman ini 
kemboja putih mulus dan pink
suaramu selalu wangi dan mesra,
"kalau aku pergi lebih dulu
jangan gali tubuhku di bumi
sebab aku cantik di langit"

kemayoran, 23112018
------

Pasangan suami istri (pasutri) mana yang tidak saling mencintai? Mana ada suami membenci istrinya? Mana mungkin ada istri tidak menyukai suaminya? Bagaimana bisa? Terkecuali pada mereka yang sedang dalam cobaan serius. Bahkan sampai ada yang bercerai. Dan perceraian itu ada tiga. Pertama suami istri yang bercerai karena sudah menemui titik kebuntuan komuniksi harmonisnya. Mereka memilih jalan surga daripada menumpuk api neraka. Pada jenis perceraian pertama ini, asumsi kita menunjukkan keduanya adalah orang baik-baik yang tengah memohon keselamatan diri dan keluarganya kepada Allah.

Perceraian kedua adalah, ketika seorang suami menemukan kesesatan yang berbahaya pada diri istrinya, yang ditakutkan akan membuat nama baiknya hancur, dan keluarganya semakin malang. Pada jenis ini, tentu si istri menjadi pihak yamg berdosa. Menurut pengaji hikmah, perceraian ini juga bermanfaat buat si istri, karena kelak setelah menjadi mantan istri, dia bisa memahami kunci hidup secara lebih baik. Atau dalam kata lain, suaminya telah memutus cerai dengan cinta dan penuh rasa kemanusiaan.

Perceraian jenis ketiga adalah ketika suaminya yang bersalah, suaminya yang berdosa. Ini bukan bermaksud membuat sebuah kerumitan rumah tangga menjadi serba hitam putih, tetapi karena fakta itu memang ada. Buktinya kekerasan dalam rumah tangga pun marak terjadi, baik kekerasan suami kepada istri, kepada anaknya, maupun kepada anak tirinya. Sehingga jika istrinya punya jalan untuk bercerai, ia seperti telah menemui pintu surganya.

Ini tulisan di hari Jumat, 23112018. Semoga jadi renungan Jumat juga. Apalagi masyarakat biasa senyum-senyum, semalam adalah malam Jumat, malam keramas, eh maksud saya malam keramat. Konon malam pertemuan suami istri yang paling seru.

Banyak kita jumpai cerita fiksi, bahkan banyak buktinya dalam kenyataan sosial, tentang cinta sehidup semati yang romantis dan inspiratif. Film dan sinetron pun kerap menggambarkan itu. Tetapi masalah perceraian pun selain bisa menjadi tema fiksi, juga merupakan fakta sosial.

Suatu perceraian tentu suatu peristiwa yang tidak enak dan paling tidak diharapkan. Apalagi dari awal pernikahan sudah menyatukan dua keluarga besar yang terhormat. Sehingga nikah tidak cuma urusan sakral di hadapan Allah, tetapi sekaligus panji-panji suci dalam berdakwah. Selain itu, keluarga adalah seumpama kerajaan terdekat yang telah dijanjikan oleh Allah kepada manusia, yang memungkinkan setiap pribadi manusia bisa menjadi sosok dewasa, suritauladan dan pemimpin. Bukan hanya itu, anak keturunannya bisa mencapai puluhan ratusan juta jika Allah menghendaki, hanya bermula dari sepasang suami istri. Bukankah itu suatu struktur sosial yang sangat mewah derajat nilainya? Sebab memang begitulah peradaban. Yang cara mengukurnya tidak dibuat rumit oleh Allah melalui agamanya. Cukup dengan melihat keselamatan bersama saat ini, dalam satu waktu hidup bersama.

Sungguh menyesakkan perceraian itu. Sampai-sampai Allah dan Rasulullah tidak menyukainya. Sebab banyak juga yang tidak beruntung, hidupnya justru tercerai berai setelah perceraian. Jauh lebih baik pada saat masih hidup bersama.

Tetapi Allah maha pengasih dan penyayang. Dia maha mengetahui dan mengikuti niat baik hamba-hambanya. Sehingga melalui perceraian pun masih Ia simpan pintu-pintu surga bagi mereka yang dirahmatinya. Yaitu bagi suami istri yang ingin hidup lebih lurus daripada dalam bangunan rumah tangga sebelumnya. Atau bagi suami yang terpaksa meninggalkan istrinya yang sudah tidak bisa 'dikuasai' cintanya. Atau bagi istri yang menggugat cerai suaminya karena dikejami oleh suaminya, atau suaminya tidak bisa dijadikan suritauladan bagi anak-anaknya.

Untuk itu dalam kearifan hidup, sebagai anggota masyarakat yang agamis, kita mesti banyak bersabar. Menyadari hidup ini penuh cobaan. Jangan mudah menghakimi dan menebar fitnah seputar perceraian seseorang. Siapa tahu pada suami istri yang bercerai, keduanya justru diselamatkan Allah karena kebaikannya masing-masing. Atau siapa tahu seorang suami atau seorang istri yang kita tuduh pihak yang paling bersalah dalam suatu perkara perceraian, malah justru merupakan pihak yang benar. Atau sebaliknya. Dan satu lagi, pada seseorang yang berdosa, setelah perceraiannya, dia bisa menemukan kesadarannya untuk memulai hidup baru, yang mulia.

Selanjutnya saya akan lebih fokus pada empat orang. Pertama, suami istri yang berpisah baik-baik untuk menjalani hidup masing-masing yang lebih baik. Kedua, seorang suami yang baik yang harus bercerai. Dan ketiga, seorang istri yang baik yang harus melewati masa perceraian.

Kita jadi teringat, bagaimana kalau mereka adalah public figure yang berpengaruh, tokoh masyarakat, atau pendakwah, atau setidaknya aktivis di dalam berbagai kegiatan sosial dan dakwah? Tentu keempat jenis orang itu sangat kita inginkan keselamatannya dan terjaga nama baiknya dari fitnah-fitnah.

Secara strategis, kita bisa kehilangan satu mutiara besar, cikal bakal mutiara-mutiara yang banyak di kelak kemudian hari, kalau seseorang dari mereka, orang baik-baik itu terkena fitnah dan dijatuhkan serendah-rendahnya. Bayangkan juga perasaannya sebagai orang baik yang hidup di jalan lurus tetapi justru dihukum berdosa, apalagi dihianati sampai matinya.

Sekedar satu contoh yang sangat dikenali banyak orang, saya bersyukur ketika Rhoma Irama, penyanyi yang juga pendakwah itu, masih disukai dakwahnya meskipun dia pernah bercerai. Itulah maksud saya. Perceraian pada orang baik-baik tidak harus menutup penilaian kita kepadanya.

Bahkan ibu kandung saya yang ustadjah di berbagai majlis taklim itu juga pernah bercerai dengan bapak saya di tahun yang sudah silam. Tetapi selalu kami dengar nasehat-nasehatnya. Pun demikian, dari kecil selalu saya dengarkan baik-baik nasehat keagamaan dari bapak saya. Sampai-sampai saya menyebut, mereka memang telah bercerai tetapi kami cukup harmonis.

Mungkin kita juga punya data beberapa ustad yang pernah bercerai. Tentu kita maklumi peristiwa cerainya itu. Selama seseorang tetap berada di jalan lurus, kita pasti akan selalu hormat kepadanya. Tidak boleh berkurang sukacita kita kepada kebaikan-kebaikan yang diridoi Allah.

Tidak perlu para pendengar dari sebuah #radio, misalnya, bubar gara-gara ustadnya yang selalu baik-baik saja di mata Allah mengalami cobaan perceraian. Sebab cobaan seperti itu bisa datang pada siapapun. Bahkan anak-cucu Nabi pun bisa bercerai jika Allah menghendaki.

Saya pribadipun kalau dicoba oleh Allah dengan suatu perceraian, ketika masih siaran di radio-radio dengan tema rumah tangga di tengah bingkisan musik romantis, tetap akan merasa yakin ketika bicara soal keharmonisan keluarga. Tidak perlu merasa tidak layak. Apalagi dalam tema rumah tangga itu ada satu kajian dan renungan penting, yaitu ketika membahas cobaan-cobaan yang datang sebagai ketentuan hidup.

Tulisan ini saya buat selain sebagai renungan Jumat, juga sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi sebagian masyarakat yang sangat menikmati fitnah. Termasuk fitnah-fitnah di balik peristiwa perceraian. Selain itu, dalam dunia sastra, tema-tema perceraian adalah juga ruang publik untuk memahami hidup berprikemanusiaan yang beradab, selain melihat fakta-fakta kelakuan dosa manusia yang disebut melanggar hukum.

Selamat bersukacita di hari Jumat. Semoga harmonis dalam sukacita cinta selamanya.

Kemayoran, Jumat, 23112018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG